Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

Sundance Film Festival: Asia 2021, Film Rilisan Digital Vs Bioskop

Tetap laris yang mana? rilisan bioskop atau digital?

Ayu Utami

Sundance Film Festival: Asia 2021 sudah resmi dimulai pada hari ini, Kamis (23/09/2021) hingga 26 September 2021 mendatang. Mengawali festival tersebut, untuk para pencinta film, telah hadir sebuah diskusi yang menarik mengenai industri film, bersama tiga narasumber yang sangat kompeten.

Mereka adalah Mira Lesmana dan Angga Sasongko sebagai film maker, serta Presiden Direktur Starvision yang sudah tidak asing lagi, Chand Parwez Servia. Ketiganya membahas mengenai industri film di era pandemi serta bagaimana potensinya kelak, setelah kita semua keluar dari tahun-tahun penuh kesulitan ini—yang diarahkan oleh Ario Astungkoro selaku moderator.

tiktok.com/SundanceFFAsia

Diskusi yang berlangsung di akun TikTok Sundance Film Festival Asia tersebut, diramaikan lebih dari dua ribu penonton secara real time lho, Bela. Mengingat baru memasuki gelaran perdana di bawah naungan IDN Media dan menjadi acara pembuka, bincang-bincang ini ternyata menarik minat banyak penonton.

Lalu apa saja yang menjadi pembahasan pokok? Perbedaan antara merilis karya film di digital dan bioskop. Tentu saja era pandemi menjadi pukulan berat bagi mereka yang bekerja di sektor hiburan. Misalnya, musisi yang kontan tidak ada aksi panggung, hingga ditundanya syuting film yang otomatis mematikan penghasilan pekerja di balik layar. 

Salah satu cara efektif tetap produktif menelurkan karya dengan protokol kesehatan ketat, tentu lewat rilisan digital. Tapi apakah hasilnya justru lebih laris manis dari rilisan bioskop? ketiga narasumber berikut menjawabnya.

1. Menonton di bioskop mampu menimbulkan rasa apresiatif antara film maker dan penonton

tiktok.com/SundanceFFAsia

Menurut sutradara yang dikenal lugas dalam berpendapat ini, bioskop akan selalu dinantikan masyarakat Indonesia, karena selama pandemi, layanan streaming film berbayar ternyata tidak naik secara signifikan. "Ada kenaikan, tapi nggak signifikan," ujar Angga Dwimas Sasongko. Apalagi menurutnya, distribusi internet di Indonesia memang belum merata seperti negara maju, serta bandwith yang tidak selancar negara lain. Jadi memang film-film di bioskop masih dinantikan.

Lebih lanjut, pria 36 tahun tersebut kembali memberikan pendapatnya, “Yang ngga bisa digantikan dari bioskop adalah, jadi kan ada namanya 'retention rate' di digital, kalau di bioskop itu nggak ada. Karena kita commited sama apa yang mau kita tonton."

Menurutnya, bagi pembuat film dan penonton, hal tersebut membuat sebuah karya film menjadi tidak diremehkan. "Ini yang nggak bisa didapatkan ketika nonton di digital. Experience, flavor, hal-hal yang membuat relasi antara penonton dan film maker memiliki rasa apresiasi, nggak bisa tergantikan," tambahnya.

2. Kualitas yang ditawarkan bioskop dan pembuat film, akan membuat penonton kembali ke bioskop

tiktok.com/SundanceFFAsia

Ada persamaan dan perbedaan film Indonesia saat mati suri pertama kali dengan yang kedua, menurut Mira Lesmana. Kalau dulu film Indonesia ditinggalkan karena kualitas jauh menurun dan orang-orang film lari ke televisi, maka era pandemi ini bukan karena kualitas film, tapi tentu karena keadaan.

"Tapi nantinya ketika orang sudah mulai lelah dengan OTT (layanan media over-the-top (OTT): layanan media yang ditawarkan langsung kepada pemirsa melalui Internet), orang pasti kembali ke bioskop," kata sutradara Ada Apa dengan Cinta tersebut. 

Menurutnya, publik tahu film-film favorit mereka enak ditonton di bioskop dan ingin merayakannya lewat tampilan yang lebih luas dan kualitas suara yang lebih megah.

"Akhirnya saya dan teman-teman film, membuktikan bahwa film adalah karya milik masyarakat. Kalau film bisa memberikan kualitas terbaik, pasti penonton akan kembali," tukasnya.

3. Ada sebuah kebersamaan rasa yang dibagi, ketika menonton di bioskop

TikTok/@SundanceFFAsia

Chand Parwez Servia, selaku Presiden Direktur Starvision juga turut merasa optimis dengan kembalinya publik ke bioskop untuk menikmati film. Tanpa mengesampingkan keuntungan yang didapat dari rilisan digital, namun bos Kharisma Starvision Plus tersebut mengakui bahwa sebagian besar keuntungan memang dari rilisan bioskop.

"Bioskop menempati 80% pendapatan bagi film, sisanya baru dari rilisan digital. Tapi tetap harus hargai rilisan digital, karena ini yang mampu mengenalkan karya kita secara internasional, meskipun downsidenya membuka kesempatan bagi orang untuk eksploitasi karya kita jadi bajakan. Ini yang masih perlu diperjuangkan," terangnya.

"Kelahiran platform digital untuk nonton film, sebenarnya adalah perayaan kita yang suka nonton bioskop. Ini adalah buat kita, sebagai pencinta film yang punya habit nonton di bioskop. Tapi kita kan, makhluk sosial, kita butuh melakukan kegiatan bersama-sama dan bioskop adalah salah satu perayaan quality time bersama orang-orang tersayang, bukan? Bioskop bisa menjadi ruang diskusi, menginisiasi pergerakan dan salah satu sumber hiburan," jelasnya lagi.

4. Lalu apa yang bisa kita lakukan bersama?

Menurut Mira, hal pertama adalah komitmen semua pihak kalau film Indonesia itu penting, harus ada dan patut diperjuangkan, baik oleh film maker, negara, hingga penontonnya.

"Kedua, kita butuh kepercayaan bersama untuk bisa mengembalikannya, bahwa kita akan terus menciptakan film-film yang baik dan masyarakat mendukung untuk filmnya. Ketiga, harus berani. Ketika penonton nggak ke bioskop, we need to be brave and to do something. Seperti (film) 'Nussa', yang akan muncul di bulan Oktober nanti. We need guts. Mungkin rugi, tapi kita harus coba," jelasnya bersemangat.

Angga pun mengamini pendapat Mira. "Percaya atau nggak, rilisan bioskop lebih menguntungkan daripada digital. Misalnya (film) 'Tarian Lengger Maut' itu lebih banyak penonton. (Ada) 240 ribu orang yang nonton, ketimbang 'The Story of Kale' yang mendapat penonton 200 ribu. Padahal kelihatannya lebih banyak The Story of Kale, tapi itu karena banyak dibajak. Pembajakan ini bisa flourished karena dibiarkan oleh establishment oleh Google, TikTok, Telegram, dan lain-lain," tukas Angga.

5. Yuk, berpartisipasi di Sundance Film Festival: Asia 2021

Jadi kembali lagi, memang untuk berani berkarya dan siap rugi, adalah tantangan yang dihadapi bukan hanya di era pandemi, namun sebelum itu, Bela. Dari mulai pembajakan yang belum juga menemukan titik terang, hingga ketika memasuki era pandemi yang masih membuat sebagian besar orang ragu untuk mengunjungi bioskop.

Kalau dari kamu, bentuk apresiasi apa yang kamu lakukan untuk mendukung sektor perfilman dalam negeri, Bela? Mungkin salah satunya bisa menambah dan membuka wawasan lewat diskusi-diskusi perfilman, yang akan berlangsung di Sundance Film Festival: Asia 2021.

Ikutan, yuk! Cuma sampai hari Minggu (26/09/2021), lho!

IDN Media Channels

Latest from Inspiration