Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

'Women from Rote Island’, Latar Lokasi Indah tapi Kisahnya Bikin Marah

Berat dan Sulitnya Menjadi Perempuan di Indonesia

Niken Ari Prayitno

Marah, geram, sedih, dan trauma. Empat kata itu sepertinya belum cukup menggambarkan bagaimana perasaan saya kala menyaksikan film Women from Rote Island. Film tersebut berani mengungkap dan menguliti bagaimana berat dan sulitnya menjadi perempuan di Indonesia. Tak heran jika film tersebut berhasil meraih banyak pujian dan penghargaan. Salah satunya, menjadi Film Cerita Panjang Terbaik Festival Film Indonesia 2023.

Sinopsis: Saat pulang ke rumah justru tak juga mendapatkan rasa aman

Dok. Bintang Cahaya Sinema

Martha (Irma Rihi) kembali ke kampung halamannya saat mendapat kabar dari Mamanya (Linda Adoe) bahwa sang papa telah meninggal dunia. Orang-orang di kampungnya pun tak juga menguburkan Papa Martha karena permintaan terakhir almarhum adalah menunggu Martha pulang. 

Martha pun akhirnya pulang, namun dengan keadaan yang berbeda. Martha yang dulu ceria, justru berubah menjadi pendiam dengan sorot mata yang kosong. Nyatanya, Martha menjadi korban pelecehan seksual saat ia masih bekerja di Malaysia. 

Pulang ke kampung halaman, Martha berharap dapat bangkit dari lukanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Martha malah mendapat perlakuan yang membuatnya kian terpuruk dan depresi berat. Apa yang terjadi? Dan mengapa Martha malah tak aman di rumahnya sendiri?

Isu sensitif tentang realita yang menimpa perempuan hingga saat ini

Dok. Bintang Cahaya Sinema

Jeremias Nyangoen, sutradara sekaligus penulis naskah dari film ini mengungkapkan kecintaannya kepada sang ibu menggerakan hatinya untuk membuat naskah Women from Rote Island. Bagaimana beratnya menjadi seorang perempuan, hingga kurangnya rasa aman bagi perempuan di Indonesia menjadi latar belakang kisah Martha dalam film ini.

Jeremias melakukan riset mendalam dan menulis kisah ini langsung di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, agar cerita yang dihasilkan bisa seautentik mungkin. Bahkan, ia membutuhkan waktu selama dua tahun untuk menggarap kisah ini. Dua tahun tersebut ia butuhkan untuk melakukan riset soal kasus kekerasan dan pelecehan seksual, bertemu para penyintas, hingga mencari latar lokasi yang pas.

Maka dari itu, dengan segala usaha dan kerja kerasnya tersebut, tak mengherankan jika Women from Rote Island memiliki penceritaan yang rapi, alur yang mengalir, dan dialognya mampu memainkan emosi penonton.

Angkat topi untuk semua ansambel pemain

Dok. Bintang Cahaya Sinema

Sebanyak hampir sembilan puluh persen dari para aktor dari film Women from Rote Island adalah pendatang baru. Kesemua pemainnya merupakan penduduk asli Nusa Tenggara Timur. Bahkan, film ini menjadi debut bagi pemeran Martha (Irma Rihi), Orpa (Linda Adoe), dan Dhamar (Van Jhoov) dalam industri layar lebar.

Meski merupakan film debut, akting mereka tak dapat diragukan lagi. Kita bisa melihat bagaimana depresinya Irma Rihi saat memerankan Martha yang begitu trauma; turut bersimpati dan merasakan semangat Orpa yang tengah mencari keadilan untuk anak-anak perempuannya; ikut kesal dan marah dengan akting Willyam Wolfgang yang memerankan sosok predator seksual.

Saya merasa sangat patut untuk angkat topi bagi keseluruhan ansambel pemain karena berhasil membawakan peran yang mampu mengaduk emosi penonton.

Latar lokasi yang indah, tapi kisahnya bikin marah

Dok. Bintang Cahaya Sinema

Seperti judulnya, Women from Rote Island memang berlokasi di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Dalam film tersebut, sinematografinya berhasil menangkap keindahan Pulau Rote. Pantai berbatu yang cantik, bukit-bukit berumput, serta jalanan dengan pohon-pohon di masing-masing sisinya, cukup memanjakan mata.

Tapi, kisah yang dihadirkan justru sebaliknya, membuat kita marah. Jeremias Nyangoen dengan cerdas berhasil membuat adegan-adegan kekerasan dan pelecehan secara eksplisit. Sehingga, tanpa penggambaran yang gamblang pun kita bisa memahami apa yang sedang terjadi kepada sang tokoh utama dan kita turut merasakan emosi yang sama.

Pesan di balik Women from Rote Island

Dok. Bintang Cahaya Sinema

Film ini bukan hanya sekadar kisah perempuan yang menjadi korban kekerasan, tetapi juga mencerminkan keadaan sistem hukum, kondisi sosial, dan budaya yang masih menghadang upaya untuk memberikan keadilan kepada para korban. Linda Adoe, pemeran Orpa, mengungkapkan isi hatinya setelah dipercaya bermain di film ini.

"’Women From Rote Island’ bukan hanya sekadar film, melainkan panggilan hati untuk menyuarakan realitas kehidupan yang mungkin terabaikan. Ikut bangga rasanya bisa jadi bagian dari film yang sangat kuat pesannya seperti ini, karena bisa memberi pandangan baru dan menginspirasi penonton untuk peduli terhadap isu kekerasan seksual yang masih terjadi, bukan cuma di Rote, tapi di berbagai macam daerah di Indonesia."

Senada dengan Linda Adoe, Jeremias Nyangoen, selaku sutradara, menyampaikan rasa bangganya karena film ini akhirnya bisa tayang di bioskop, bisa bertemu dengan lebih banyak penonton dan ia berharap film ini bisa jadi pengingat untuk lebih dekat dengan keluarga kita.

"Dengan tayangnya film ini, saya berharap penonton tidak hanya terhibur, tetapi juga lebih terbuka terhadap isu-isu sensitif seperti isu kekerasan. Jadi lebih sadar betapa pentingnya keluarga untuk cerewet dan memperhatikan anak-anaknya, keponakannya, cucu-cucunya. Karena potensi kekerasan biasanya bermula dari keluarga. Dan kekerasan ini bukan cuma terjadi pada anak perempuan, tapi anak laki-laki pun bisa jadi korban. Begitu juga sebaliknya, pelakunya bukan cuma laki-laki, tapi perempuan juga bisa. Karena itu, harus lebih pandai menjaga anak-anak kita,” tutupnya.

Film ini tayang mulai 22 Februari 2024 di bioskop Indonesia dan masih akan terus mengembara ke berbagai festival film dunia. Kamu sendiri sudah nonton, belum?

IDN Media Channels

Latest from Inspiration