Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

Review 'Avatar: The Last Airbender': Casts Ciamik, Cerita Kurang Apik

Developing cerita yang kurang memuaskan

Niken Ari Prayitno

Serial yang paling sayang tunggu sejak tahun lalu, Avatar: The Last Airbender akhirnya tayang juga di platform Netflix. Masih mengisahkan tentang apa yang terjadi sesuai dengan komiknya, Avatar: The Last Airbender menyuguhkan kisah yang lebih detil dan para pemeran yang lebih mirip dibanding versi filmnya yang tayang pada tahun 2010.

Sayangnya, film ini seolah mengalokasikan lebih besar budget mereka untuk promosi daripada menggunakannya untuk developing cerita. Sebab, kisahnya cukup membuat saya bingung dan beberapa kali heran karena banyak yang melompat-lompat.

Berikut review Avatar: The Last Airbender versi POPBELA.

Cerita yang kaya terinspirasi dari cerita rakyat, budaya, dan legenda Asia

Dok. Netflix

Keempat negara, yaitu Air, Bumi, Api, dan Udara, sebelumnya hidup bersama secara harmonis. Avatar, penguasa keempat elemen tersebut, menjaga perdamaian di antara mereka. Namun semuanya berubah saat Negara Api melakukan serangan dan menghapus bangsa Pengembara Udara, langkah pertama mereka demi menguasai dunia. 

Avatar terinspirasi dari berbagai cerita rakyat, budaya, dan legenda Asia serta penduduk asli. Topik-topik yang serius seperti perang, penjajahan, trauma, hingga moral membuat kisah ini memiliki nilai yang mendalam dan menggugah. Serial versi live action berangkat dari animasi orisinalnya serta memiliki tambahan-tambahan seperti durasi, jalan cerita, dan narasi terkait.

"Tema-tema utama dalam serial ini adalah tidak menghiraukan berbagai perbedaan, mengatasi rasa pesimisme dan putus asa, serta berusaha menemukan harapan," terang produser/penulis Albert Kim, merangkum dari rilis yang diterima POPBELA. "Saya rasa tema-tema ini bersifat universal dan sesuai dengan zaman kita."

Sinematografi dan CGI yang ciamik

Dok. Netflix

Satu hal yang menjadi nilai plus dari series ini adalah bagaimana tim produksi menghidupkan karakter komik ke versi live action. Sinematografi yang indah dengan teknik pengambilan kamera yang dinamis, membuat kita seolah ikut melayang mengikuti bagaimana Aang (Gordon Cormier) melintasi Kuil Udara Selatan. Terdapat pula CGI yang begitu smooth, sehingga adegan pengendali empat elemen terlihat begitu nyata.

Jangan lupakan juga Appa, bison terbang berbulu lebat sahabat Aang. Dengan teknik CGI yang ciamik, Appa terlihat begitu hidup dan dapat berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.

Developing cerita yang membuat kecewa

Dok. Netflix

CGI dan sinematografinya yang bagus mungkin untuk menutupi kekurangan ceritanya yang begitu membuat kecewa. Saya paham bagaimana terbatasnya durasi dan budget yang dibutuhkan untuk membuat setiap detail dari film ini, tapi bukan berarti developing cerita dari komik ke serial menjadi asal-asalan, bukan?

Saya cukup kecewa dengan cara Netflix mengembangkan cerita. Banyak detail film yang dipotong, serta kisah yang digabung untuk memadatkan cerita. Tak akan masalah jika pada akhirnya kisah yang dipadatkan tersebut masih sejalan dan tidak mengubah apapun. Namun, akan menjadi masalah apabila malah mengubah konteks kisah yang seharusnya, sehingga membuat cerita menjadi kurang epik.

Sebagai contoh, saat di Omashu pada episode 3. Geng Avatar sudah bertemu dengan Jet (Sebastian Amoruso) dan teman-temannya. Dalam buku, Jet memiliki rencana untuk menghancurkan bendungan air dan menenggelamkan desa. Kisah kemudian berubah di series. Jet justru hanya ingin membunuh Raja Bumi yang dianggap sudah tidak mampu lagi melindungi rakyatnya.

Akibatnya, tak ada adegan ledakan dahsyat yang seharusnya menjadi bagian epik dan puncak hubungan antara Katara (Kiawentiio Tarbell) dengan Jet. 

Deretan karakter yang kompleks dan menarik

Dok. Netflix

Berbagai karakter dalam serial ini memiliki kepribadian yang kuat dan, menariknya, terdapat pengembangan karakter sehingga penonton dapat sungguh-sungguh merasa melewati kisah ini bersama mereka. Sokka (Ian Ousley), misalnya, terlihat jenaka namun juga memiliki sisi rapuh yang berhubungan dengan masa lalunya. Aang sang bocah 12 tahun dianggap sebagai yang akan menyelamatkan dunia, dan tanggung jawab ini terasa amat berat bagi seseorang yang hanya ingin menjadi anak-anak biasa. 

Yang juga tak kalah penting adalah sisi inklusivitas maupun representasi dari serial ini, seperti yang diutarakan pemeran Kiawentiio. "Saat tumbuh dan menonton serial animasinya, saya sangat tertarik pada karakter Katara karena saya seperti bisa melihat diri saya sendiri di televisi. Representasi pada saat itu belum seperti sekarang dan saya sangat senang memiliki panutan yang amat keren dan kuat seperti dia," ujarnya. "Dan kini saya bisa memerankan tokoh itu untuk gadis-gadis kecil lainnya, sesuatu yang membuat saya sangat terharu."

Meski sebagian besar penonton memberi pujian untuk para karakter dan pemerannya, tak sedikit pula kritik pedas ditujukan untuk hal ini. Beberapa karakter dan pemerannya dianggap kurang pas merepresentasikan tokoh yang dimaksud. Misalnya, Elizabeth Yu yang dinilai kurang 'jahat' untuk karakter Azula, atau Thalia Tran yang sangat jauh dari karakter Mai yang anggun.

Pujian untuk karakter Jet dan Suki

Dok. Netflix

Dari semua casts yang terlibat dalam series ini, pujian paling besar diberikan kepada Sebastian Amoruso yang berperan sebagai Jet dan Maria Zhang yang memerankan Suki. Bukan hanya mirip dengan versi animasinya, keduanya juga dianggap berhasil menghidupkan imajinasi penonton tentang bagaimana visual mereka versi real life. Sayangnya, keduanya hanya muncul di satu episode saja dari keseluruhan cerita.

Semoga saja di musim selanjutnya akan lebih banyak screen time tentang mereka berdua. Mengingat kisah di komiknya, Sokka kembali bertemu dengan Suki dan berpacaran, bahkan liburan bersama.

Dok. Netflix

Itulah tadi review Avatar: The Last Airbender. Bagaimana pendapatmu soal series ini?

IDN Media Channels

Latest from Inspiration