Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

Beda Multitasking dan Task Switching, Mana yang Lebih Produktif?

Sama-sama disebut menurunkan produktivitas

Zikra Mulia Irawati

Apa yang kamu lakukan jika ada banyak tugas yang harus kamu selesaikan dalam waktu berdekatan? Sebagian pasti ingin menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tersebut sekaligus. Sementara itu, sebagian lainnya akan menjawab untuk mengerjakannya secara bergantian dengan cepat.

Hal di atas sering disebut juga dengan istilah multitasking dan task switching. Sayangnya, keduanya justru disebut dapat menurunkan produktivitas. Profesor Arthur Thomas Jersild sekaligus psikolog asal Amerika, pertama kali melaporkan hal tersebut pada 1927. Berdasarkan pengamatannya, performa orang yang berganti-ganti tugas dalam waktu singkat cenderung lebih lambat.

Lantas apa yang membedakan keduanya? Jika harus memilih salah satu, manakah yang setidaknya lebih baik dilakukan saat situasi sedang mendesak? Cari tahu lewat bahasan di bawah ini, yuk!

Multitasking hanya untuk 2% populasi dunia

newyorker.com

Gambar di atas adalah visualisasi bagaimana multitasking terjadi. Berasal dari kata multi dan tasking, istilah ini diartikan sebagai kegiatan melakukan banyak pekerjaan dalam sekali waktu.

Namun, pakar dunia kerja asal New York bernama Rebecca-Gissin Martin menyebut bahwa otak manusia tidak mengenal multitasking. Profesor psikologi dari University of Utah, David Strayer, juga berpendapat demikian.

Multitasking sebetulnya tidak ada. Otak hanya bisa memproses suatu hal pada suatu waktu,” kata Martin.

Mengutip newyorker.com, Strayer melakukan sebuah penelitian kepada 1.000 orang di Inggris dan hasilnya mereka tidak bisa melakukan multitasking. Sementara itu, enam orang lainnya diamati di sebuah laboratorium di London. 

Hasil penelitian menunjukkan empat di antaranya menunjukkan hasil yang bagus, tetapi tidak dapat memenuhi kriteria maksimal yang diharapkan para peneliti. Sementara itu, dua lainnya menunjukkan hasil yang lebih baik. Dalam penelitian ini, seorang perempuan bernama Cassie menjadi yang terbaik.

Itu sungguh, sungguh tes yang sulit. Beberapa orang keluar dengan lemah, saya sakit kepala, benar-benar jenis sakit yang seperti itu, sejenis itu. Namun, dia menyelesaikan segalanya. Dia melaluinya seperti sebuah pisau panas yang memotong sebuah mentega,” kenang Strayer.

Cassie justru disebut lebih baik saat multitasking. Menurut Strayer, orang seperti perempuan itu di dunia ini sangat jarang, mungkin hanya sekitar 2%. Otak manusia pada dasarnya memang tidak dirancang untuk melakukan multitasking.

Multitasking yang berhasil adalah task switching

pexels.com/Karolina Grabowska

Istilah lainnya yaitu task switching. Beda tipis, orang yang melakukan kegiatan ini juga melakukan banyak hal sekaligus. Namun, mereka melakukannya secara bergantian dalam waktu yang cepat, biasanya karena suatu interupsi.

Teori dari Profesor Jersild yang telah disebutkan di awal tulisan dikenal dengan Task Switching Paradigm. Sebagaimana halnya multitasking, menurutnya task switching juga mengurangi tingkat produktivitas seseorang.

Pada 1995, teori serupa juga dikembangkan oleh Robert Rogers dan Stephen Monsell. Namun, teori mereka menyebutkan manusia mungkin saja melakukan task switching jika terus dilatih. Otak hanya akan berpikir lebih lama saat ada pergantian tugas dan itu biasa terjadi. 

Selain itu, ada anggapan bahwa multitasking yang berhasil sebenarnya adalah task switching. Susan Weinschenk, ilmuwan yang meneliti kebiasaan, mengatakan seseorang yang menganggap dirinya multitasking sesungguhnya sedang menipu diri.

Kita menipu diri kita sendiri. Kita sangat baik dalam berganti dan maju dengan cepat, jadi kita BERPIKIR kalau kita benar-benar multi-tasking. Tetapi pada kenyataannya kita tidak,” ungkapnya, dikutip dari psychologytoday.com.

Tidak fokus itu mahal

pexels.com/energepic.com

Dalam artikel yang sama, Susan mengungkapkan bahwa ketidakfokusan itu mahal harganya. Saat berganti tugas, sangat mungkin kita melakukan kesalahan yang hanya akan membuang-buang waktu kita.

Akibatnya, produktivitas kita akan ikut turun sebanyak 40%. Konsultan dari perusahaan konsultasi bernama Crisp, Henrik Kniberg, membuat visualisasi menarik yang mengilustrasikan betapa melakukan beberapa hal di waktu yang sama hanya akan memperburuk performa kita.

Jadi, lebih baik multitasking atau task switching saat sedang terdesak? Jawabannya ada di kemampuan diri kamu masing-masing, ya, Bela!

IDN Media Channels

Latest from Working Life