Sejarah Mahkota Pengantin, Sudah Ada Sejak Peradaban Kuno

- Mahkota pengantin sudah ada di peradaban kuno, melambangkan otoritas dan keanggunan ilahi dalam peradaban Mesir dan Yunani kuno.
- Mahkota pengantin populer di daerah pertanian sebagai simbol kesucian pengantin perempuan dan status keluarganya, dengan variasi dari flower crown hingga mahkota emas.
- Di Indonesia, mahkota pengantin juga beragam sesuai kebudayaan masing-masing suku, mencerminkan kekayaan budaya dari berbagai daerah. Kini, mahkota pengantin dapat mempermanis penampilan dan memberikan rasa tradisi serta warisan.
Pernikahan punya banyak tradisi hingga aksesoris yang mengundang perhatian untuk diketahui asal usulnya. Salah satunya adalah mahkota pengantin atau headpiece yang menjadi pelengkap tampilan pengantin perempuan di hari bahagianya. Secara tradisional, mahkota pengantin yang dalam bahasa Jerman disebut Brautkrone atau di Black Forest, Schäppel, adalah hiasan kepala yang, di Eropa Tengah dan Utara, dikenakan oleh perempuan lajang pada hari libur tertentu, di festival, dan di pernikahan mereka.
Mahkota pengantin berevolusi dari rangkaian bunga sederhana menjadi hiasan kepala yang menandakan status dan kemurnian. Secara historis, mahkota, terutama di komunitas petani, melambangkan kebajikan pengantin perempuan dan status sosial keluarganya. Ada pula variasi di daerah lainnya dengan bahan yang berkisar dari bunga dan rempah-rempah hingga logam mulia dan permata, yang mencerminkan kekayaan keluarga pengantin perempuan dan adat istiadat daerah tersebut.
Yuk, intip sejarah mahkota pengantin berikut ini.
1. Sudah ada di peradaban kuno

Mengutip dari Ellee Couture Boutique, mahkota atau tiara pengantin muncul dari istana mewah dan megah, melambangkan otoritas dan keanggunan ilahi dalam peradaban kuno. Di Mesir kuno, tiara menghiasi kepala firaun dan keluarga kerajaan, melambangkan kekuatan dan otoritas, membangkitkan kekaguman dan penghormatan.
Di sisi lain, di Yunani kuno, tiara menghiasi kepala para dewi dan perempuan terhormat, melambangkan kecantikan dan status mereka yang tinggi. Dengan ini, dapat ditelusuri tradisi mahkota pengantin kembali ke peradaban kuno, di mana tiara tersebut dikenakan oleh keluarga kerajaan dan bangsawan.
2. Populer di daerah pertanian

Mahkota pengantin mungkin merupakan bentuk hiasan kepala tertua yang dikenakan oleh pengantin perempuan bersama dengan tradisi buket bunga dan veil. Aksesoris ini melambangkan kesucian sang pengantin, dan juga merupakan simbol status bagi keluarganya. Mahkota pengantin sangat populer, terutama di daerah pertanian. Di beberapa daerah, pengantin perempuan melepas mahkotanya setelah kebaktian di gereja dan menggantungkannya di atas meja pernikahan sebagai tanda perdamaian.
Tradisi mengenakan mahkota pengantin diyakini berasal dari abad pertengahan, dengan pengaruh simbolisme keagamaan, khususnya mahkota Perawan Maria. Dalam tradisi Skandinavia, di Swedia dan Norwegia, mahkota pengantin merupakan tradisi yang sudah berlangsung lama, dengan aturan dan adat istiadat seputar penggunaannya yang terdokumentasi sejak abad ke-16.
3. Flower crown hingga variasi emas

Pada abad ke-18, mahkota pengantin kebanyakan digantikan oleh flower crown pengantin di banyak tempat, seperti kebiasaan kaum Pagan yang sudah dimulai pada abad ke-4. Salah satu pemakaian mahkota pengantin dalam keluarga kerajaan adalah ketika pernikahan Putri Mary dari Saxe-Altenburg dengan Raja George V dari Hanover pada tahun 1843. Saat itu, George V mengenakan mahkota emas yang besar dan istrinya mengenakan mahkota emas yang lebih kecil.
Mahkota pengantin menjadi sangat bervariasi menurut wilayah masing-masing. Di negara Norwegia, Swedia, dan Serbia, misalnya mahkota pengantin terbuat dari perak. Sementara itu, di Bavaria dan Silesia terbuat dari kawat emas, batu kaca, dan serpihan logam berkilauan.
Di Black Forest, Jerman, mahkota pengantin juga dihiasi mutiara, bola kaca, cermin, dan pita atau mawar kertas. Berbagai macam mahkota pengantin juga terlihat di Hungaria dan Slovakia di mana banyak yang menampilkan bunga dan manik-manik buatan.
Di Skandinavia, mahkota pengantin saat ini biasanya terbuat dari kuningan, perak, atau emas, dibentuk seperti mahkota kecil seorang putri, dan seringkali dihiasi permata serta ornamen. Mahkota ini sering digunakan dengan veil panjang. Paroki-paroki gereja Skandinavia menyimpan mahkota tersebut dan meminjamkannya kepada para pengantin untuk upacara dan resepsi pernikahan mereka. Mahkota ini berkaitan dengan Perawan Maria, dan merupakan pernyataan kemurnian dan keperawanan seorang perempuan muda di pernikahannya.
4. Mahkota pengantin di Indonesia

Indonesia juga tak kalah dalam hal mahkota pengantin. Memiliki ribuan suku, mahkota pengantin di Indonesia sangat beragam sesuai kebudayaan masing-masing. Ini sekaligus mencerminkan kekayaan budaya dari berbagai daerah. Beberapa contoh mahkota pengantin yang populer antara lain, siger (Sunda dan Lampung), suntiang (Minang), saloko (Bugis), dan mahkota pengantin adat Bali. Setiap mahkota memiliki bentuk, bahan, dan makna tersendiri yang terkait dengan adat dan tradisi daerah masing-masing.
5. Kini untuk mempermanis penampilan

Mahkota pengantin memiliki kekuatan untuk mengubah penampilan pengantin perempuan dari biasa menjadi luar biasa. Ini menambahkan sentuhan halus pada pakaiannya dan meninggalkan kesan yang abadi pada para tamu. Mahkota pengantin juga dapat memberikan rasa tradisi dan warisan, sebagai bentuk penghormatan kepada masa lalu sambil memulai perjalanan baru dalam kebersamaan dan harmoni. Hiasan kepala yang kental akan budaya bisa merepresentasikan latar belakangmu dan menghubungkanmu dengan warisan yang telah diturunkan.
Hiasan kepala non-mahkota, seperti flower crown juga bisa dipakai dan memiliki makna kesuburan dan kemurnian, atau menggunakan headscarves berhiaskan permata dapat melambangkan kemakmuran dan keberuntungan. Selain itu , mahkota juga memberikan kamu kesan keanggunan yang cocok dengan julukan Ratu dan Raja Sehari.
Itulah sejarah dari mahkota pengantin yang menjadi lambang keanggunan dan kebajikan.



















