Beyond Jazz: Menikmati Rangkaian Budaya di BRI Jazz Gunung Series Ijen
- BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen menampilkan jazz dan budaya
- Jazz Patrol Kawitan membuktikan musik jazz bisa dari instrumen tradisional
- Pameran seni batik dan patung menambah semarak budaya di acara tersebut
Akhirnya POPBELA tiba juga di Banyuwangi. Kota paling ujung dari Pulau Jawa ini menyimpan banyak pesona dan budaya yang tak pernah habis untuk dibahas. Dan kali ini, POPBELA menginjakkan kaki di Banyuwangi untuk menikmati jazz di kaki Gunung Ijen.
Tapi, bukan hanya soal musik. BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen menghadirkan lebih dari sekadar konser musik jazz. Banyak budaya juga dipamerkan di sini. Ini menjadi bukti bahwa sekarang jazz bukan lagi jenis musik yang hanya bisa dinikmati oleh segmentasi tertentu, tapi juga telah melebar menjadi sebuah pengiring budaya yang makin diterima oleh masyarakat luas.
Jazz Patrol Kawitan: kawinnya musik jazz dan alat musik tradisional Jawa
Siapa bilang kalau musik jazz hanya bisa dihasilkan dari instrumen modern? Jazz Patrol Kawitan membuktikan sebaliknya. Tampil di Panggung Suka Ria, BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen, Jazz Patrol memanaskan suasana di siang hari yang cerah itu. Dengan lantunan lagu-lagu yang kebanyakan instrumental, Jazz Patrol Kawitan membawakan lagu dengan tempo yang cepat.
Sembari menikmati minuman dingin yang dibeli dari pujasera UMKM yang sengaja dibuka di sekitar Taman Gandrung Terakota Jiwa Jawa Resort Ijen, Banyuwangi, saya menikmati alunan musik dari Jazz Patrol Kawitan yang begitu menarik perhatian.
Pameran seni yang menambah semarak budaya BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen

Sebelum penampilan musisi pertama di panggung utama dimulai, saya menyempatkan diri untuk melihat-lihat pameran budaya yang tersaji di sekitar venue. Ada dua pameran yang digelar di Taman Gandrung Terakota Jiwa Jawa Resort Ijen untuk menyemarakkan BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen.

Pertama, adalah pameran batik dengan tajuk ‘Beta Jemur’. Ini adalah pameran tunggal batik dari Dudung Ali Syahbana, seniman batik asal Pekalongan yang karyanya telah mendunia. Puluhan batik dipamerkan dengan cara dijemur di antara ranting pohon bambu yang menjulang, membuat kain batik menjadi hiasan yang eksotis di tengah rimbunnya pepohonan bambu di sekitar venue.

Lalu ada pula pameran seni rupa patung yang dikutarori oleh Dr. Mikke Susanto, kurator sekaligus dosen pasca sarjana dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ratusan seni rupa luar ruang berupa patung tersebar di seluruh lokasi venue. Bukan hanya indah, patung-patung tersebut memiliki makna yang cukup simbolik. Beberapa bahkan menyimbolkan kritik sosial tentang apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini.
Dua Empat, membuka panggung utama dengan alunan yang syahdu
Puas berkeliling melihat-lihat pameran patung dan batik di sekitar venue, saya beranjak ke Amphitheater Taman Gandrung Terakota Jiwa Jawa Resort, lokasi panggung utama BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen. Panggung di bagian bawah dengan latar belakang sawah yang dihiasi patung penari yang terbuat dari terakota, menambah indah pemandangan sore hari itu.
Ditemani semilir angin yang berhembus, saya menikmati lagu demi lagu yang dibawakan oleh Dua Empat. Kurang lebih ada sebelas lagu yang dibawakan oleh Dua Empat yang sore hari itu mengajak Marini Nainggolan untuk mengisi vokalnya.
Mulai dari "From Friendship to Lovers", "My Funny Guy", "Isn’t It Romantic?", hingga "Happiness Under Your Nose", semua dibawakan dengan apik. Warna jazz Dua Empat yang beririsan dengan bossanova membuat lagu-lagu yang dimainkannya bukan sekadar memanjakan telinga, tapi juga membawa nuansa romantis ke udara.
Kompak dan romantisnya Nita & Alexander Aartsen
Jika berbicara soal Jazz Gunung, salah satu musisi yang paling saya tunggu adalah The Aartsen. Grup jazz keluarga tersebut kali ini tidak tampil sendirian, mereka menggandeng Adam Zagorski yang mengisi posisi sebagai drummer. Masih dengan semangat yang sama, Nita Aartsen selalu membuka penampilannya dengan aransemen lagu daerah ke dalam balutan musik jazz. Memanaskan suasana, ia membawakan "Jali-Jali" yang langsung mendapat sambutan riuh dari penonton.
Saat hari semakin sore, dan senja semakin memerah, The Aartsen membawakan lagu yang lebih romantis. Kali ini, Nita mengajak sang suami, Alexander Aartsen untuk membawakan lagu "Bunga Anggrek" ciptaan komposer Ismail Marzuki. Semakin spesial, Alexander tak hanya membawakan “Bunga Anggrek” dalam versi bahasa Belanda, ia juga berduet dengan sang istri sambil berdansa tipis-tipis yang membuat semua penonton ikut tersenyum.
Dari bangku penonton, saya ikut bertepuk tangan dan memandang kagum pada pasangan tersebut. Mungkin, Nita dan Alexander adalah contoh nyata 'married isn’t scarry' jika kamu menemukan belahan jiwa yang pas. Apalagi jika memiliki passion yang sama. Seperti keduanya yang sama-sama memiliki passion di musik jazz dan menurunkannya ke anak-anak mereka, sehingga bisa membuat grup jazz yang telah melanglang buana dari satu panggung ke panggung lainnya di dunia.
Irsa Destiwi menghantarkan malam lewat iringan pianonya yang magis
Hari semakin gelap, tapi panggung utama BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen semakin meriah. Setelah dibuat begitu bersemangat lewat duet pasangan romantis Nita-Alexander Aartsen, panggung dibuat agak sedikit kalem dengan Irsa Destiwi ft. William Lyle.
Instrumen dari grup ini menenangkan telinga. Alunan denting piano Irsa berpadu dengan cello dari William, menghasilkan musik yang indah dan menciptakan suasana yang magis. Meski durasi tampil dari Irsa harus terpotong sedikit lantaran gerimis yang tiba-tiba saja mengguyur venue, saya tetap sangat puas menyaksikan penampilan mereka. Mungkin, jika ada kesempatan lainnya, Irsa dan William harus tampil jauh lebih lama untuk memanjakan telinga pendengar.
Seru dan memikat dari Kevin Yosua Trio ft. Fabien Mary
Semakin malam semakin hangat. Kevin Yosua tampil langsung setelah Irsa Destiwi selesai. Bersama dengan Fabien Mary, Kevin membawakan musik-musik yang menemani penonton menghabiskan malam minggu mereka. Seru dan memikat, membuat durasi sekitar 40 menit tak terasa. Bahkan di jajaran kursi penonton, terlihat beberapa musisi yang ikut menyaksikan, salah satunya Irsa Destiwi.
Suliyana menutup malam minggu dengan cemerlang dan tak terlupakan
Waktu semakin malam, tanpa terasa, BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen sudah harus menampilkan musisi terakhir mereka. Suliyana & Glam Orchestra menjadi penutup malam itu. Penyanyi kebanggaan Banyuwangi tersebut tampil dengan glamor dalam balutan dress panjang gemerlap berwarna hitam. Dengan begitu ramahnya, Suliyana menyapa penonton, juga Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani yang saat itu hadir untuk menyaksikan.
Lagu "Cundamani" langsung bergema saat Suliyana memasuki panggung. Suaranya yang lembut tapi powerful, seolah membius penonton yang membuat semuanya langsung ikut bernyanyi bersama.
Bukan cuma membawakan lagu-lagunya sendiri, Suliyana membawakan pula lagu milik Almarhum Didi Kempot, "Kanggo Riko" yang diaransemen ulang ke dalam musik jazz, lalu ada pula lagu "Kopi Dangdut", dan "Cinta" milik Vina Panduwinata yang dibawakan dengan suara khasnya yang manja.
Suliyana menutup malam itu dengan lagu "Rungkad" yang–meskipun dibawakan dalam alunan musik jazz–tetap membuat penonton tak tahan ingin ikut bergoyang. Meski tak rela malam itu berakhir, tapi penonton tetap puas dengan semua rangkaian musisi yang tampil di malam itu.
Saya sendiri juga pulang dengan hati yang penuh. Sebab, hari itu tak cuma telinga saja yang mendapat asupan musik-musik terbaik, tapi juga puas menikmati seni rupa luar ruang yang membawa perspektif baru tentang budaya.
BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen menjadi rangkaian Jazz Gunung terakhir di tahun 2025 ini. Kalau kamu belum berkesempatan untuk menontonnya tahun ini, POPBELA doakan kamu bisa datang di Jazz Gunung tahun depan!



















