Jazz Gunung Bromo 2025 Series 1, Magical Beyond Jazz

Jazz Gunung Bromo 2025 Series 1, event musik Jazz Etnik di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.
Acara dimulai dengan jalan santai di pertanian gunung Bromo, puppet show, dan pameran seni ISI Yogyakarta.
Penampilan musisi jazz muda seperti Emptyyy, Jamie Aditya, Love Is, Kua Etnika, Karimata, dan RAN menjadi highlight acara.
Event musik Jazz Etnik, Jazz Gunung, kembali hadir menyapa para penggemar musik Jazz untuk bersama-sama menikmati harmoni indah musik dan alam Bromo di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Bertajuk BRI Jazz Gunung series 1 & 2 : Bromo 2025, event musik tahunan ini digelar pada 19 dan 20 Juli 2025 untuk series yang pertama dan dilanjut pada tanggal 25 dan 26 Juli 2025 untuk series yang kedua.
Udara dingin di kaki gunung yang menyentuh 13 derajat celcius menjadikan pagelaran tersebut semakin memorable untuk saya yang pertama kalinya hadir di Jazz Gunung Bromo. Kalau biasanya Popbela menggambarkan Jazz Gunung sebagai sesuatu yang romantis, untuk kali ini acara tersebut tidak hanya hadir secara romantis, tapi juga magical dan beyond jazz.
Seperti kata Sigit Pramono, salah satu founder Jazz Gunung, Jazz Gunung Bromo Series 1 ini benar-benar membawa para pengunjungnya untuk mengaktifkan panca indra dan menikmati beragam seni.
Diawali dengan jalan santai di pertanian gunung Bromo

Tak dari sore hari, rangkaian acara Jazz Gunung Bromo 2025 dimulai dari jam 9 pagi. Para pengunjung termasuk saya dan teman-teman media, serta adik-adik dari SDN Jetak Bromo diajak untuk jalan santai menyusuri jalan setapak yang biasa dilalui para petani kala memilah hasil panen sayur mereka. Sungguh menyenangkan mengawali hari dengan udara pagi yang segar dan cukup dingin, matahari yang bersinar cerah, warna hijau dari tumbuh-tumbuhan yang ada, serta keramahan para penduduk sekitar.
Menyaksikan puppet show bersama para adik-adik SD

Hal menariknya, jalan santai itu diselingi dengan pertunjukkan puppet dari Papermoon. Di beberapa spot ladang sayuran, sebuah boneka puppet menyapa kami semua yang berperan sebagai warga lokal Bromo yang bekerja sebagai petani. Sampai akhirnya, pertunjukkan utama digelar di sebuah halaman luas. Berjudul Before Sunrise: Bromo, puppet show ini dibuat dan terinspirasi dari pengalaman Papermoon Puppet Theatre merespon ruang-ruang dan kisah yang dijumpai di sebuah desa di Bromo.
Kisahnya menceritakan bagaimana para petani sudah bekerja keras di penghujung pagi untuk menyediakan bahan makanan yang akan tersaji di meja nantinya. Usai pertunjukkan, siswa-siswi SDN Jetak Bromo diberi ruang untuk mengeksplorasi kreativitas mereka dalam workshop membuat boneka puppet menggunakan sayur-sayuran. Beberapa dari mereka membuat orang-orangan, peri, hingga Reog Ponorogo dari sayur tersebut.
Melihat karya seni para seniman ISI Yogyakarta

Selain pertunjukkan puppet, salah satu alasan lainnya festival kali ini disebut beyond jazz, karena kamu bisa menikmati karya seni dua dan tiga dimensi, termasuk lukisan dan patung, dari para seniman ISI Yogyakarta. Para seniman tersebut termasuk dosen dan mahasiswa ISI Yogyakarta yang dikurasi oleh kurator Mikke Susanto. Pameran visual art tersebut berlangsung pada 19 Juli-19 Agustus 2025 di Jiwa Jawa Resort Bromo, Probolinggo, Jawa Timur.
“Dan melalui kehadiran karya-karya ini kita berharap bisa menambah atau memberi kekayaan pengalaman kepada pengunjung yang mungkin berasal dari berbagai latar belakang dan melihat bagaimana seni akhirnya itu tidak perlu lagi dikotak-kotakan tetapi dia menjadi sesuatu yang holistik,” kata Irwandi, dekan fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Penampilan para musisi jazz muda

Di sore hari, sekitar pukul 15.00 WIB, para musisi jazz mulai melantunkan lagu-lagu mereka. Dibuka oleh Emptyyy, sebuah grup trio jazz-rock, yang terdiri dari Karel William, Mikail Alrabbdia dan Rega Dauna. Musik-musik mereka yang menenangkan dan penuh emosi membuat para penonton bergerak lembut di sore yang cerah dengan kabut tipis.
Dilanjutkan dengan penampilan Jamie Aditya bersama the Mezzrollers yang berhasil membuat suasana yang hangat, akrab dan penuh interaksi. Jamie membawakan lagu happy notes dengan gaya khasnya yang ekspresif bahkan mengajak penonton untuk menyanyi bersamanya. Menjadi momen nostalgia, beberapa lagu yang ia nyanyikan, termasuk “The Little Man Who Wasnt There”, “A Kiss To Build A Dream On”, dan “I Can't Give You Anything But Love”.
Di sesi kedua yang mulai jam 7 malam, kelompok jazz muda yang belum lama terbentuk, Love Is, ikut meramaikan Jazz Gunung Bromo 2025 Series 1. Grup yang terdiri dari Jason Mountario, Kelvin Andreas, Sri Hanuraga (piano), dan Rainer berhasil membuat penonton hanyut dalam lagu-lagu yang mereka bawakan. Alunan musik yang berirama mulai dari sendu hingga klimaks yang membuat para penonton larut dalam keheningan seolah mengajak untuk merenung dan merasakan lebih dalam makna dari nada-nada tersebut.
Mendoakan almarhum Djaduk Ferianto bersama Kua Etnika

Sebelum menutup sesi pertama, ada penampilan spesial dari Kua Etnika menjelang matahari terbenam. Mereka tampil di bawah langit yang mulai gelap di gunung Bromo serta bintang-bintang yang bersinar terang begitu indahnya menciptakan suasana yang begitu magical, terutama bagi saya yang biasa hidup di kota modern.
Musik jazz etnik Kua Etnika mengaktifkan indra para penonton yang mulai memenuhi Amphitheater Jiwa Jawa Resort, Bromo. Alat musik tradisional dan modern berpadu menciptakan harmoni yang indah. Penonton pun diajak untuk bermusik bersama dengan sebuah kentungan kecil yang bisa mereka bawa pulang sebagai oleh-oleh. Setiap section penonton bermain dengan nada yang berbeda, hingga menjadi sebuah alunan yang merdu.
Namun, puncak dari pertunjukkan mereka adalah mengenang sekaligus mendoakan almarhum Djaduk Ferianto. Seniman tersebut merupakan salah satu pendiri Kua Etnika yang berpulang pada tahun 2019 lalu. Tepat di hari ulang tahunnya tanggal 19 Juli kemarin, Kua Etnika membawakan sebuah komposisi berisi doa bagi sang artis maupun doa untuk semesta. Lirik berisi doa, melodi yang kental dengan etnik, membawa penonton ke suasana syahdu sekaligus magis.
Alunan menghangatkan hati dari sang legendaris Karimata

Grup legendaris Karimata menjadi salah satu highlight dan penampil yang paling dinanti oleh para penonton. Mereka tampill dengan formasi baru yang menyisakan dua orang founder-nya, Candra Darusman dan Aminoto Kosin. Lagi-lagi suasana nostalgia menyelimuti venue, dengan lagu-lagu Karimata dari era keemasan hingga aransemen baru. Di Jazz Gunung kali ini, Karimata berkolaborasi dengan penyanyi lokal asal Malang, Windy Triadi.
Menutup hari dengan sing along bersama RAN

Sampai di highlight utama Jazz Gunung Bromo 2025 Series 1, RAN. Trio yang terdiri dari Rayi, Asta, dan Nino ini membuat penonton berdiri, berjoget, hingga bernyanyi bersama dengan lagu-lagu mereka yang sudah tak asing lagi di telinga. Ketiganya juga beberapa kali menari dan berpose yang kompak untuk menghibur semua yang hadir. Isi hati pun terluapkan saat RAN membawakan lagu-lagu cintanya yang related dan penuh kenangan.
Semakin spesial, Jazz Gunung juga menjadi panggung pertama RAN membawakan single baru mereka yang berjudul “Masih Takut Mencinta”. Beberapa lagu yang dinyanyikan, mulai dari “Hey Tunggu Dulu”, “Jadi gila”, “Kulakukan Semua Untukmu”, “Dekat Di Hati”, dan ditutup dengan “Pandangan Pertama”. Di lagu-lagu terakhir, RAN mengajak semua penonton untuk lebih mendekat ke panggung untuk menciptakan kenangan bersama. Tak sedikit dari penonton yang berfoto bersama dengan para member-nya ketika lagu dibawakan.
Jazz Gunung Bromo menjadi momen malam minggu yang menyenangkan bagi para pasangan hingga keluarga. Ada yang datang berdua pasangan, bersama teman-teman, hingga bersama anak-anak mereka yang kecil. Mereka datang dari berbagai pulau di Indonesia, sampai ada yang dari negara lain, seperti Malaysia. So, sampai jumpa di Jazz Gunung series berikutnya, ya!



















