Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

Review 'The Creator': Mempertanyakan Humanisme Manusia vs AI

Ada lagu Indonesia yang muncul di tengah film

Zikra Mulia Irawati

Pernah membayangkan bagaimana manusia dan teknologi kecerdasan buatan (AI) hidup berdampingan di masa depan? Film terbaru 20th Century Studios, The Creator, memberikan sebuah gambaran yang spektakuler mengenai hal ini. Kemegahan teknologi yang tersaji menjadi sebuah pisau bermata dua, melindungi sekaligus melukai. 

Penonton pun dibawa ke dalam sebuah perjalanan penuh kebimbangan, mana yang lebih memiliki rasa humanisme di masa ini: manusia atau justru teknologi AI? Menariknya, film yang berlatar di Asia Baru pada 2065 ini menyelipkan lagu Indonesia di pertengahan cerita. Berikut ulasan lengkap Popbela untuk film The Creator yang sudah tayang di bioskop Indonesia mulai 27 September ini.

Sinopsis The Creator

Los Angeles di masa depan diceritakan menjadi luluh lantak akibat sebuah ledakan nuklir yang disebabkan oleh AI. Oleh karena itu, negara-negara barat mulai menentang produksi AI yang bentuknya kian menyerupai manusia. Di sisi lain, negara-negara Asia masih masif mengembangkannya.

Sosok pencipta di balik semua teknologi ini disebut Nirmata. Amerika Serikat berusaha menemukan orang yang menyandang gelar tersebut dan berusaha menyingkirkannya agar produksi AI juga berakhir. Mereka lalu memerintahkan sejumlah agen, salah satunya Joshua Taylor (John David Washington) yang kemudian jatuh cinta dengan Maya (Gemma Chan) dalam misi tersebut. Sayangnya Maya diduga tewas di saat kedoknya terbuka.

Bertahun-tahun kemudian, duka tersebut masih tinggal di hatinya. Petinggi Amerika Serikat lagi-lagi mengajaknya untuk memburu Nirmata dengan iming-iming bisa bertemu kembali dengan Maya. Ia menyanggupi dan membuat perjalanan penuh tantangan dengan sebuah teknologi baru berbentuk anak kecil yang ia beri nama Alphie (Madeleine Yuna Voyles).

Humanisme dalam teknologi

20th Century Studios

Menonton The Creator membuat saya tersentil dan berpikir kalau manusia bisa jadi makhluk paling jahat di alam semesta. Sedikit saja dunia tak berjalan sesuai keinginannya, mereka bisa menghalalkan segala cara termasuk membunuh. Ada salah satu potongan dialog yang paling berkesan yang kurang lebih berbunyi seperti ini:

Pasukan AS: mengapa kalian begitu melindungi para AI?

Warga Asia Baru: mereka memang cuma AI, tetapi mereka memperlakukan kami lebih baik daripada kalian!

Dalam beberapa adegan, Maya juga beberapa kali bercerita kepada Joshua bahwa ia tumbuh besar dengan asuhan para AI karena keluarga aslinya telah tiada. Hal ini kontra dengan anggapan yang dipercayai masyarakat bahwa teknologi tidak memiliki perasaan sebagaimana para manusia. Akankah perkembangan teknologi di masa depan benar-benar secanggih itu sampai mereka bisa lebih humanis daripada manusia itu sendiri? 

"Penentuan waktu peluncuran film ini sungguh istimewa. Walaupun kami telah mengembangkan film ini selama bertahun-tahum, film ini dirilis pada saat yang sangat menarik. Dunia kita sedang dihadapkan dengan berbagai isu dan pertanyaan yang ingin kamu kami bahas melalui film ini–seperti makna menjadi manusia, apakah AI bisa memiliki kesadaran, dan perbedaan etika antara AI dan manusia. Menurut saya, eksplorasi pertanyaan-pertanyaan ini adalah kontribusi terpenting yang dapt diberikan oleh fiksi ilmiah," kata sutradara sekaligus co-writer The Creator, Gareth Edwards.

Elemen Indonesia dalam The Creator

20th Century Studios

The Creator menyelipkan elemen Indonesia berbentuk lagu di tengah-tengah cerita. Setidaknya ada tiga judul tembang dari band rock 70-an, Golden Wing, yaitu "Hanny", "Kasih Suci", dan "Hari yang Mulya". Perlu diingat kembali, latar lokasi film ini adalah Asia Baru. Tim produksi sampai melakukan riset ke 80 lokasi yang berlokasi di delapan negara, yaitu Thailand, Vietnam, Kamboja, Nepal, Jepang, Indonesia, Inggris (di luar Pinewood Studios London), dan Amerika Serikat (Los Angeles) agar ceritanya tetap autentik.

Hal menarik lain tentang film ini adalah proses produksinya yang menggunakan teknik Reverse Engineering, seperti yang dilakukan Gareth Edwards dalam film yang pertama kali disutradarainya pada 2010, Monsters. Alih-alih merancang film sampai matang terlebih dahulu, tim produksi The Creator justru melakukan pengambilan gambar tanpa latar belakang. Metode seperti ini dinilai lebih efektif karena film ini juga sampai memiliki empat babak penceritaan.

The Creator sudah tayang di bioskop mulai 27 September. Yuk, jadi saksi gambaran masa depan dengan konflik rumit antara manusia dan teknologi AI, Bela!

IDN Media Channels

Latest from Inspiration