7 Perang Kemerdekaan Indonesia Melawan Penjajahan

- Perang Gerilya: Soedirman memimpin perang gerilya di Yogyakarta, berhasil menguasai kota dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
- Perang Diponegoro: Pangeran Diponegoro memimpin perlawanan terbesar di Hindia Belanda selama lima tahun dengan korban yang mengerikan.
- Bandung Lautan Api: Rakyat Bandung membakar kota mereka sendiri sebagai tindakan drastis untuk mempertahankan kemerdekaan dari tentara Sekutu dan NICA.
Ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa Indonesia ternyata belum benar-benar selesai. Justru setelah itu, berbagai pertempuran heroik meletus di berbagai daerah untuk mempertahankan kedaulatan yang baru saja diraih.
Dari medan pertempuran bersenjata, aksi gerilya di hutan, hingga strategi diplomasi yang cerdas, semua dilakukan demi satu tujuan untuk memastikan merah putih tetap berkibar di bumi Nusantara.
Tak hanya di satu kota, perang kemerdekaan ini terjadi hampir di seluruh penjuru Indonesia, melibatkan ribuan pejuang dari berbagai latar belakang—tentara, rakyat sipil, bahkan pelajar. Berikut adalah tujuh perang besar yang menjadi saksi bisu betapa gigihnya perjuangan pahlawan kita. Simak artikel ini sampai akhir ya, Bela.
1. Perang Gerilya

Di tengah gelombang Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, situasi Indonesia berada di ujung tanduk. Yogyakarta, ibu kota saat itu, jatuh ke tangan Belanda. Banyak tokoh penting Republik ditangkap. Namun, ada satu sosok tetap memilih bertarung—meski tubuhnya sedang rapuh digerogoti penyakit TBC. Dialah Jenderal Besar Raden Soedirman.
Dengan kondisi kesehatan yang lemah, Soedirman memimpin perang gerilya selama berbulan-bulan. Bersama sekelompok kecil pasukan dan dokter pribadinya, mereka menempuh perjalanan berat melewati hutan, gunung, dan sungai, menghindari kepungan musuh sambil melancarkan serangan mendadak.
Puncak dari strategi ini terjadi pada pagi 1 Maret 1949, saat Serangan Umum dilancarkan serentak di berbagai wilayah Indonesia, dengan fokus utama di wilayah Yogyakarta—ibu kota saat itu. Hanya dalam enam jam, pasukan Indonesia berhasil menguasai kota, membuktikan pada dunia bahwa semangat kemerdekaan tak bisa dipadamkan. Peristiwa ini pun dikenang sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949.
Setelah kemenangan tersebut, kondisi Soedirman semakin memburuk akibat TBC. Ia berpindah-pindah untuk mendapatkan perawatan. Pada 29 Januari 1950, sang jenderal menghembuskan napas terakhir di usia 34 tahun.
2. Perang Diponegoro

Mari kita mundur seabad sebelumnya, tepatnya tahun 1825–1830. Perang Diponegoro menjadi salah satu perlawanan terbesar yang pernah mengguncang Hindia Belanda. Semua bermula dari hal yang tampak sepele yakni Belanda memasang patok di tanah leluhur Pangeran Diponegoro. Namun bagi sang bangsawan yang dikenal religius ini, tindakan itu adalah penghinaan besar.
Dengan prinsip hidup "sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati" yang artinya sejari kepala, sejengkal tanah dibela sampai mati—Pangeran Diponegoro mengajak rakyat Jawa berperang habis-habisan. Di pihak lawan, Belanda mengandalkan kepemimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock.
Perang berlangsung selama lima tahun dan memakan korban yang mengerikan: sekitar 200 ribu penduduk Jawa tewas, sebagian besar karena penyakit malaria dan disentri yang merajalela. Di pihak Belanda, 8.000 tentara kehilangan nyawa, dan biaya perang membuat kas kolonial hampir habis.
3. Bandung Lautan Api

Kala itu, di Bandung tahun 1946, ultimatum Belanda memerintahkan rakyat dan pejuang Indonesia untuk mengosongkan kota. Alih-alih tunduk, rakyat Bandung mengambil keputusan paling drastis yaitu membakar rumah dan kota mereka sendiri agar tak bisa dijadikan markas strategis oleh tentara Sekutu dan NICA.
Pada 24 Maret 1946, sekitar 200 ribu penduduk meninggalkan rumah mereka dan berjalan ke pegunungan di selatan Bandung. Api besar pun menjalar, membakar rumah, gedung, hingga fasilitas penting. Di tengah kobaran itu, terdengar lantunan lagu-lagu perjuangan—tanda bahwa semangat kemerdekaan tak ikut terbakar.
Keputusan ini lahir dari kekuatan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) kala itu tak sebanding dengan pasukan Sekutu dan NICA yang bersenjata lengkap. Namun, Bandung memilih berkorban demi kemerdekaan.
Tak tinggal diam, tentara Inggris melancarkan serangan balik. Pertempuran sengit pun pecah di Desa Dayeuhkolot, lokasi gudang amunisi milik Sekutu. Dua anggota Barisan Rakyat Indonesia (BRI) ditugaskan untuk menghancurkan gudang tersebut. Mereka gugur bersama ledakan dahsyat yang melumat gudang itu.
4. Perang Padri

Awalnya, Perang Padri (1803–1837) di Sumatera Barat hanyalah konflik internal. Kaum Padri ingin menerapkan ajaran Islam secara ketat, sementara Kaum Adat mempertahankan tradisi Minangkabau. Perbedaan pandangan ini memicu bentrokan panjang.
Situasi berubah ketika Kaum Adat meminta bantuan Belanda untuk melawan Kaum Padri. Bantuan itu memang datang, tapi berujung pada masalah yang jauh lebih besar yaitu pendudukan kolonial yang kian meluas. Ironisnya, justru campur tangan Belanda inilah yang akhirnya membuat kedua pihak bersatu. Tokoh-tokoh seperti Tuanku Imam Bonjol menjadi simbol perjuangan dan persatuan di tengah perbedaan.
Pada saat itu, masyarakat Sumatera Barat banyak terdiri dari para ulama dan tokoh adat yang memiliki ikatan erat dengan nilai-nilai budaya. Kedatangan bala bantuan dari Aceh semakin mempersulit langkah Belanda. Sebagai respons, Belanda menerapkan strategi pertahanan benteng tersel—membangun Fort de Kock di atas bukit yang tinggi dan Fort van der Capellen sebagai pusat pertahanan mereka.
5. Penyerbuan Batavia

Mungkin, perang ini tidak sepopuler pertempuran besar lainnya. Namun, Penyerbuan Batavia (1628–1629) adalah salah satu peristiwa yang membuktikan keberanian dan kecerdikan strategi perang Nusantara. Dipimpin oleh Sultan Agung dari Kesultanan Mataram, serangan ini menyasar Batavia—kini Jakarta—yang kala itu menjadi pusat kekuatan VOC di Hindia Timur. Merebut Batavia berarti menghantam jantung kekuasaan kolonial Belanda.
Serangan pertama dilancarkan pada Oktober 1628, langsung ke Benteng Holandia. Meski mengerahkan 10.000 prajurit, pasukan Mataram harus mundur karena kekurangan perbekalan. VOC mencatat menemukan 744 jasad prajurit Jawa.
Tak menyerah, Sultan Agung melancarkan serangan kedua pada 1629 dengan membawa 14.000 prajurit. Kali ini, Mataram menyiapkan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon untuk menjaga pasokan. Sayangnya, mata-mata VOC berhasil menemukan dan menghancurkan lumbung-lumbung itu.
Namun, Sultan Agung tak kehabisan akal. Ia kembali memerintahkan pasukannya mengotori Sungai Ciliwung, yang akhirnya memicu wabah kolera di Batavia. Serangan ini bahkan merenggut nyawa Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang terkenal kejam.
6. Perang Aceh

Jika ada wilayah yang terkenal gigih melawan penjajah, Aceh adalah salah satunya. Perang Aceh terjadi pada tahun 1873–1904 menjadi salah satu perang terpanjang dan paling melelahkan bagi Belanda dalam sejarah kolonial di Indonesia. Dipimpin oleh tokoh-tokoh legendaris seperti Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, dan Cut Nyak Meutia, rakyat Aceh berjuang habis-habisan dengan satu semangat: jihad membela Islam.
Menguasai medan hutan lebat, sungai deras, hingga pegunungan terjal, pasukan Aceh melancarkan serangan gerilya yang membuat Belanda kewalahan. Bahkan, perlawanan ini menewaskan Jenderal J.H.R. Köhler pada 1873 dan menggagalkan sistem pertahanan benteng tersel yang semula dianggap ampuh.
Belanda sadar, kekuatan fisik saja tak cukup untuk menaklukkan Aceh. Mereka pun mengirim Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda, yang menyamar dan mempelajari adat serta agama masyarakat Aceh untuk mencari celah kelemahan mereka. Strategi ini perlahan menggerus kekuatan Aceh, meski perlawanan rakyatnya tetap membara.
7. Perang Ambarawa

Pada tanggal 20 November hingga 15 Desember 1945, Ambarawa menjadi saksi pertempuran sengit antara satuan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bersama para pemuda melawan pasukan Sekutu Inggris yang dilaksanakan oleh NICA Belanda. Awalnya, sejak 20 Oktober 1945, Sekutu bergerak menuju Magelang dengan alasan membebaskan tawanan perang mereka dan NICA.
Namun, situasi memanas ketika Sekutu melanggar komitmen yang telah disepakati dalam naskah perjanjian. Pelanggaran ini memicu pecahnya pertempuran besar pada 20 November 1945. Di titik klimaks inilah, Kolonel Soedirman memimpin pasukannya dengan strategi cerdas yang kini dikenal sebagai supit urang—mengepung musuh dari dua sisi layaknya capit udang.
Hasilnya, pasukan Sekutu dan NICA terdesak hingga akhirnya meninggalkan Ambarawa. Kemenangan ini bukan hanya mengangkat moral para pejuang, tetapi juga mengukuhkan nama Soedirman sebagai panglima muda yang jenius dalam memimpin perang.
Meski deretan perang ini telah menjadi bagian dari lembar sejarah, semangat dan pengorbanan para pejuang yang tak lekang oleh waktu. Semoga artikel ini bermanfaat ya, Bela.



















