Review 'Wicked: For Good': Ketika Persahabatan Menjadi Sihir Terkuat di Negeri Oz

Wicked: For Good menyajikan nuansa yang lebih gelap, emosional, dan dewasa dibandingkan dengan film pertamanya.
Cerita ini mengisahkan persahabatan Elphaba dan Glinda yang diuji oleh kebenaran, kekuasaan, dan pilihan-pilihan sulit.
Sekuel ini menampilkan konflik politik kompleks, intrik moral, serta pertanyaan tentang arti kebaikan yang sesungguhnya.
Setelah satu tahun penantian, Wicked: For Good akhirnya menyihir layar bioskop Indonesia. Masih dengan kemegahan visual yang sama memikat seperti film pertamanya, sekuel ini membawa nuansa yang jauh lebih gelap, lebih emosional, dan lebih dewasa.
Jika Wicked (2024) tampil manis dengan warna pastel yang menenangkan dan cerita ringan yang ramah untuk anak-anak, maka Wicked: For Good adalah kebalikannya: penuh ketegangan moral, konflik politik yang kompleks, serta emosi yang berkecamuk di setiap sudut cerita. Film ini benar-benar menunjukkan bagaimana persahabatan Elphaba (Cynthia Erivo) dan Glinda (Ariana Grande) diuji oleh kebenaran, kekuasaan, dan pilihan-pilihan yang harus mereka ambil demi masa depan Oz.
Sudah menyaksikan filmnya, Bela? Simak dulu review-nya berikut ini.
Sinopsis 'Wicked: For Good' (2025)
Set setelah kejadian di film pertama, Wicked: For Good melanjutkan kisah Elphaba Thropp (Cynthia Erivo) yang kini dicap sebagai Wicked Witch of the West dan hidup dalam pelarian. Dari persembunyiannya di hutan, Elphaba terus berjuang membela hak para Animals yang ditindas rezim The Wizard. Di sisi lain, Glinda (Ariana Grande) telah menjadi wajah resmi pemerintahan Oz—Glinda the Good—yang bertugas menenangkan rakyat dan menjaga citra bahwa semuanya baik-baik saja di bawah kekuasaan The Wizard. Persahabatan keduanya kini retak oleh perbedaan jalan hidup dan pilihan yang terasa saling bertentangan.
Konflik memuncak ketika situasi politik di Oz semakin tidak stabil. Elphaba menemukan bahwa banyak Animals dipenjarakan dan kehilangan suara mereka, sementara Glinda mulai menyadari bahwa "kebaikan" yang ia wakili dibangun di atas kebohongan. Di tengah kekacauan ini, tragedi terjadi di Munchkinland, melibatkan Nessarose (Marissa Bode), Boq (Ethan Slater), dan sebuah mantra yang berujung pada lahirnya sosok Tin Man dan Scarecrow. Di saat yang sama, sebuah rumah dari Kansas jatuh menimpa Yellow Brick Road, membawa serta gadis bernama Dorothy dan anjingnya, Toto, ke tengah konflik Oz.
Kehadiran Dorothy membuat Oz makin bergolak. The Wizard memanipulasi keadaan dan mengirim Dorothy serta rombongan, lengkap dengan Singa Pengecut (Cowardly Lion)—untuk memburu Elphaba. Glinda terjebak di tengah: antara kesetiaannya pada rezim dan kasih sayang lamanya pada Elphaba. Di saat massa memburu sang "penyihir jahat", Elphaba dan Glinda dipaksa menghadapi pertanyaan terbesar dalam hidup mereka: apa arti kebaikan yang sesungguhnya, dan sampai sejauh mana mereka berani mempertahankan kebenaran, bukan hanya demi Oz, tapi juga demi persahabatan yang pernah mengubah hidup mereka.
| Producer | Marc Platt, David Stone |
| Writer | Winnie Holzman, Dana Fox |
| Age Rating | D13+ |
| Genre | Musical Fantasy |
| Duration | 137 Minutes Minutes |
| Release Date | 19 November 2025 (Indonesia) |
| Theme | Witch |
| Production House | Universal Pictures |
| Where to Watch | XXI Cinemas, CGV Cinemas |
| Cast | Ariana Grande, Cynthia Erivo, Jonathan Bailey, Ethan Slater, Bowen Yang, Michelle Yeoh, Jeff Goldblum |
Trailer 'Wicked: For Good' (2025)
'Wicked: For Good' Still Images
Kisah yang lebih gelap dan emosional dari film pertamanya

Wicked: For Good melanjutkan perjalanan Elphaba yang kini hidup dalam pelarian setelah mengungkap kebusukan yang disembunyikan oleh The Wizard. Di sisi lain, Glinda, yang kini dihormati sebagai simbol kebaikan, dipaksa menopang ilusi keadilan di hadapan publik, meski hatinya terus dihantui oleh perpisahan dengan sahabatnya. Ketegangan ini membuat sekuel ini terasa lebih matang, lebih padat, dan sama sekali tidak ditujukan untuk penonton anak-anak.
Cerita yang disajikan Jon M. Chu kini penuh cabang konflik, intrik politik, dan perdebatan antara kebenaran vs kekuasaan. Hampir di setiap adegan, kita disuguhi lapisan-lapisan moral yang mengajak penonton untuk ikut merenung. Tidak ada lagi dunia Oz yang dipenuhi warna pastel dan harmoni yang ada justru Oz yang lebih gelap, rapuh, dan penuh kebohongan.
Namun di balik kerumitan itu, film ini berhasil mempertahankan fokus utama: persahabatan dua perempuan yang saling membentuk hidup satu sama lain. Inilah yang membuat kisahnya tetap mudah diikuti tanpa kehilangan kedalaman.
Menyelami kembali para ikon Wizard of Oz

Salah satu daya tarik besar dari sekuel ini adalah kemunculan karakter ikonik dari The Wizard of Oz: Dorothy, The Scarecrow, Tin Woodman, dan Cowardly Lion. Meskipun tampil sekilas, kehadiran mereka memberikan kejutan nostalgis yang menyenangkan bagi para penggemar.
Sutradara Jon M. Chu sengaja memasukkan mereka sebagai jembatan antara kisah Wicked dan dunia klasik Oz, tetapi tanpa mengambil alih fokus film. Mereka hadir sebagai bagian dari sejarah yang turut membentuk masa depan Elphaba dan Glinda.
Munculnya mereka justru memperkuat pesan film bahwa setiap legenda memiliki sisi cerita yang belum pernah diceritakan. Dan melalui Wicked: For Good, kita diajak melihat bagaimana takdir mereka dimulai dari sebuah tragedi yang jauh lebih gelap daripada bauran warna-warni dongeng yang selama ini kita kenal.
Visual dan produksi megah yang tetap memanjakan mata

Satu hal yang tak pernah berubah dari Wicked adalah kualitas visualnya yang luar biasa. Sekuel ini kembali menghadirkan tata produksi yang megah. Mulai dari Emerald City yang kini tampak lebih mencekam, hingga langit Oz yang penuh kontras antara keindahan dan ancaman.
Desain kostum karya Paul Tazewell kembali menjadi sorotan. Gaun-gaun Glinda tetap memukau dengan sentuhan glamor yang lebih dewasa, sementara tampilan Elphaba semakin tegas dan ikonis. Perpaduan warna hijau dan pink juga muncul kembali, kini sebagai simbol ironi dan ketegangan di antara dua sahabat.
Studio Universal Pictures Indonesia bahkan menyelenggarakan berbagai kolaborasi dan instalasi khusus di Jakarta sebagai perayaan rilis film ini—dari facade light hijau-pink Grand Hyatt hingga instalasi seni di Plaza Senayan—yang semakin menegaskan betapa megahnya dunia Wicked dirayakan di luar layar bioskop juga.
Performa Cynthia Erivo dan Ariana Grande yang kian berlapis

Duo Cynthia Erivo dan Ariana Grande kembali menunjukkan chemistry yang begitu kuat. Erivo memerankan Elphaba dengan intensitas emosional yang lebih dalam. Ketakutan, keberanian, hingga luka batin yang ia bawa terasa nyata, seolah setiap nyanyian dan tatapan matanya menyimpan beban dunia Oz.
Ariana Grande pun tampil jauh lebih matang dibandingkan film pertama. Glinda yang dulu polos dan penuh harapan kini berjuang menjaga bayangan kebaikan di atas panggung politik Oz. Grande memerankannya dengan rapuh sekaligus kuat, membuat transformasi karakter ini menjadi salah satu yang paling menyentuh di sekuel ini.
Keduanya juga kembali menyanyikan lagu-lagu karya Stephen Schwartz dengan kekuatan vokal yang memukau. Seperti film pertama, soundtrack film ini menjadi salah satu highlight yang memperkuat emosi di setiap adegan. Lagu-lagu dari "For Good" hingga komposisi baru benar-benar mampu membuat penonton merinding.
Konflik lebih kompleks yang tidak lagi untuk anak-anak

Berbeda dengan film pertamanya yang ramah untuk semua usia, Wicked: For Good menyajikan konflik yang jauh lebih berat. Banyak adegan emosional yang mengharuskan penonton memahami lapisan moral di balik pilihan para karakter. Plot twist yang muncul juga tidak disajikan secara berlebihan, melainkan hadir sebagai pengungkap kebenaran yang telah ditutupi sejak lama.
Sekuel ini mengajak kita berpikir lebih dalam tentang arti kebaikan, keberanian, dan pengorbanan. Tentang bagaimana kekuasaan sering kali menuntut seseorang berbohong untuk mempertahankan citra. Tentang bagaimana persahabatan yang sejati justru teruji saat berada di sisi berlawanan dari sebuah konflik besar.
Meski ceritanya lebih serius, Wicked: For Good tetap memegang inti emosinya. Film ini menunjukkan bahwa persahabatan adalah sihir terbesar yang bisa dimiliki seseorang, bahkan dalam dunia sekompleks Oz.



















