Review 'Predator: Badlands': Stand Alone Sekuel yang Ringan dari Semesta yang Besar

- Film Predator: Badlands membawa perspektif baru dengan fokus pada perjalanan Dek, Yautja muda yang diremehkan dan mencari Kalisk.
- Plot ringan dan mudah diikuti tanpa beban informasi dari film pendahulu, serta menampilkan sisi emosional Predator yang belum pernah terlihat sebelumnya.
- Elle Fanning memberikan performa menarik sebagai Thia dan Tessa, sementara visual, dunia, dan desain makhluk dalam film ini memukau.
Berbeda dari film-film Predator sebelumnya yang identik dengan aksi brutal dan dominasi sang pemburu yang tak kenal ampun, Predator: Badlands hadir membawa perspektif yang sama sekali baru. Film arahan Dan Trachtenberg ini mengajak kita mengikuti perjalanan Dek, seorang Yautja muda yang justru menjadi sosok underdog, diremehkan oleh kaumnya, dan perlahan menemukan sisi empati dalam dirinya.
Untuk penonton yang belum familiar dengan semesta Predator, film ini surprisingly mudah diikuti. Tidak ada beban informasi dari film pendahulu. Tidak ada lore berat yang memaksa harus paham dulu. Kita tinggal duduk, menonton, dan pelan-pelan terseret ke dalam galaksi yang jauh dari kata manusiawi, tetapi terasa sangat emosional.
Sinopsis 'Predator: Badlands' (2025)
Predator: Badlands mengambil kisah dari Dek (Dimitrius Schuster-Koloamatangi), Yautja muda yang diremehkan oleh kaumnya, bahkan oleh ayahnya sendiri. Berbeda dengan Yautja lainnya yang tak kenal ampun, Dek justru memiliki sedikit empati di dalam dirinya dan ini membuatnya menjadi sosok tak biasa sekaligus mendapat perlakuan kasar dari sang ayah.
Tak ingin terus diremehkan, Dek bertekad untuk mencari Kalisk, makhluk paling tak terkalahkan. Ia berjanji kepada sang ayah akan membawa Kalisk ke hadapannya walau kemungkinannya sangat kecil. Dengan kemampuan dan senjata yang dimilikinya, Dek pergi ke Genna, tempat di mana Kalisk tinggal.
Walau rasa takut dan ragu menyelimutinya, Dek tetap bertekad membawa pulang Kalisk demi mengembalikan harga dirinya. Bisakah Dek membawa pulang Kalisk dan mendapat kehormatannya lagi?
| Producer | John Davis, Brent O'Connor, Marc Toberoff, Dan Trachtenberg, Ben Rosenblatt |
| Writer | Patrick Aison |
| Age Rating | 13+ |
| Genre | Science Fiction, Action |
| Duration | 107 Minutes |
| Release Date | 5 November |
| Theme | Science Fiction |
| Production House | 20th Century Studios |
| Where to Watch | XXI Cinemas, CGV Cinemas |
| Cast | Elle Fanning, Dimitrius Schuster-Koloamatangi, Reuben De Jong, Mike Homik, Cameron Brown |
Trailer 'Predator: Badlands' (2025)
'Predator: Badlands' Still Image
Cerita yang mudah diikuti walau berada di semesta besar

Sebagai seseorang yang bukan penonton film Predator ataupun Prey, saya sempat mengira film ini akan terlalu kompleks untuk dinikmati. Tetapi rupanya Predator: Badlands justru sangat ramah untuk penonton baru. Plot-nya ringan, tidak banyak simbol atau referensi yang harus kita pahami sebelumnya.
Sejak menit awal, film ini sudah menegaskan fokus ceritanya: perjalanan pembuktian diri Dek, yang dikucilkan oleh kaumnya dan dianggap lemah. Perjalanan itu membawa kita menjelajah planet Genna, sebuah wilayah mematikan yang menjadi ajang survival. Tidak ada kemelut politik atau detail teknis yang membingungkan, semua mengalir apa adanya.
Justru di kesederhanaan itulah, film ini terasa menyenangkan. Kita tidak perlu terlalu banyak berpikir, hanya perlu mengikuti emosi dan interaksi antarkarakter. Setiap langkah mereka terasa berarti.
Bersimpati kepada Dek, Predator yang justru paling manusiawi

Untuk pertama kalinya dalam franchise ini, Predator: Badlands benar-benar membawa penonton masuk ke sisi emosional seorang Predator. Dek digambarkan sebagai makhluk yang dianggap paling lemah, di ambang pengasingan, dan harus membuktikan dirinya dengan memburu makhluk paling berbahaya di galaksi. Hal ini juga ditegaskan dalam siaran media resmi yang menyebut film ini sebagai babak baru dari semesta Predator yang berfokus pada kedalaman emosi di balik spesies ikonik ini
Inilah hal yang justru membuat film ini berbeda. Dek bukan sekadar predator, layaknya manusia ia juga terluka, kecewa, ingin diakui, sekaligus ingin mengerti dirinya sendiri. Perubahan karakter ini berjalan perlahan dan sangat memikat. Kita dibuat peduli. Kita ingin ia selamat. Kita ingin ia menang. Perjalanan Dek adalah perjalanan menuju pengakuan, bukan hanya oleh kaumnya, tetapi oleh dirinya sendiri.
Elle Fanning Bersinar Lewat Dua Karakter yang Bertolak Belakang

Elle Fanning memberikan salah satu performa yang paling menarik dalam kariernya. Ia memerankan Thia dan Tessa, dua unit robot dengan kepribadian, visi, dan tujuan yang bertolak belakang. Thia yang penuh empati dan Tessa yang tunduk pada perintah program menghadirkan kontras yang kuat dalam film.
Peran ganda ini bukan sekadar gimmick. Keduanya menjadi poros emosional dan moral dalam perjalanan Dek. Thia menjadi jembatan bagi sisi empati Dek, sementara Tessa adalah pengingat bahwa dunia ini diciptakan untuk bertarung tanpa kompromi.
Cara Elle memberikan detail pada intonasi, ekspresi mikro, dan perubahan energi antar peran membuat dua karakter ini terasa seperti dua individu yang benar-benar berbeda. Tidak berlebihan bila kita menyebut bahwa ia adalah salah satu pusat magnet film ini.
Visual, dunia, dan desain makhluk yang menarik perhatian

Secara visual, film ini memukau. Planet Genna ditampilkan dengan dunia yang keras, ganas, tetapi indah untuk dipandang. Dari warna langit, tekstur bebatuan, hingga pencahayaan pucat yang menandakan lingkungan tak ramah, semuanya bekerja efektif memperkuat atmosfer.
Yang menarik, karakter Kalisk—makhluk tak terkalahkan—dirancang melalui inspirasi yang unik. Berdasarkan siaran media, kreasi fisiknya melibatkan tim kreatif berpengalaman dari Alien, serta studio efek legendaris Wētā FX untuk menciptakan sosok makhluk yang memiliki keagungan dan teror sekaligus
Sementara itu, wajah Dek dibuat dengan detail yang memungkinkan emosi terlihat jelas meski berada di balik rahang dan topeng predator. Hal ini membuat penonton bisa "merasakan" karakternya, bukan hanya melihatnya sebagai monster.
Tentang keluarga, pengakuan, dan pembuktian diri

Pada akhirnya, Predator: Badlands bukan hanya soal pertempuran. Bukan hanya soal predator versus dunia. Tetapi tentang bagaimana seseorang (atau sesuatu) berusaha diakui keberadaannya.
Tema keluarga, persetujuan, dan rasa memiliki terasa kuat. Dek berjuang untuk mendapatkan tempat dalam klannya. Thia berjuang untuk memahami makna keberadaan dirinya. Tessa berjuang menjalankan tujuan yang ia tidak pernah pilih sendiri.
Dan kita, sebagai penonton, memahami satu hal: bahwa bahkan di dunia paling brutal sekalipun, ada ruang untuk empati.
Berminat menyaksikannya di akhir pekan ini, Bela?



















