Review 'Legenda Kelam Malin Kundang': Perspektif Baru dari Kisah Ikonik Anak Durhaka

- Film 'Legenda Kelam Malin Kundang' menawarkan perspektif baru dari legenda klasik
- Sinopsis film mengangkat kisah Alif, seorang seniman micro-painting yang berjuang mengembalikan ingatannya setelah kecelakaan besar
- Alur film dibangun dengan cermat, memadukan misteri dan drama keluarga serta menyoroti ketegangan antar-generasi
Sejak kecil, kita dibiasakan untuk menghormati orang tua, terutama ibu. Legenda Malin Kundang menjadi simbol abadi dari pesan moral ini—anak durhaka yang dikutuk menjadi batu karena menolak ibunya. Namun, bagaimana jika kita melihat kisah itu dari sisi sang anak? Apakah benar hanya karena durhaka, atau ada luka dan trauma yang tak terlihat selama bertahun-tahun?
Film Legenda Kelam Malin Kundang karya Joko Anwar bersama dua sutradara muda, Rafki Hidayat dan Kevin Rahardjo, membawa kita menjelajahi sisi manusiawi dari kisah klasik ini. Dengan membingkai narasi melalui karakter Alif, seorang seniman micro-painting yang berjuang mengembalikan ingatannya setelah kecelakaan besar, film ini menyajikan kombinasi antara drama, misteri, dan refleksi sosial yang mendalam. Penasaran? Mari simak informasi lengkapnya dalam artikel berikut ini, Bela!
Sinopsis Legenda Kelam Malin Kundang (2025)

Film Legenda Kelam Malin Kundang mengangkat kisah Alif, seorang seniman micro-painting yang selamat dari kecelakaan serius, namun memori masa lalunya belum sepenuhnya pulih. Saat kembali ke rumah, Alif disambut oleh sang istri, Nadine, dan anaknya, Emir. Namun, kedatangan perempuan yang mengaku sebagai ibunya mengguncang hatinya. Alif tidak mengingat wajah ibunya sama sekali, bahkan tidak memiliki kenangan apapun tentang masa kecilnya.
Ketegangan muncul ketika Alif mencoba menelusuri kebenaran di balik klaim perempuan itu. Setiap percakapan dan interaksi sarat emosi, menyingkap trauma lama dan ketegangan antar-generasi yang selama ini tersembunyi. Film ini bukan sekadar drama keluarga biasa; ia mengeksplorasi amnesia sebagai pemicu konflik emosional dan memperlihatkan bahwa cinta dan kepercayaan kepada keluarga tidak bergantung sepenuhnya pada memori, tetapi pada keberanian untuk mencintai tanpa syarat.
| Producer | Joko Anwar dan Tia Hasibuan |
| Writer | Joko Anwar, Aline Djayasukmana, dan Rafki Hidayat |
| Age Rating | D 17+ |
| Genre | Drama Misteri, Thriller Psikologis |
| Duration | 99 menit Minutes |
| Theme | Misteri |
| Production House | Come and See Pictures, Rapi Films, dan Legacy Pictures |
| Where to Watch | CGV dan Cinema XXI |
| Cast | Rio Dewanto, Faradina Mufti, Vonny Anggraini, Jordan Omar, Nova Eliza, Gambit Saifullah, Tony Merle, Sultan Hamonangan, dan Henry Manampiring |
Trailer Legenda Kelam Malin Kundang (2025)
Kedalaman karakter di 'Legenda Kelam Malin Kundang'

Salah satu kekuatan utama film ini adalah karakterisasi yang realistis dan akting mendalam para pemerannya. Rio Dewanto sebagai Alif berhasil memvisualisasikan seorang pria yang berjuang menghadapi trauma dan keraguan, dengan ekspresi mata yang menembus jiwa penonton. Sedangkan Vonny Anggraini sebagai Amak menghadirkan sosok ibu yang penuh luka, kesabaran, dan keteguhan hati.
Peran pendukung seperti Faradina Mufti sebagai Nadine dan Jordan Omar sebagai Emir, anak Alif, juga menambah lapisan emosional yang kuat. Setiap karakter membawa rahasia, konflik, dan rasa bersalah yang kompleks. Sutradara Rafki Hidayat dan Kevin Rahardjo menekankan bahwa tidak ada karakter yang sepenuhnya baik atau jahat, sehingga cerita terasa hidup dan manusiawi. Penonton diajak untuk memahami motivasi setiap tokoh, bukan sekadar menghakimi.
Menyoroti ketegangan dan alur cerita

Alur film dibangun dengan cermat, memadukan misteri dan drama keluarga. Dari momen pertama Alif bertemu Amak, hingga pengungkapan rahasia masa lalu, ketegangan selalu hadir tanpa terasa dipaksakan. Adegan seperti mimpi buruk yang menampilkan cermin retak, trauma masa kecil Alif, hingga konflik batin antara ingatan dan kenyataan membuat penonton selalu berada di tepi kursi.
Penulis skenario Aline Djayasukmana dan Joko Anwar memastikan setiap lapisan cerita—mulai dari trauma Alif, dinamika keluarga, hingga hubungan generasi—terjalin erat, sehingga konflik terasa alami dan memikat. Tidak hanya soal legenda Malin Kundang, tapi juga realitas sosial dan psikologi karakter modern yang relatable.
Sinematografi yang disuguhkan oleh Rafki Hidayat dan Kevin Rahardjo

Dari sisi visual, film berdurasi sekitar 99 menit ini menonjolkan atmosfer emosional. Cahaya lembut digunakan untuk adegan nostalgia, bayangan gelap untuk ketegangan, dan close-up menangkap sorot mata penuh makna para pemeran. Teknik micro-painting yang menjadi profesi Alif juga dimanfaatkan sebagai simbol memori dan detail yang hilang, menambah kedalaman visual.
Suara latar dan efek audio digunakan secara cermat untuk meningkatkan realisme dan ketegangan. Adegan di berbagai lokasi, seperti kolong tol Angke, membuat penonton merasa benar-benar berada di dalam dunia Alif sendiri.
'Legenda Kelam Malin Kundang' menawarkan perspektif baru

Film ini menawarkan reinterpretasi legenda klasik dengan perspektif modern. Alih-alih hanya menekankan “anak durhaka”, Legenda Kelam Malin Kundang menunjukkan sisi manusiawi dari setiap tokoh yaitu anak, orang tua, dan pasangan. Joko Anwar menegaskan bahwa film ini mengajak penonton memikirkan ulang kebiasaan memberi label, seperti anak durhaka.
Sehingga, setiap individu membawa cerita dan perjuangan yang tak terlihat. Hubungan antar-generasi selalu sarat ekspektasi dan luka, dan memahami satu sama lain adalah kunci untuk menghapus jarak emosional. Film ini juga menegaskan bahwa cinta dan penerimaan keluarga lebih dalam dari sekadar memori; ia menuntut keberanian untuk percaya dan mencintai tanpa syarat.
Legenda Kelam Malin Kundang tayang di bioskop Indonesia mulai 27 November 2025, dan siap membawa penonton menelusuri gelapnya masa lalu, trauma, dan cinta yang tak lekang oleh waktu.



















