Review ‘A Normal Woman’: Bawa Isu yang Rumit tapi Kurang Dijahit

Detail setting dan wardrobe menunjukkan pesan tersembunyi yang mendukung jalan cerita
Kemampuan akting Marissa Anita sebagai tokoh Milla sangat mengesankan dan dapat direlasikan
Penokohan pendukung film kurang greget, menyebabkan keluar dari jalurnya di bagian akhir cerita
Seperti menggunakan baju rajutan, kisah ini berhasil menghadirkan pakaian yang hangat bak sebuah pelukan. Sayangnya, ujung rajutan di bagian bawahnya koyak. Sehingga berantakan dan sedikit merusak keindahan baju yang sudah rapi tertata di bagian atasnya. Mungkin, inilah gambaran yang bisa saya ceritakan pasca menonton A Normal Woman, film terbaru yang dirilis oleh Netflix pada 24 Juli 2025 lalu.
Sinopsis: saat perempuan kehilangan dirinya sendiri setelah menikah

Milla (Marissa Anita) bisa dikatakan sebagai perempuan yang amat beruntung. Ia beruntung memiliki pasangan yang sangat mapan dengan bisnis yang sukses, ia juga tinggal di rumah bak istana yang megah, serta kehidupannya begitu teratur dan membuat iri siapapun yang melihatnya.
Tiba-tiba di suatu hari, Milla merasa ada yang tak beres dengan dirinya. Wajah dan tubuhnya yang mulus tiba-tiba berubah. Dan pikirannya yang tenang, tiba-tiba berhalusinasi. Milla merasa ia tak lagi mengenal dirinya sendiri. Apa yang terjadi dengan Milla?
Detail yang menyimpan banyak pesan tersirat pendukung jalan cerita

Satu hal yang membuat kagum dari film ini adalah detail pada setting dan wardrobe yang menyiratkan pesan tersembunyi terkait para tokohnya. Detail ini pula yang membuat sosok Milla semakin terlihat real dan relate.
Dimulai dari lokasi film ini. Lucky Kuswandi berhasil membangun set sebuah rumah megah penuh kemewahan, namun terkesan dingin. Kemegahan rumah ini menggambarkan bagaimana sempurnanya kehidupan Keluarga Gunawan. Kesuksesan dan kemapanan keluarga ini tergambar baik melalui rumah tersebut.
Di sisi lain, meski tampak megah dan kuat, rumah tersebut terkesan bagai penjara bagi Milla. Warnanya yang gelap, materialnya yang memberikan kesan dingin, serta temboknya yang tinggi, membuat ia mempertanyakan kembali, "apakah benar kehidupan seperti ini yang ia inginkan?"
Detail-detail ini kemudian ditambah dengan wardrobe yang semakin mendukung kesan depresif pada Milla. Mulai dari warnanya yang membosankan, hingga potongannya yang tak menonjol, membuat Milla 'menyatu' dengan rumah tersebut dan semakin tidak terlihat. Detail ini pula menggambarkan bagaimana Milla tak lagi memiliki identitas dan seolah ia kehilangan jati dirinya.
Hal ini begitu menarik. Sebab, menurut kacamata penonton, setting lokasi dan wardrobe yang ditampilkan, bukan hanya indah, tapi juga penuh dengan makna jika kita memperhatikan kembali dengan lebih saksama.
Cocoknya Marissa Anita memerankan Milla

Hal positif lainnya yang patut saya sampaikan adalah kemampuan akting Marissa Anita yang tak perlu dipertanyakan lagi. Marissa Anita dikenal sebagai sosok perempuan yang independen dan kuat. Namun, ia berhasil memerankan tokoh Milla yang submisif, kehilangan jati dirinya sendiri, bahkan berujung depresif.
Tentu, ini adalah layer penokohan yang baru lagi untuk Marissa. Dengan banyak diskusi, hasil riset, dan pengalamannya yang cukup mirip dengan Milla, Marissa berhasil mengembangkan tokoh Milla menjadi begitu hidup dan mungkin banyak yang relate dengan apa yang dialami oleh Milla.
Tokoh pendukung serba tanggung

Selain Marissa Anita, A Normal Woman dihiasi pula dengan tokoh pendukung lainnya yang semakin memperkaya jalannya cerita. Mulai dari Dion Wiyoko sebagai Jonathan Gunawan, Widyawati sebagai Liliana Gunawan, Mima Shafa sebagai Angel Gunawan, Maya Hasan sebagai Novi, dan Gisella Anastasia sebagai Erika.
Hadirnya para pendukung ini memang semakin melengkapi jalan cerita A Normal Woman. Sayangnya, beberapa penokohan hadir dengan serba tanggung. Jonathan, misalnya, ia digambarkan sebagai sosok suami yang hanya mementingkan image dirinya sendiri di hadapan publik. Namun, bagaimana ia bersikap egois terhadap Milla dan bagaimana ia berusaha mati-matian mempertahankan citranya di muka publik terkesan kurang greget.
Lalu, ada pula Erika yang digambarkan sebagai tokoh abu-abu. Tapi, abu-abu Erika di sini kurang meyakinkan penonton. Bahkan, kehadiran Erika dianggap angin lalu begitu saja karena perannya yang kurang berpengaruh terhadap sang tokoh utama.
Namun, peran pendukung terbaik di film ini saya haturkan untuk Widyawati. Perannya sebagai ibu mertua yang suka ikut campur dan masih mengatur anak laki-lakinya, benar-benar membuat penonton ikut merasa gemas dan marah.
Jahitan yang kurang di ujung cerita

Seperti pada bagian awal yang sudah saya sampaikan sebelumnya, film ini bagus di awal hingga pertengahan film. Namun, di bagian akhir film agak sedikit berantakan dan keluar dari jalurnya.
Maksudnya begini, saya paham bagaimana Lucky Kuswandi ingin menyampaikan banyak hal, memberikan kritik sosial terhadap apa yang terjadi belakangan ini, hingga memberikan pesan menguatkan untuk para perempuan. Sayangnya, bahan-bahan bagus tersebut kurang dijahit sempurna. Banyak ketimpangan dan kekosongan yang seharusnya bisa dihindari bila bahan tersebut dijahit dengan lebih rapi.
Penonton seolah diminta untuk mengumpulkan dan menyusun sendiri bahan-bahan yang sudah mereka temukan sepanjang film. Sehingga, interpretasinya bisa disimpulkan sendiri sesuai dengan pemahaman penonton.
Diskursus soal standar kecantikan dan peran perempuan di masyarakat

Film A Normal Woman menghadirkan kisah perempuan yang sedang dalam proses menemukan kembali dirinya. Ini digambarkan oleh Milla sekaligus putrinya, Angel. Jika Milla sedang berada dalam fase terkekang dan kehilangan jati dirinya, Angel (Mima Shafa) menggambarkan karakter remaja perempuan yang tengah bergulat dengan self-image.
Mima Shafa merasa sangat dekat dengan karakter Angel. "Lucunya, aku tertawa saat baca latar belakang karakter Angel. Aku merasa ini aku," ungkapnya.
Ia mengisahkan bahwa masa pubertasnya juga diwarnai tekanan. Ia kerap dibandingkan dengan sang ibu yang dianggap lebih memenuhi standar kecantikan Indonesia.
Sebagai seorang pegiat kesehatan mental dan body positivity, Mima sering membagikan perjalanannya dalam mencintai dan menerima dirinya sendiri.
"Karakter Angel sangat personal dan relatable buat aku. Memerankan Angel rasanya seperti memberi penghormatan untuk diri aku yang dulu. It’s such a big honor for me," jelasnya.
Terlepas dari semua kritik yang ada, A Normal Woman menjadi tontonan segar yang tak hanya menyenangkan untuk ditonton, tapi juga menyiratkan banyak pesan. Terutama untuk para perempuan yang kini sedang berjuang untuk menemukan kembali dirinya sendiri.



















