Akhir Februari 2025 ini, ada film horor baru yang punya cerita unik berjudul Pernikahan Arwah (The Butterfly House). Tak hanya membawa elemen magis, film satu ini juga membuat penonton ikut merasakan kesepian dan kesedihan karakternya.
Menariknya lagi, karya pertama Entelekey Media Indonesia bersama Relate Films ini mengangkat kisah tentang tradisi kuno Tionghoa, yaitu pernikahan arwah. Popbela berkesempatan menonton lebih dahulu filmnya pada 20 Februari 2025 lalu di Metropole XXI dan berbincang bersama para pemainnya.
Tayang di bioskop mulai 27 Februari 2025, berikut 5 alasan film Pernikahan Arwah (The Butterfly House) wajib masuk dalam watch list kamu.
1. Teror pada calon pengantin
Film ini dibuka dengan wajah Tasya (Zulfa Maharani) yang muram di hari lamarannya bersama Salim (Morgan Oey). Bukan tanpa sebab, ternyata Tasya kerap mengalami mimpi buruk tentang rumah Tionghoa kuno. Hingga prosesi selesai pun, ia beberapa kali melihat sosok nenek-nenek dengan rambut mengembang yang tampak mengerikan.
Tak hanya itu, Salim pun mulai mengalami mimisan setelah keluarga satu-satunya yang ia miliki meninggal. Ini karena tak ada yang menyalakan hio atau dupa di rumah keluarganya di kamar belakang yang punya kisahnya sendiri. Kira-kira apa alasan di baliknya?
2. Kisah cinta segitiga
Selain itu, kamu akan disuguhkan dengan kisah cinta segitiga antara Tasya, Salim, dan Febri (Jourdy Pranata). Ketiganya merupakan sahabat, di mana Tasya dan Salim akan menikah. Febri pun diminta tolong sebagai fotografer untuk momen spesial mereka, termasuk saat foto pre-wedding.
Bukannya menjadi hal yang indah, proses pre-wedding mereka justru mengalami banyak tantangan. Salah satunya saat Febri menyatakan perasaannya pada Tasya dan memaksakan cintanya pada sahabatnya itu, meski hampir terlambat.
3. Kisah kasih tak sampai
Kasih tak sampai menjadi poin penting dalam film ini. Kisah cinta Mei Hwa (Brigitta Cynthia) dan kekasihnya, Banu (Alam Setiawan), begitu pilu dan tragis. Kesedihan, kesepian, rasa kecewa, sampai amarah Mei Hwa pun tersampaikan ke penonton.
Ia merupakan sosok hantu tak tenang yang berusaha meminta tolong kepada keluarganya yang masih ada untuk mempertemukan serta menikahkannya dengan sang kekasih. Ia harus terpisah dengan kekasihnya di hari pernikahannya karena kondisi Indonesia yang tak kondusif di tahun 1940-an kala itu. Buat yang penasaran dengan perjalanan cinta Mei Hwa dan Banu, langsung saja ke bioskop, ya!
“Film ini menceritakan kisah cinta sepasang kekasih, yang kebetulan berasal dari keluarga Tionghoa. Namun, konflik yang mereka hadapi cukup relevan bagi siapa saja. Ada sisi emosional yang cukup kuat dalam film ini, tentang bagaimana kepercayaan leluhur bisa berbenturan dengan keinginan pribadi seseorang, ini membuat dilema yang bukan hanya tentang kengerian, tetapi juga hal yang menyentuh hati,” ujar Paul Agusta sang sutradara.
4. Lekat dengan budaya Tionghoa
Pernikahan Arwah (The Butterfly House) sangat lekat dengan budaya Tionghoa. Ceritanya mengangkat sebuah tradisi kuno Tionghoa, yaitu pernikahan arwah. Syutingnya pun di Lasem, Jawa Tengah, sebuah daerah yang memang lekat dengan etnis Tionghoa.
Latar rumah kuno khas Tionghoa yang menjadi rumah leluhur Salim dibuat sangat kental dengan ornamen-ornamen. Hio atau dupa, prosesi sembahyang, hingga pembacaan mantra saat tradisi pernikahawan arwah juga diperhatikan dengan baik dengan tidak ada kesalahan sesuai dengan pengawasan dari tokoh Buddha langsung.
Film ini juga menggambarkan bagaimana prosesi pernikahan khas Tionghoa, mulai dari sebelum pernikahan di mana pengantin disisiri sambil didoakan oleh ibunya. Film drama horor satu ini menjadi pilihan segar dan berbeda di gempuran film horor lainnya.
"Lasem dipilih sebagai lokasi utama karena keindahan serta keasliannya dalam merepresentasikan budaya Tionghoa di Indonesia. Kami ingin membawa nuansa yang autentik, sehingga suasana dalam film terasa lebih hidup dan mendukung cerita yang kami bangun. Selain itu, kami juga ingin mengangkat keunikan Lasem sebagai salah satu warisan budaya yang kaya akan sejarah," ujar Perlita Desiani, selaku produser Pernikahan Arwah (The Butterfly House) dan founder Relate Films.
5. Makna kupu-kupu
Terakhir, kamu akan diajak untuk berteori, menebak, dan mencari tahu makna kupu-kupu di dalam film tersebut. Seperti judulnya, film ini banyak memperlihatkan kupu-kupu. Penulis naskahnya, Ario Sasongko, mengatakan penonton harus jeli melihat kapan dan warna dari kupu-kupu tersebut muncul.
Setiap momen hewan tersebut muncul dan warnanya masing-masing punya makna tersendiri mulai dari kebahagiaan, pengharapan, reinkarnasi, cinta sejati, hingga transformasi antara dunia hidup dan mati.
6. Ending yang bikin bertanya-tanya
Ending-nya pun cukup membuatmu akan bertanya-tanya tentang akhir kisah Salim dan Tasya. Keduanya berjuang dengan sekuat tenaga untuk cinta mereka dan terlepas dari kewajibannya agar mereka bisa pergi dari rumah itu. Setidaknya, ending filmnya cukup memuaskan dan bisa dikatakan berakhir bahagia.
“Ada banyak orang yang mengalami situasi seperti Salim, karakter saya dalam film
ini—harus memilih antara keluarga atau pasangan,” ungkap Morgan Oey.
“Bagaimanapun, cinta itu satu. Jika terpisahkan oleh sesuatu, selalu ada cara untuk kembali. Film ini juga tentang perjuangan dalam sebuah hubungan,” ujar Zulfa Maharani.
Itulah alasan film Pernikahan Arwah wajib masuk dalam watch list kamu!
