Review Film 'Patah Hati yang Kupilih': Soal Cinta yang Tak Bisa Bersatu

- Patah Hati yang Kupilih mengangkat kisah cinta beda agama dengan pendekatan yang tenang dan realistis, tanpa drama berlebihan.
- Film ini menyoroti kedewasaan dalam hubungan, termasuk bagaimana cinta berakhir tanpa harus saling melukai.
- Patah hati digambarkan sebagai pilihan sadar dan bentuk pengorbanan, bukan sekadar kegagalan asmara.
Film drama romansa Patah Hati yang Kupilih garapan sutradara Danial Rifki menghadirkan kisah cinta yang tidak sederhana. Dibintangi Prilly Latuconsina sebagai Alya dan Bryan Domani sebagai Ben, film ini mengangkat isu cinta beda agama yang kerap menjadi realitas pahit di tengah masyarakat Indonesia. Cerita mereka tidak hanya soal jatuh cinta, tetapi juga tentang pilihan hidup, prinsip, serta konsekuensi emosional yang menyertainya.
Sebelum resmi tayang pada 24 Desember 2025, Sinemaku Pictures menggelar pemutaran perdana bagi media pada Kamis (18-12-2025) di Plaza Indonesia XXI. Dari tayangan perdananya, film ini terasa lebih dari sekadar drama romansa. Ada banyak pesan relasi yang relevan, emosional, dan dekat dengan realitas, terutama soal bagaimana cinta tidak selalu berujung pada kebersamaan.
Berikut Popbela akan mengulas review film Patah Hati yang Kupilih beserta pelajaran penting yang bisa dipetik setelah menonton. Yuk, simak!
Sinopsis 'Patah Hati yang Kupilih' (2025)
Alya (Prilly Latuconsina) dan Ben (Bryan Domani) menjalin hubungan yang dibangun atas rasa cinta yang kuat. Namun, kisah mereka tidak berjalan mulus karena perbedaan keyakinan yang menjadi penghalang besar di antara keduanya. Dalam situasi ini, cinta tak lagi hanya soal perasaan, tetapi juga tentang prinsip hidup dan konsekuensi yang harus siap dihadapi.
Di saat Alya berada dalam fase ragu, hadir Fadil (Indian Akbar), sosok yang menawarkan kenyamanan dan kestabilan. Ditambah lagi, Fadil mendapat restu dari ibu Alya (Marissa Anita). Kehadiran Fadil membuka kemungkinan baru bagi Alya untuk melanjutkan hidup dengan arah yang lebih tenang dan dapat diterima keluarga.
Namun, ketika Alya mulai berusaha melangkah maju, Ben kembali hadir membawa kenangan lama dan perasaan yang belum sepenuhnya usai. Alya pun terjebak dalam dilema besar: mempertahankan cinta lama yang penuh perjuangan, atau memilih patah hati sebagai jalan yang diyakininya paling tepat.
| Producer | Yahni Damayanti, Umay Shahab, Prilly Latuconsina, Bryan Domani |
| Writer | Junisya Aurelita, Ezra Cecio, Santy Diliana |
| Age Rating | 13+ |
| Genre | Drama Romantis |
| Duration | 109 Minutes |
| Release Date | 24 Desember |
| Theme | Drama Romantis |
| Production House | Sinemaku Pictures |
| Where to Watch | Cinema XXI, Cinepolis, CGV |
| Cast | Prilly Latuconsina, Bryan Domani, Indian Akbar, Humaira Jahra, Marissa Anita, Rowiena Umboh, Willem Bevers |
Trailer 'Patah Hati yang Kupilih' (2025)
'Patah Hati yang Kupilih' Still Images
Berani melepaskan

Patah Hati yang Kupilih sejak awal sudah menegaskan bahwa kisah cintanya tidak akan berjalan mulus. Hubungan Alya dan Ben dibangun dengan nuansa hangat, namun perlahan retak ketika perbedaan keyakinan mulai mengambil peran besar. Konflik ini tidak ditampilkan secara meledak-ledak, melainkan hadir sebagai tekanan yang terus membayangi hubungan mereka.
Keputusan untuk berpisah tidak digambarkan sebagai drama besar, melainkan sebagai pilihan yang pahit, namun masuk akal. Film ini memberi ruang pada emosi sunyi setelah perpisahan, membuat penonton memahami bahwa melepaskan di sini bukan tanda menyerah, melainkan kesadaran bahwa tidak semua cinta bisa dipertahankan.
Kedewasaan dalam hubungan

Film ini cukup berani menampilkan dinamika hubungan setelah cinta berakhir. Alya dan Ben tidak jatuh ke konflik klise atau saling menyalahkan, tetapi ditampilkan berusaha tetap dewasa, terutama dalam peran mereka sebagai orang tua. Pendekatan ini membuat cerita terasa lebih realistis dan relevan.
Alih-alih fokus pada drama pertengkaran, film memilih menyoroti bagaimana dua orang belajar menahan ego demi kepentingan anak. Pilihan ini membuat Patah Hati yang Kupilih terasa lebih tenang, sekaligus memberi warna berbeda di tengah film romansa Indonesia yang umumnya berakhir pada konflik emosional berlebihan.
Patah hati sebagai pengorbanan

Judul film ini menjadi representasi jelas dari cerita yang disampaikan. Patah hati tidak diposisikan sebagai kegagalan, melainkan sebagai keputusan sadar yang diambil oleh karakter utamanya. Alya digambarkan memahami konsekuensi dari pilihannya, termasuk rasa kehilangan yang harus diterima.
Pendekatan ini membuat film terasa lebih dewasa. Patah hati tidak dikemas secara melodramatis, tetapi sebagai bagian dari proses memilih prinsip hidup. Bagi penonton, sudut pandang ini memberi pengalaman menonton yang lebih reflektif tanpa harus terasa berat.
Menemukan kekuatan dalam penerimaan

Di paruh akhir, film lebih banyak menyoroti proses menerima dan melanjutkan hidup. Alya tidak digambarkan langsung pulih, tetapi melalui fase ragu dan kesepian yang wajar. Emosi ditampilkan dengan porsi yang cukup, tidak berlebihan, sehingga terasa lebih membumi.
Penutup film ini tidak menawarkan akhir bahagia yang klise, melainkan ketenangan. Patah Hati yang Kupilih menegaskan bahwa perpisahan bukan selalu akhir segalanya, tetapi bisa menjadi awal untuk menjalani hidup dengan pilihan yang lebih jujur pada diri sendiri.
Jadi, lewat Patah Hati yang Kupilih, penonton diajak memahami bahwa cinta tak selalu tentang memiliki. Adakalanya, memilih patah hati justru menjadi bentuk keberanian paling jujur untuk tetap setia pada diri sendiri dan prinsip hidup yang diyakini.
Jangan lupa saksikan di seluruh bioskop Indonesia pada 24 Desember 2025 mendatang, ya!


















