Membaca cerpen bisa jadi alternatif hiburan bagi kamu yang punya hobi baca. Tidak seperti novel yang butuh waktu lama untuk membereskannya, cerpen bisa kamu bereskan hanya dalam waktu yang singkat.
Bagi kamu yang menyukai genre romantis, Popbela punya kumpulan cerpen malam pernikahan romantis yang bisa bikin hatimu berdebar, nih. Yuk, langsung simak saja cerita selengkapnya berikut ini.
1. Perjodohan
Bagi Marisa dan Riko, malam pernikahan adalah hal yang cukup bikin mereka gugup. Kedua pengantin itu dibesarkan oleh keluarga yang sangat konservatif, pantas saja jika perasaan berdebar yang saat ini muncul begitu sulit untuk dilawan. Sebenarnya, Marisa dan Riko sudah saling mengenal satu sama lain sejak kecil. Karena persahabatan kedua orangtua mereka, Marisa dan Riko akhirnya dijodohkan. Syukurnya Marisa dan Riko merasa klik satu sama lain.
“Aku bingung harus melakukan apa saat ini," pikir Marisa ketika menunggu sang pujaan hati yang baru saja sah menjadi suaminya tersebut. Selang beberapa saat, Riko pun selesai menerima panggilan telepon dari salah satu sahabatnya yang tidak bisa menghadiri acara pernikahan keduanya.
“Ris...," panggil Riko sembari mendekati Marisa yang sedang duduk sembari menundukkan kepalanya. Riko merasa bahwa Marisa tampak gugup dan sedikit takut.
"Nggak apa-apa, kok, Ris, aku siap menunggu sampai kamu merasa nyaman."
Mendengar ucapan suaminya tersebut, Marisa merasa tersentuh dan berpikir bahwa ia tidak salah melabuhkan hati pada Riko. Marisa memang merasa sedikit takut dan canggung, terlebih ini adalah pertama kalinya Marisa berada sedekat ini dengan seorang laki-laki di satu ruangan yang sama.
Seketika, Riko pun memeluk pelan Marisa yang masih terlihat tertunduk. Riko menempatkan kepala Marisa dengan nyaman di bahunya.
“Makasih ya, Rik kamu benar-benar memikirkan perasaan aku saat ini. Jujur, aku merasa sangat canggung jika kita harus 'sedekat' itu di malam ini. Mungkin aku butuh waktu beberapa hari sampai akhirnya aku siap,” ucap Marisa.
Riko pun membantu Marisa agar merasa rileks dengan menyisir rambut sebahunya dengan perlahan.
Seiring berjalannya waktu, Marisa mulai nyaman dengan Riko. Ia mengatakan kepada Riko bahwa ia telah siap untuk menjadi lebih 'dekat' dengannya.
"Ris, kalau kamu masih merasa ragu, nggak apa-apa, kok, take your time. Aku nggak sedang buru-buru, kok. Kenyamanan kamu paling utama, jangan sampai kamu merasa tertekan," kata Riko.
"Nggak Rik, aku sudah merasa siap kok kali ini. Bukan karena perasaan tertekan, justru karena kamu mampu ngasih perasaan aman sama aku yang bikin aku siap kali ini."
Mendengar ungkapan Marisa, Riko seketika menjadi canggung. Karena hal ini juga yang pertama bagi Riko, ia bingung bagaimana harus memulainya. Padahal, Riko kira di malam pernikahan pertama mereka, semua akan berjalan lancar dan dia mendapatkan kepercayaan diri yang tinggi, nyatanya hari ini, setelah beberapa hari lalu pernikahan mereka terlaksana, Riko jadi ciut.
Akhirnya Riko mengambil jeda sejenak dan berusaha merilekskan tubuhnya. Sama halnya dengan Marisa, ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Marisa pun tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju kamar mandi seraya berbicara pelan, "Aku mau... pakai lipstick dulu."
Riko yang mendengar ucapan Marisa semakin merasakan debaran kencang di dalam dadanya. Tampaknya malam ini akan jadi malam yang nggak pernah terlupakan bagi kedua sejoli tersebut.
2. Laki-Laki Pilihanku
Di dalam benak Lia, malam pernikahan adalah momen yang ia 'takuti'. Bukan apa-apa, Lia sebenarnya sangat gugup jika harus berada di satu ruangan yang sama dengan suaminya, Aris, tanpa ada orang lain di sampingnya.
Lucunya, selama pacaran Lia sudah memberi ultimatum pada Aris bahwa keduanya hanya boleh berpegangan tangan, tidak lebih dari itu. Belum lagi Lia cukup sering mengajak teman-temannya untuk pergi bersamanya dengan Aris di acara kencan mereka. Namun, Aris tidak pernah menolak hal itu, ia paham mengapa Lia memilih untuk mengajak teman-temannya.
Dan sekarang setelah janji suci telah terucap, Lia otomatis jadi gugup setengah mati. Lia melihat sekeliling ruangan yang tampak romantis, dihiasi banyak kelopak mawar dan hadiah dari para sahabat dan kolega keduanya. Rasanya aneh sekaligus mendebarkan. Ponselnya pun mulai berbunyi secara bersahut-sahutan.
"Lia, selamat atas pernikahannya, ya! Maaf gue nggak bisa hadir karena urusan kerjaan, huhuhu. Tapi nanti kalau gue udah senggang, gue mampir, deh ke rumah lu. Berdoa dulu ya, Li!"
"'Berdoa dulu ya, Li', maksudnya apaan nih?" gumam Lia saat selesai membaca chat dari salah satu teman kampusnya dulu.
"Ya berdoa, biar kamu nggak nervous lagi," ucap Aris seraya memberi Lia kopi susu buatannya.
"Ih, kamu nguping aja, deh!" jawab Lia.
"Dari tadi aku lihat wajah kamu keliatan gusar, emangnya kita mau ngapain, sih?" tanya Aris jahil."
"Nggak tau, ngapain, ya? Main catur kali," jawab Lia asal.
"Hahaha, masa kita mau main catur, sih, yang lain aja, gimana?"
"Main gundu?"
Mendengar jawaban Lia yang asal-asalan, Aris langsung berbaring santai di sebelahnya, sembari meraih remot televisi.
"Kamu mau ngapain?" tanya Lia.
"Nonton, kalau kamu mau ngapain?" Aris berbalik bertanya dengan sedikit seringaian.
"Kayaknya aku mau balesin DM temen-temen aku, biar nggak numpuk," jawab Lia serius sambil meraih ponselnya di atas nakas.
Lia memang belum siap untuk malam pertamanya, tapi dia yakin bahwa Aris dapat mengerti hal itu. Setelah membalas beberapa DM temannya, Lia lalu berbincang singkat dengan Aris.
"Ris, kan kita selama pacaran cuma pegangan tangan, itu pun jarang-jarang, jadi kamu ngerti, kan posisi aku sekarang?"
Aris lalu menjawab dengan santai, "Ya nggak apa-apa, Li, lagian ngapain buru-buru, orang udah nikah juga, kok."
Melihat respons Aris yang begitu pengertian, Lia memberanikan diri memeluk Aris dari samping. Aris pun terkejut bukan main dengan gerakan Lia yang sangat tiba-tiba. Ia pun melingkarkan kedua tangannya pada istrinya tersebut.
"Mendingan kita nonton aja atau tidur, gimana?" tanya Aris lembut. Lia pun setuju dengan opsi pertama. Mereka akhirnya memilih untuk menonton televisi berdua, sembari merangkul tubuh satu sama lain.
3. Benci Jadi Cinta
Salma dan Aby adalah pasangan suami istri baru. Perjalanan cinta keduanya boleh dikatakan cukup unik. Pasalnya, Salma dan Aby nggak pernah akur selama mereka saling mengenal. Keduanya merupakan teman satu perkuliahan, namun Salma nggak menganggap Aby temannya.
Aby dan Salma dinobatkan sebagai mahasiswa dengan nilai tertinggi di angkatannya. Namun, karena Salma memiliki sifat yang ambisius, nggak heran kalau dia merasa nggak suka jika Aby 'menyalipnya.' Kalau kata teman-teman mereka, mata Salma bak memunculkan api ketika melihat Aby. Rasanya, sulit sekali untuk menghentikan 'perang' di antara keduanya.
Tapi lambat laun, hati Salma pun mulai melunak pada Aby. Hal ini dimulai ketika Aby membantu Salma mengerjakan salah satu tugasnya kembali karena laptopnya mendadak mati total. Bayangkan, Aby yang sudah membereskan tugasnya susah payah, rela begadang hingga subuh hanya demi membantu Salma mengerjakan tugasnya yang harus dikumpulkan pagi itu.
Sebenarnya, Salma hanya memberi tahu sahabatnya, Gadis, bahwa ia nggak bisa menyalakan laptopnya, padahal ada tugas penting di dalamnya yang harus segera dikumpulkan. Namun, Gadis nggak sengaja membocorkan hal tersebut pada Aby. Ia berkata bahwa Salma sedang menangis nggak karu-karuan karena harus mengerjakan tugasnya ulang. Belum lagi dosen mata kuliah satu ini cukup killer. Sekali nggak mengerjakan tugas, maka jangan harap bisa mendapatkan nilai B apalagi A. Tentu saja Salma nggak mau sampai hal itu terjadi.
Entah mengapa setelah mendengar hal itu, Aby merasa perlu membantu Salma. Ia mulai menghubungi Salma, meski awalnya Salma nggak mengangkat panggilan telepon Aby berkali-kali. Hingga akhirnya Salma menjawab telepon Aby seraya menangis keras.
"Gue udah kalah, puas lo!" ucap Salma sembari menangis sesegukan.
"Sini, gue bantu tugas lo," respons Aby singkat.
Awalnya Salma nggak menghiraukan respons Aby sama sekali, hingga akhirnya Aby memberanikan diri datang ke rumah Salma dan membantunya. Di saat itu, sikap Aby begitu menenangkan Salma. Aby nggak berusaha memberi nasihat pada Salma atas laptopnya yang mendadak mati.
Sebaliknya, Aby menyemangati Salma. "Tenang, Ma, ada aku di sini. Kita kerjain sama-sama, ya?"
Ucapan Aby 4 tahun lalu itulah yang akhirnya membuka mata Salma bahwa selama ini ia menilai Aby dengan sangat dangkal. Aby tidak pernah berusaha untuk menyaingi Salma, tapi dia sendirilah yang menganggap Aby kompetitor terbesarnya. Laki-laki itu juga kerap memperhatikan Salma dan merasa bahwa Salma hanya memiliki luka hingga perempuan itu tampak begitu kesal pada Aby.
Well, sampai akhirnya di sinilah keduanya berada, di atas pelaminan yang berhias bunga. Menyalami satu per satu tamu yang hadir seraya memberi doa terbaik demi kelangsungan bahtera rumah tangga mereka. Wajah Salma begitu bersinar, pantas Aby sangat sulit memalingkan wajahnya dari perempuan yang baru saja sah menjadi istrinya.
Setelah berjam-jam berdiri, akhirnya Salma dan Aby bisa berbaring nyaman untuk beristirahat. Ketika berada di tempat tidur, Salma membolak-balikkan badannya beberapa kali. Aby yang berada di sebelahnya mengamati dan kemudian berkata, "Kenapa, Ma?"
"Rasanya aneh tau, By. Dulu kan aku kesel banget sama kamu, sekarang malah ada di sini, berdua pula..." jawab Salma.
"Namanya juga jodoh, ya mau gimana lagi, kan?" respons Aby seraya menghadapkan badannya ke arah Salma.
"Jadi... kita mau gimana?" tanya perempuan itu.
"Yaaa, nggak gimana-gimana. Tidur ayo, yang lain juga ayo."
"Huss! Apaan deh!"
Mengetahui Salma yang tampak salting, Aby kemudian memberi saran, “Ayo tidur sekarang, kalau mata aku masih terbuka sampai larut malam, aku bakalan punya lingkaran hitam,” canda Aby sambil berbalik ke sisi lain.
Salma lalu berbicara pelan kepada Aby, "Hmm... By... Gimana ya ngomongnya..."
Aby terlihat paham maksud Salma, ia pun kembali berujar bahwa mereka perlu tidur karena waktu sudah semakin larut. Namun, Salma tampak tak bergeming, ia kemudian meraih bahu Aby dari belakang. Gerakan Salma ini membuat Aby tersenyum menang. Namun nggak lama setelahnya, semua harapan Aby langsung pupus.
"Aku belum biasa kalau tidur berdua sama kamu By, kamu pindah di sofa, mau, ya?"
Senyuman Aby langsung sirna, wajahnya tiba-tiba mengkerut. Ia pun menuruti kemauan Salma dan membawa bantalnya seraya berjalan lunglai ke arah sofa.
"Ya udah, mau gimana lagi?" gumam Aby dalam hati.
4. Tetaplah Bersamaku
Memilih sosok pendamping hidup memang nggak boleh asal. Bibit bebet bobot harus diperhitungkan dengan saksama. Jangan sampai memilih pasangan bak beli kucing di dalam karung, bisa-bisa merugi di masa depan.
Inilah pemikiran yang dipegang erat oleh Erika. Meski sudah berusaha dijodohkan oleh banyak lelaki pilihan kedua orangtuanya, nggak ada satu pun yang 'nyangkut' di hati perempuan 27 tahun itu.
Kalau dilihat-lihat, laki-laki yang datang memperkenalkan diri pada Erika sudah sangat mapan dan tampak sangat siap untuk menikah. Tapi kalau masalah hati, Erika tentu nggak bisa memaksakan.
Sampai suatu ketika, Erika bertemu dengan Deryl, laki-laki yang lebih tua satu tahun darinya yang merupakan teman dari sahabatnya, Rengganis.
Pada suatu waktu, Rere, sapaan akrab Rengganis, mengajak Erika untuk ngopi di salah satu kafe baru. Usut punya usut, ternyata kafe tersebut merupakan milik Deryl. Laki-laki itu baru saja meresmikan coffee shop-nya, dan meminta Rere beserta teman-temannya yang lain untuk icip-icip secara gratis.
Di hari pembukaan kafenya, Deryl mondari-mandir menemui teman-temannya yang datang, nggak terkecuali dengan Rere dan Erika. Di saat melihat Erika, Deryl bak terhipnotis dan tertegun sesaat. Di situlah Deryl merasakan degupan kencang di dadanya ketika ia menyalami Erika. Senyuman Erika yang begitu menawan membuat Deryl semakin terpesona karenanya.
Nggak lama setelah pertemuan pertama mereka, Deryl mencoba mendekati Erika dengan serius. Awalnya, sih, Deryl menawarkan Erika untuk kembali ke coffe shop-nya jika sewaktu-waktu Erika mau nongkrong. Lambat laun, Deryl mencari topik pembicaraan dan sudah tidak membahas seputar kafenya. Erika di sisi lain tampak melihat gelagat Deryl yang cukup 'mencurigakan'. Namun setelah melihat sikap Deryl yang berniat PDKT, Erika bak membukakan jalan. Dua bulan setelah pertemuan mereka, Erika kemudian menyetujui ajakan kencan Deryl.
Hubungan romantis Erika dan Deryl pun bertahan langgeng. Ternyata, mereka menemukan banyak kesamaan minat dan gaya hidup. Sampai akhirnya Deryl memutuskan untuk meminang Erika, karena ia melihat hanya Erika-lah yang mampu kembali meluluhkan hati Deryl setelah sekian lama.
Di hari bahagia Erika dan Deryl, keduanya menyunggingkan senyum tanpa henti. Hanya wajah berseri yang tampak dari kedua pasangan suami istri baru ini. Cinta yang begitu meluap-luap sangat tergambar saat Deryl tak berniat sedikit pun untuk melepaskan genggaman tangannya dari Erika selepas acara resepsi pernikahan mereka.
"Ri, kamu tau nggak, aku bahagia banget akhirnya bisa ketemu sama kamu. Aku nggak bisa bayangin kalau kamu milih salah satu laki-laki yang dijodohin sama kamu," ucap Deryl saat mereka hendak berbaring untuk mengistirahatkan diri.
"Aku juga nggak bisa bayangin kalau ada salah satu laki-laki yang klik sama aku, Ryl."
Setelah percakapan singkat itu, keduanya tiba-tiba terdiam. Baik Erika maupun Deryl sama-sama terbaring telentang sembari memegang selimut.
"Ehm, lampunya aku matiin, ya?" ucap Deryl memecahkan keheningan"
Setelah mematikan lampu, Erika lalu meraih tangan Deryl.
"Eh, emangnya kamu udah mau tidur ya, Ryl?" tanya Erika gugup.
Seketika suasana menjadi sangat canggung. Deryl dan Erika kembali terdiam. Hanya terdengar suara tipis pendingin ruangan.
"Enggak, sih, Ri..." respons Deryl singkat. Erika lalu memberi sinyal bahwa di malam pernikahan mereka ini, Erika sudah siap untuk memberikan segalanya pada Deryl.
Deryl lalu menangkap sinyal itu dengan sangat baik. Suasana ruangan tersebut semakin menghangat, pendingin ruangan pun nampak tak berfungsi lagi. Deryl dan Erika saling mengungkapkan perasaan terdalam mereka satu sama lain.
Setelahnya, Deryl mengecup kening Erika lembut dan berkata, "Aku beruntung memiliki kamu sebagai istriku."
Erika lalu menatap Deryl sambil tersenyum dan mengelus pipinya perlahan, "Yang beruntung nggak cuma kamu, kok."
5. Pendamping Hidup
Carissa dan Hilman sudah saling kenal dari usia kanak-kanak. Kedua orangtua mereka yang bersabahatlah yang membuat keduanya sangat dekat. Kendati demikian, kisah cinta Carissa dan Hilman bukan terjadi akibat perjodohan. Mereka saling jatuh cinta dengan sendirinya, tanpa paksaan dari pihak mana pun. Keluarga mereka pun tidak pernah sekalipun membahas soal perjodohan.
Hingga akhirnya, hari yang mereka tunggu datang. Saat-saat sebelum pernikahan keduanya terasa begitu mendebarkan.
“Aku gugup banget hari ini. Pegang tanganku, deh,” ucap Carissa pada Hilman. Hilman pun langsung memegang kedua tangan Carissa. Dingin. Ya, tangannya terasa dingin, menandakan kegugupan Carissa yang sulit terbendung.
Keduanya sangat menantikan pernikahan tersebut. Bagaimana tidak? Carissa dan Hilman sudah menjalin hubungan asmara sekian lamanya. Namun di pertengahan jalan, Carissa sempat ragu apakah Hilman benar-benar sosok yang Carissa cari atau tidak. Namun dengan kegigihan Hilman, ia membuktikan pada Carissa bahwa ia adalah sosok lelaki sejati yang benar-benar berniat untuk meminangnya.
Ketika Carissa mengungkapkan keraguannya tersebut, Hilman berujar bahwa ia siap untuk bertemu dengan orangtua Carissa dan menunjukkan kesungguhannya. Setelah kejadian itu, Carissa merasa amat yakin dan melihat masa depan hubungannya bersama Hilman.
Rangkaian acara pernikahan pun selesai. Ketika mereka sendirian di kamarnya, Carissa mencoba segalanya untuk menghindari Hilman. Hilman melihat gelagat aneh dari Carissa. Lambat laun, Hilman menyadari alasan di balik tingkah aneh istrinya tersebut.
"Bukannya aku nggak mau... tapi.." ucap Carissa gantung.
"Aku paham maksud kamu, kok hahaha," kawab Hilman seraya tertawa yang membuat suasana tegang di antara keduanya jadi mencair.
"Jadi gimana?" tanya Carissa tiba-tiba.
"Lho, kok jadi nanya aku? Kalau kamu belum siap nggak apa-apa, sayang."
Mendengar kata 'sayang' seketika membuat Carissa merinding. Wajahnya mulai memerah seperti tomat. Hilman yang melihat hal itu malah melemparkan candaan yang membuat Carissa makin tersudut.
"Kenapa, sayang? Kok diem aja? Ada yang salah?" tanya Hilman jahil sembari menepuk kepala Carissa perlahan.
"Kamu diem dulu dong, jangan gitu sama aku!" jawab Carissa salting. Hilman hanya tergelak sembari menuju meja makan, niatnya untuk menyeduh kopi. Toh, Carissa tampaknya belum siap, kan?
"Kamu mau ngapain?" tanya Carissa.
"Ngopi. Kalau belum siap aku mau ngopi dulu aja. Tenang, kok, aku nggak akan maksa," jawab Hilman sembari mengedipkan satu matanya.
Melihat sikap Hilman yang tengil, Carissa lantas berkata, "Ya udah, ayo, aku udah siap, ya, cuma malu aja!"
Melihat respons Carissa yang menggemaskan, Hilman lantas mendekati Carissa dan meraih dagunya hingga kepala mereka hanya berjarak 5 senti, "Jangan maksain diri kalau belum siap, sayang."
Ditantang seperti itu, Carissa malah semakin mendekatkan wajahnya, hingga hidung mereka bersentuhan.
"Ayo. Sekarang atau nggak sama sekali," ungkap Carissa dengan menunjukkan sedikit senyuman.
6. Malam Terindah dan Pagi Termanis
Waktu sudah menunjukan pukul 18.00 WIB. Beberapa tamu ada yang sudah mulai undur diri dan menuju proses sepi. Masih ada suara dari arah belakang terdengar suara ayah dan paman yang bersahutan dan sesekali tertawa. Entah apa yang tengah mereka bicarakan.
Sesekali aku melirik wajahmu dalam satu kali lirikan. Dan akupun tahu kamu melakukan hal yang sama yaitu curi-curi pandang. Waktu ini adalah kesempatan yang tepat. Aku tersenyum dan kamu membalasnya.
Anita Rahmawati wanita yang aku nikahi tadi pagi kini telah sah menjadi istriku. Hari ini merupakan pertemuan pertama setelah aku melihat fotonya dari saudaranya. Ya, kami dijodohkan. Dan kami tidak menolak itu.
Setelah tamu sudah tidak ada, Anita berpamitan untuk pergi ke kamar lebih dulu. Aku ditemani ayah dan kakaknya juga paman malah asyik menonton acara tv.
“Nak, cepat istirahat dulu.” kata ayah.
“Nanti aja, Yah.” jawabku.
Otak dan ucapanku sungguh tidak sinkron. Hati ingin cepat menyusulnya, tapi ucapan berkata lain. Waktu semakin menunjukkan pukul 23.00 WIB.
“Cepat istirahat sana! Pengantin kok begadang nonton tv.” kata si abang.
Aku yang malu akhirnya pergi ke kamar. Kamu pun ternyata menungguku dengan sedikit cemberut. Namun setelah itu… hanya cicak dan Tuhan yang tahu apa yang kita lakukan. Saat azan subuh berkumandang aku berpikir keras bagaimana bisa keluar kamar tanpa mengeluarkan suara.
Itulah 6 cerpen malam pernikahan romantis. Cerpen mana yang paling kamu suka nih, Bela?