Terobsesi adalah kondisi saat seseorang memiliki pikiran berulang yang mengganggu dan tidak diinginkan. Jika dilihat dari sudut pandang hubungan, seseorang yang terobsesi akan memfokuskan dirinya secara berlebihan terhadap orang yang diidolakan atau dicintainya, terus memikirkan apa yang mereka lakukan, hingga membayangkan skenario masa depan bersama mereka. Biasanya, seseorang yang sedang terobsesi juga akan merasakan emosi yang intens, termasuk kegembiraan, kecemasan, dan kerinduan yang mendalam.
Dalam kasus yang ekstrem, obsesi bisa terwujud dalam tindakan stalking atau menguntit, mengirimkan pesan atau menelepon orang yang disukai secara berulang dan mengganggu, hingga sampai melanggar privasi dan batasan mereka, seperti mendatangi rumah atau tempat kerja, meskipun sudah dilarang dan diperingatkan berkali-kali.
Meski kerap disalahartikan sebagai bentuk rasa cinta, nyatanya obsesi dan cinta punya makna yang berbeda. Karena obsesi hanya mementingkan kepuasan dan ego diri sendiri, sedangkan cinta merupakan emosi positif yang terdiri dari perhatian, kedekatan emosional, dan rasa kasih sayang.
Penyebab pertama seseorang yang terobsesi adalah trauma yang pernah ia alami di masa lalu. Misalnya, saat ia putus hubungan dengan orang yang dicintainya dan merasakan kesedihan karena ditinggalkan, maka ada kemungkinan ia memiliki sikap terobsesi dalam hubungannya di masa depan.
Sebab, bisa jadi karena ia punya ketakutan akan ditinggalkan oleh pasangannya, maka ia bertindak berlebihan agar kejadian traumatis serupa tidak terjadi lagi.
Tapi, tentu saja hal ini bisa menjadi bumerang buat dirinya sendiri. Karena, besar kemungkinan pasangannya nggak akan merasa aman dan nyaman karena sikapnya tersebut.
OCD atau obsessive compulsive disorder adalah sebuah kondisi ketika seseorang memiliki perilaku berlebihan yang berulang dan tidak terkendali terhadap suatu hal. Orang-orang dengan OCD merasa untuk melakukan suatu tindakan tertentu secara berulang kali demi mengurangi rasa stres dan kecemasan yang mereka miliki. Namun, hal itu malah membuat mereka menjadi semakin cemas dan mengganggu kehidupan mereka sehari-hari.
Beberapa contoh perilaku ketika seseorang memiliki OCD ialah ketakutan akan kontaminasi kuman, virus, maupun bakteri, mengatur susunan barang secara berlebihan, dan dalam hubungan romantis, terobsesi tentang apa yang dilakukan pasangan, mengecek media sosialnya berulang-ulang, menelepon dan mengirimi pesan teks berkali-kali, hingga punya ketakutan dan kecemasan tentang hubungannya.
Menurut sebuah penelitian, pola asuh menjadi salah satu penyebab seseorang terobsesi. Ketika orangtua terlalu protektif, punya kecemasan, atau memiliki obsesi, maka besar kemungkinan mereka akan mewariskannya kepada anak-anaknya.
Selain itu, faktor genetik dan lingkungan juga disebut sebagai faktor lain yang dapat membuat seseorang mempunyai obsesi.
Setelah menyadari pikiran obsesifmu dan pemicunya, maka langkah selanjutnya adalah dengan mulai menyibukkan diri dengan hal-hal yang produktif. Mulailah melakukan aktivitas yang dapat mengalihkan pikiranmu dari pikiran obsesi tentang orang lain.
Kamu juga bisa menemukan hobi baru, seperti halnya memasak atau berolahraga, hangout bersama teman-teman, hingga mengikuti komunitas sehat mental yang dapat saling memberi dukungan dengan orang-orang yang punya permasalahan sepertimu.
Penelitian menunjukkan bahwa dukungan dapat membantu seseorang agar tidak merasa sendirian dalam proses penyembuhan, termasuk dalam mengatasi obsesi.
Faktanya, terdapat manfaat yang luar biasa ketika seseorang memiliki dukungan yang baik. Seperti mempunyai kesehatan yang lebih baik, umur yang lebih panjang, dan kesejahteraan yang lebih tinggi.
Apalagi jika dukungan itu diberikan dari orang-orang terpercaya, seperti anggota keluarga, teman-teman, atau orang terdekat lainnya. Sebab, mereka akan jauh lebih mudah memahami dan menawarkan bantuan yang kamu perlukan.
Cara satu ini mungkin bisa cukup menantang buatmu. Tetapi demi mengatasi obsesi, maka kamu harus belajar untuk menetapkan batasan.
Jika kamu punya tendensi untuk menguntit media sosial seseorang yang kamu sukai, maka batasi penggunaan media sosial. Apabila kamu menghabiskan waktu selama semalaman untuk memantau media sosialnya, maka tetapkan jam berapa kamu harus berhenti melakukannya.
Kalau kamu merasa kesulitan dalam mengatasi perilaku obsesifmu sendirian, maka nggak ada salahnya, lho, untuk berkonsultasi dengan psikolog, terapis, atau para profesional dalam bidang kesehatan mental terkait yang bisa membantu kondisimu.
Untuk mengetahui ahli kesehatan mental yang terbaik untukmu, pastikan bahwa mereka bisa memberimu ruang yang aman dan perasaan nyaman saat sesi konsultasi berlangsung, seperti mampu mendengarkan dengan aktif, menghargai batasan yang kamu beri, dan tidak menghakimi.
Terobsesi adalah fokus berlebihan terhadap seseorang yang bukan hanya merugikan diri sendiri namun juga orang lain. Karena kondisi ini bisa membuatmu rentan dengan kecemasan, menurunkan produktivitas, hingga menganggu hubunganmu dengan orang yang menjadi objek obsesimu itu, maka kamu perlu belajar untuk mengatasinya.
Jika merasa kesulitan untuk mengatasinya sendirian, maka cobalah untuk berkonsultasi dengan para ahli kesehatan mental yang terpercaya, ya. Semoga artikel ini bermanfaat untukmu, Bela!