Di tengah lumpur banjir yang belum surut dan akses jalan yang terputus, bendera putih kini berkibar di sejumlah titik di Aceh. Pemandangan ini menyita perhatian publik sekaligus memantik beragam tafsir. Namun bagi warga terdampak, bendera putih bukan simbol menyerah dalam arti politis atau konflik, melainkan jeritan sunyi tentang kondisi darurat yang kian mendesak, sinyal visual agar keberadaan mereka tak lagi terlewatkan.
Bendera Putih Berkibar di Aceh, Apa Maknanya?

Intinya sih...
Bendera putih berkibar di Aceh sebagai isyarat darurat
Bukan tanda menyerah, melainkan jeritan sunyi warga terdampak
Situasi kritis memicu desakan bantuan dan ancaman aksi warga
Bukan tanda menyerah, melainkan isyarat darurat
Bagi warga Aceh, bendera putih yang dikibarkan di depan rumah, di pinggir jalan, hingga di jalur nasional Banda Aceh–Medan adalah penanda kondisi kritis. Bendera itu menjadi bahasa paling sederhana ketika logistik menipis, bantuan belum merata, dan komunikasi nyaris terputus.
"Masyarakat menyerah dan butuh bantuan. Kami tidak sanggup lagi," ujar Bahtiar, warga Alue Nibong, Peureulak, Aceh Timur, Minggu (14/12), melansir dari AcehGround. Kalimat itu bukan tentang putus asa, melainkan kejujuran atas situasi yang sudah melampaui batas kemampuan warga untuk bertahan sendiri.
Bendera putih terbentang di banyak wilayah terdampak
Fenomena ini terlihat di berbagai daerah yang dilanda banjir dan longsor, mulai dari Aceh Tamiang, Aceh Timur, hingga Aceh Utara. Sepanjang jalan nasional yang menghubungkan Banda Aceh dan Medan, bendera putih berdiri kontras dengan sisa-sisa genangan air dan rumah warga yang rusak. Tiga pekan setelah bencana melanda, sebagian wilayah masih sulit dijangkau. Bantuan datang tidak merata, sementara jalur distribusi terhambat medan yang rusak dan cuaca yang tak bersahabat.
Kelaparan, air bersih, dan obat-obatan menjadi masalah utama
Di balik kain putih yang berkibar, ada cerita panjang tentang dapur umum mandiri yang mulai kehabisan bahan pangan, anak-anak yang kesulitan air bersih, hingga warga sakit yang kekurangan obat-obatan. Masyarakat mengatakan bahwa di kondisi ini mereka tak sanggup lagi bertahan. Meski solidaritas lokal terus berjalan, kemampuan warga sangat terbatas. Harga kebutuhan pokok melonjak, listrik padam berminggu-minggu, dan kelangkaan BBM serta elpiji melumpuhkan UMKM serta industri rumahan.
Desakan ke pemerintah pusat dan ancaman aksi warga
Situasi ini memicu desakan agar pemerintah pusat menetapkan bencana di Aceh sebagai bencana nasional. Juru bicara Gerakan Rakyat Aceh Bersatu, Masri, menegaskan bahwa bendera putih juga ditujukan sebagai panggilan bantuan bagi dunia internasional.
Jika tak ada langkah serius, ia menyebut warga siap turun ke jalan pada 16 Desember 2025 untuk menuntut penanganan darurat terpadu, mulai dari tambahan logistik, tenaga medis, hingga alat berat. Pemerintah Aceh sendiri telah membuka jalur bantuan nasional dan internasional demi mempercepat distribusi ke titik-titik kritis.
Mitigasi bencana masih lemah
Peneliti dari UGM menilai peristiwa ini mencerminkan lemahnya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana, meski Aceh berkali-kali menghadapi situasi serupa. Mantan Sekretaris BRR Aceh-Nias, Teuku Kamaruzzaman atau Ampon Man, menyoroti minimnya pengerahan tenaga penyelamat terlatih dan lambannya respons darurat, termasuk distribusi listrik, BBM, dan logistik melalui jalur udara seperti pascatsunami 2004.
Bendera putih, dalam konteks ini, adalah alarm keras bahwa keselamatan manusia seharusnya menjadi prioritas utama dan setiap keterlambatan berarti mempertaruhkan nyawa.