Selain Populasi, Ini 7 Masalah Sosial Paling Serius di Korea Selatan

Setiap tahun, masalah sosial ini terjadi di Korea Selatan

Selain Populasi, Ini 7 Masalah Sosial Paling Serius di Korea Selatan

Selamat datang di Korea Selatan! Kata-kata sambutan ini pasti menjadi salah satu impianmu sebagai penggemar industri hiburan Korea Selatan. Tidak heran, dunia industri hiburan Korea Selatan memang mempertontonkan sisi kehidupan yang modern, maju, dan tentunya romantis.

Akan tetapi, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Negara sekelas Korea Selatan yang terkenal dengan gemerlap kehidupan modern yang terus berkembang tak luput dari berbagai masalah sosial yang mendalam, sampai-sampai menyebabkan kesulitan dalam menjalani keseharian.

Permasalahan populasi adalah satu salah yang menjadi sorotan utama. Selain itu, ada setidaknya 7 masalah sosial lainnya yang tengah menjadi pergumulan negara Korea Selatan berdasarkan beberapa sumber. Ingin tahu apa saja? Mari kita pelajari ulasan di bawah ini, Bela!

1. Budaya kompetitif yang sengit

Selain Populasi, Ini 7 Masalah Sosial Paling Serius di Korea Selatan

Perkembangan pesat di berbagai sektor di Korea Selatan tidak lepas dari budaya kompetitif yang merajalela dalam kehidupan masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, budaya ini diketahui meresap hingga ke semua kalangan masyarakat, mulai dari taman kanak-kanak hingga ranah orang dewasa.

Umumnya, kompetisi fokus pada dua aspek utama dalam kehidupan masyarakat Korea Selatan, yakni pendidikan dan pekerjaan. Keduanya dinilai sebagai penentu keberhasilan seseorang yang paling signifikan dalam mengubah nasib atau tepatnya, meningkatkan strata sosial.

Melansir dari CNBC Indonesia, YouTtuber Priscilla Lee, putri dari pasangan berdarah Korea Selatan yang kini tinggal di Indonesia, membenarkan hal tersebut. Melalui unggahan video di kanal YouTubenya (Priscilla Lee), ia membagikan pengalaman berkaitan budaya kompetitif.

Katanya, “Saking kompetitifnya, istirahat pun kamu merasa bersalah. Aku selalu merasa begitu pas tinggal di Korea. Misalnya aku mau rebahan saja, nggak enak sama diri sendiri, terbebani.”

2. Tekanan sosial untuk memenuhi standar tertentu

Budaya kompetitif yang masih mendominasi di kehidupan masyarakat Korea Selatan membawa serta tekanan sosial. Dampaknya, setiap individu harus memenuhi standar sosial yang berkaitan erat dengan siklus kehidupan; mulai dari tingkat pendidikan, pekerjaan, hingga kehidupan pribadi.

Melansir dari The Korean Times, siklus kehidupan yang dimaksud adalah pola hidup konvensional, yang melibatkan lulus dari SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi tanpa kendala, dan tentu saja mendapatkan pekerjaan, menikah, dan berkeluarga. Semua ini harus diiringi dengan prestasi.

Jeong Seong Shin, perwakilan NEET People di Korea Selatan, menyampaikan, “Jika kamu melewatkan satu langkah dan menyimpang dari jalur tersebut, maka kamu akan segera menghadapi rintangan.”

Dalam pandangan itu, contoh paling nyata adalah remaja yang memutuskan untuk berhenti sekolah atau cuti sekolah, orang yang memilih untuk langsung bekerja ketimbang melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi, orang yang menganggur atau terdampak PHK, dan sejenis lainnya.

“Masyarakat ini tidak terlalu bermurah hati kepada orang-orang yang mencoba memulai kembali,” tambah Jeong Seong Shin, menyayangi standar sosial yang menekan masyarakat Korea Selatan.

3. Obsesi terhadap universitas bergengsi

“Tidak ada tanggung jawab yang harus diambil selama kamu masuk ke universitas bergengsi,” demikian pernyataan dari Sky Castle (2018), drama Korea yang menggambarkan tuntutan tinggi orang tua kepada anak-anaknya dalam menghadapi sistem pendidikan di Korea Selatan.

Melansir dari laman The University of Seol English Magazine, gambaran tersebut adalah benar. Masyarakat Korea Selatan bertekad mendapatkan pendidikan berkualitas tinggi. Terbukti, negara ini secara konsisten menduduki peringkat teratas dalam Program for International Student Assessment.

Namun, prestasi ini lahir dari kompetisi sengit untuk memasuki universitas bergengsi dengan nilai yang luar biasa tinggi. Dampaknya, mayoritas pelajar terperangkap dalam rutinitas belajar tanpa henti sebagai persiapan maksimal untuk menghadapi ujian seleksi masuk.

Penting untuk dicatat bahwa hierarki dan peringkat unversitas merupakan fenomena umum di Korea Selatan dan dianggap sebagai kebanggaan sekolah maupun keluarga. 

Sebagai contoh, sebuah SMA di Ulsan sampai memasang spanduk yang menampilkan jumlah siswa yang diterima di universitas ternama pada 2021. Meskipun mendapat kritik dari sebagian masyarakat, tindakan tersebut masih umum dilakukan sekolah menengah di Korea Selatan.

4. Cancel culture yang berdampak pada reputasi

Aksi pemboikotan terhadap karier seseorang di Korea Selatan sudah menjadi 'makanan' publik. Fenomena tersebut mencuat akibat pandangan sosial yang dapat memengaruhi kelancaran karier individu, terutama bagi mereka yang hidup di tengah sorotan publik.

Sebut saja, kasus yang menimpa aktor Ji Soo pada 2021. Ia mengalami aksi pemboikotan oleh warga Korea Selatan akibat rumor kekerasan dan pelecehan seksual di masa sekolahnya. Nasib serupa terjadi pada eks-member BIGBANG Seungri akibat skandal besar pada 2019.

Perihal ini, sebagian besar orang menilai budaya cancel culture sebagai bentuk hukuman sosial yang dapat menunjukan bahwa tindak tidak etis tidak akan diterima. Namun, budaya ini dianggap keras karena menciptakan suasana ketakutan di kalangan masyarakat yang berkompetisi di dunia kerja.

Tidak jarang kebebasan menekan reputasi individu lewat cancel culture menyebabkan masalah baru, seperti mental health hingga risiko bunuh diri. Bahkan, sungguh disayangkan, keluarga dari sasaran cancel culture juga berpotensi ikut terkena imbasnya dalam rentang waktu yang panjang.

5. Keputusan untuk tidak menikah dan childfree

Banyak negara maju yang mulai menghadapi masalah populasi akibat masyarakat usia produktif memilih untuk tidak menikah atau menikah tanpa memiliki anak. Fenomena ini nyatanya dianggap serius karena dinilai memengaruhi keberlangsungan hidup dan warisan budaya setempat.

Melansir dari CNN Internasional, Korea Selatan sendiri menghadapi angka kelahiran terendah di dunia. Diperkirakan angka tersebut akan turun lebih jauh lagi dalam dua tahun ke depan.

Dampaknya, total populasi Korea Selatan diperkirakan akan turun dari 51,75 juta pada 2024 menjadi 36,22 juta. Dengan begitu, tidak ada keraguan bahwa Korea Selatan berpotensi menjadi negara dengan penduduk usia lanjut pada 2072 berdasarkan data Statistik Korea.

Perihal ini, para ahli turut menambahkan beberapa alasan yang menjadi faktor penyebab, yaitu tuntutan budaya kerja, stagnasi upah, kenaikan biaya hidup, perubahan sikap terhadap pernikahan dan kesetaraan gender, serta meningkatkanya kekecewaan di kalangan generasi muda.

6. Kasus bullying di sekolah

Dari tahun ke tahun, sorotan drama Korea Selatan masih menggambarkan pemandangan kelam aksi intimidasi atau bullying di sekolah. Tidak heran, isu ini layak menjadi perhatian utama karena kasus bullying belum kunjung reda meskipun pemerintah telah berupaya menghadirkan upaya solutif.

The Guardian menyebutkan bahwa angka terbaru dari pemerintahan memang menunjukkan peningkatan kasus intimidasi hingga kekerasan di sekolah selama satu dekade terakhir.

Keumjoo Kwa, seorang profesor psikologi di Universitas Nasional Seoul, menyampaikan, “Pelaku seringkali membentuk kelompok dan menyiksa orang lain. Korban dapat mengalami isolasi dari seluruh kelas atau seluruh sekolah … (Aksi ini) terjadi berulang dari waktu ke waktu.”

Ditambah lagi, perkembangkan teknologi menawarkan media sosial sebagai peluang bagi para pelaku untuk melancarkan aksi bullying secara lebih tersembunyi. Dampaknya, pihak sekolah maupun yang berwajib berpotensi mengalami kesulitan dalam membuktikan aksi bullying.

7. Kasus pelecehan seksual terhadap perempuan

Drama Korea terkenal dengan kisah romansa maupun persahabatan antara pria dan wanita yang dapat bersifat too good to be true. Dan benar saja, kenyataan tidak selalu sama karena sebagian besar perempuan di Korea Selatan dihantui dengan ancaman pelecehan seksual.

Melansir dari berbagai sumber, banyak pelaku kejahatan seksual di Korea Selatan yang menargetkan perempuan dengan ragam cara, seperti mengikuti secara diam-diam atau stalking, memasang kamera pengintai di kamar mandi publik khusus perempuan, hingga pelecehan di dunia maya.

Data yang dikutip Amnesty International pun membuktikan bahwa tingkat aksi pelecehan seksual di dunia maya di korea Selatan pada 2020 meningkat sebesar 7,5 kali lipat dibandingkan tahun 2003. Sementara itu, tingkat pemerkosaan dan kekerasan seksual meningkat sebesar 1,6 kali lipat.

Hal ini sudah sepatutnya menjadi masalah yang sangat serius untuk para perempuan di Korea Selatan, menyebabkan kecemasan dan kekhawatiran dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Wah, kami pun ikut tercengang kala merangkum ulasan di atas. Siapa sangka, kehidupan sosial di Korea Selatan tidak seindah adegan drama Korea yang kita tonton. Namun, ingat, ulasan ini mengajarkan kita bahwa setiap negara memiliki tantangannya sendiri.

Sebagai penduduk dunia, kita sebaiknya ikut berkontribusi dalam meningkatkan kepedulian terhadap masalah-masalah sosial yang harus segera diatasi demi meraih kondisi dunia yang lebih aman, saling menghargai, dan damai sejahtera.

  • Share Artikel

TOPIC

trending

Trending

This week's horoscope

horoscopes

... read more

See more horoscopes here

























© 2024 Popbela.com by IDN | All Rights Reserved

Follow Us :

© 2024 Popbela.com by IDN | All Rights Reserved