7 Perang Paling Mematikan di Abad 21, Apa Penyebabnya?

Mengapa beberapa negara harus mengadakan perang?

7 Perang Paling Mematikan di Abad 21, Apa Penyebabnya?

Follow Popbela untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Whatsapp Channel & Google News

Jejak sejarah dunia tidak terlepas dari sorotan perang antarbangsa yang sering kali dipicu oleh kepentingan politik, termasuk perebutan wilayah ataupun sumber daya alam, perbedaan ideologi yang memengaruhi tujuan negara, serta ancaman terhadap keamanan nasional dan kedaulatan negara.

Namun, banyak pihak meyakini adanya harapan bahwa umat manusia abad ke-21 akan menjadi masyarakat global pasca-konflik yang lebih fokus pada hubungan antarnegara yang mengindahkan nilai-nilai perdamaian dan kemakmuran bersama.

Sayangnya, perang masih terjadi di beberapa belahan dunia hingga kini, seperti konflik Rusia dan Ukraina yang telah menelan banyak korban jiwa. Selain itu, penjajahan Israel terhadap Palestina yang masih berlangsung, memicu campur tangan dari berbagai pihak.

7 Perang Paling Mematikan di Abad 21, Apa Penyebabnya?

Kabar terbaru, Israel mendapat serangan dari Iran berupa ratusan drone peledak dan rudal yang meluncur pada Sabtu, 13 April 2024. Ini merupakan balasan atas serangan Israel terhadap kompleks kedutaan mereka di Suriah pada 1 April 2024, mengakibatkan potensi konflik yang memburuk di Timur Tengah dan dapat menciptakan perang skala besar.

Tentu saja, tak seorang pun berharap perang besar—apalagi perang dunia ketiga, terjadi. Pasalnya, sejarah telah membuktikan betapa merugikannya dampak perang berdasarkan rekam jejak peristiwa perang mematikan yang pernah terjadi di abad ke-21.

Melansir dari britannica.com, berikut adalah perang-perang mematikan yang pernah terjadi di abad ke-21. Ingin tahu betapa merugikannya dampak bagi umat manusia pada masanya?

1. Perang Kongo Kedua

Mengakibatkan dampak kehancuran yang signifikan, Perang Kongo Kedua dijuluki sebagai Perang Besar di Afrika atau Perang Dunia Pertama Afrika. Perang tersebut dipicu oleh Genosida Rwanda yang juga menyebabkan kematian Presiden Zaire Mobutu Sese Seko serta konflik etnis antara suku Hutu dan Tutsi pada abad ke-20.

Pada awalnya, pemimpin pemberontak Laurent Kabila menggulingkan Presiden Zaire Mobutu Sese Seko pada Mei 1997, dan kemudian mengubah nama Zaire menjadi Republik Demokratik Kongo (RDK). Langkah ini memicu respon pemberontakan baru yang menyebabkan perang saudara hingga abad ke-21, tepatnya tahun 2003.

Diperkirakan sepertiga wilayah timur RDK menjadi medan perang yang serupa dengan Front Barat dalam Perang Dunia I. Dalam upaya mereka, pemberontak menghancurkan pedesaan dan memberi ruang bagi para pelaku kriminal untuk melakukan kejahatan seperti pemerkosaan massal, perampasan, perampokan, dan penjarahan.

Menurut laporan data, sekitar tiga juta orang tewas dalam perang tersebut, dengan kebanyakan korban adalah warga sipil. Banyak juga yang meninggal karena penyakit atau kelaparan yang timbul akibat konflik, serta orang-orang yang dipaksa untuk terlibat dalam pertempuran berdarah tersebut.

2. Perang Sipil Suriah

Menyikapi pemberontakan rakyat yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter di Tunisia, Libya, Mesir, dan Yaman, Presiden Bashar al-Assad di Suriah berupaya mempertahankan negaranya dengan kombinasi konsesi politik dan eskalasi kekerasan terhadap rakyatnya sendiri.

Langkah tersebut justru berdampak negatif, bahkan meningkatkan intensitas pemberontakan rakyat dan menciptakan perang saudara serta aksi kekerasan di seluruh Irak. Bahkan, hal ini memberi kesempatan bagi kelompok militan, seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), untuk berkembang.

Dalam kondisi tersebut, perebutan wilayah pun mulai terjadi hingga berhasil menyebabkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol pemerintah mulai menyusut. Akhirnya, pemerintah hanya dapat melindungi sebuah wilayah kecil di bagian barat Suriah.

Meski begitu, beberapa upaya tetap dilakukan. Mulai dari cara Presiden Assad yang menyerang wilayah perkotaan, milisi kurdi yang ikut maju dari wilayah otonom Kurdi di utara Irak, dan peran negara-negara Barat yang ikut terlibat dalam konflik besar tersebut untuk membantu pemerintah setempat, seperti Amerika Serikat dan Rusia.

Pada 2016, setelah perjanjian gencetan senjata gagal menghentikan aksi kekerasan, diperkirakan bahwa 1 dari 10 orang Suriah telah tewas atau terluka akibat pertempuran. Sekitar 4.000.000 orang melarikan diri dari negara tersebut, sementara jutaan lainnya mengalami pengungsian internal. 

Kabar terakhir, pada 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa pertempuran tersebut telah merenggut nyawa lebih dari 300.000 warga sipil. Dampaknya, sekitar 1,5% dari seluruh populasi Suriah sebelum perang telah menjadi korban jiwa perang.

  • Share Artikel

TOPIC

trending

Trending

This week's horoscope

horoscopes

... read more

See more horoscopes here

ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ
ā€Œ