Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popbela lainnya di IDN App
Potret Raditya Dika, Aulion, dan Hendry Lim saat menjadi pembicara di Indonesia Summit 2025. (instagram.com/indonesia.summit)
Potret Raditya Dika, Aulion, dan Hendry Lim saat menjadi pembicara di Indonesia Summit 2025. (instagram.com/indonesia.summit)

Intinya sih...

  • Generasi muda perlu memahami nilai sebelum berkarya, termasuk dalam industri kreatif.

  • Pentingnya adaptasi terhadap tren yang cepat berganti untuk tetap relevan di industri konten.

  • Kunci membuat konten yang bertahan lama adalah fokus pada hal yang bisa dikendalikan dan mindset untuk menggerakkan ekonomi kreatif.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di era industri 4.0, dunia kreatif menjadi magnet bagi generasi muda. Munculnya berbagai platform digital membuka peluang bagi siapa pun untuk menjadi pencipta, atau yang kini akrab disebut creator.

Tak heran jika ekonomi kreatif kerap disebut sebagai salah satu sektor yang mampu menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Pertanyaannya, sudahkah Millennial dan Gen Z benar-benar siap memimpin, menciptakan, sekaligus mengubah wajah industri kreatif Tanah Air?

Dalam salah satu sesi talkshow di Indonesia Summit 2025 bertajuk “Empowering Millennials & Gen Z: Driving the Creative Economy in the Era of Industry 4.0”, hadir Raditya Dika, Aulion, dan Hendry Lim selaku Consumer Product Manager Lenovo Indonesia. Mereka berbagi pandangan tentang peluang, tantangan, hingga strategi agar generasi muda bisa bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat.

Memahami nilai sebelum berkarya

Potret Raditya Dika saat menjadi salah satu pembicara di Indonesia Summit 2025. (instagram.com/indonesia.summit)

Raditya Dika menegaskan, sebelum terjun ke dunia kreatif, generasi muda perlu memahami konsep nilai yang mereka bawa. Menurutnya, masih banyak yang salah kaprah soal sumber uang dalam industri kreatif.

“Uang itu datang ketika kita memberikan nilai. Jadi kalau mau masuk ke creative economy, harus tahu dulu lu bawa nilai apa untuk masyarakat,” ungkapnya.

Nilai yang dimaksud tidak harus selalu berupa konten edukatif. Hiburan pun bisa bernilai karena mampu membuat orang lupa sejenak dari masalahnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan banyak Gen Z yang masih mendefinisikan dirinya hanya dari pekerjaan. Padahal, kata Raditya, akan lebih baik jika mereka fokus mengasah keterampilan spesifik.

“Daripada berpikir gua akan menjadi apa, mulailah dari lu punya skill spesifik, dan pekerjaan akan mengikuti,” tambahnya.

Relevansi dan adaptasi dengan tren

Potret Aulion saat menjadi salah satu pembicara di Indonesia Summit 2025. (instagram.com/indonesia.summit)

Senada dengan itu, Aulion menyoroti pentingnya adaptasi terhadap tren yang cepat berganti. Ia mengaku tetap bisa bertahan di industri konten karena mampu memadukan tren dengan personal branding yang ia miliki.

“Bukan berarti cuma ikutin tren doang, tapi aku collecting tren yang ada, lalu aku gabungkan dengan hal yang kusuka. Itu yang bikin aku relevan,” jelasnya.

Hal serupa juga disampaikan Hendry Lim, yang menilai Millennial dan Gen Z sudah masuk usia produktif, sehingga kunci untuk maju adalah dengan membaca peluang pasar.

Peran AI dalam dunia kreatif

Potret Hendry Lim saat menjadi salah satu pembicara di Indonesia Summit 2025. (instagram.com/indonesia.summit)

Di tengah perkembangan teknologi, AI turut menjadi topik hangat yang tak bisa dihindari. Raditya menegaskan bahwa kreativitas manusia tetap memegang peran utama.

“Human touch itu nggak boleh hilang. Jadi pemakaian AI, ya, sebagai tools (saja),” katanya.

Hendry menambahkan bahwa justru mereka yang mempelajari dan menggunakan AI dengan tepat akan menjadi pemenang.

“Masalahnya bukan AI yang menggantikan manusia, tapi orang yang belajar AI akan menggantikan orang yang nggak mau belajar,” tegasnya.

Rahasia konten yang bertahan lama

Banyak kreator baru terjebak pada obsesi ingin viral. Bagi Raditya, kunci membuat konten yang bertahan lama adalah fokus pada hal yang bisa dikendalikan. Ia menekankan bahwa hasil seperti viral atau tidaknya sebuah konten adalah sesuatu di luar kendali kreator.

“Yang di dalam kontrol kita itu input (pembuatan konten). Kita lakukan yang terbaik di input, sisanya akan mengikuti,” jelasnya.

Aulion pun menambahkan perspektifnya. Menurutnya, konten sebaiknya dibuat berdasarkan apa yang benar-benar disukai kreatornya.

“Viral itu bonus, bukan beban. Kalau bikin sesuatu yang kita suka, terus nggak viral, ya nggak apa-apa. Yang penting kita happy sama karya kita,” tuturnya.

Mindset untuk menggerakkan ekonomi kreatif

Potret Raditya Dika, Aulion, dan Hendry Lim saat menuju sesi talkshow di Indonesia Summit 2025. (instagram.com/indonesia.summit)

Raditya menilai bahwa fondasi terpenting terletak pada pola pikir. Ia mengingatkan agar tidak selalu merasa sebagai pusat segalanya, melainkan mulai dari memperbaiki diri sendiri.

“Kalau konteksnya penggerak ekonomi kreatif, yaudah kita pikirin aja. Daripada nungguin yang lain bergerak, ya kita mulai dulu. Fundamental berpikirnya kalau kita benerin, baru yang lain ikut sendiri,” katanya.

Sementara itu, Aulion menekankan keseimbangan antara mengikuti tren dan menjaga jati diri. Menurutnya, memilih tren yang sesuai karakter pribadi akan membuat kreator lebih tahan lama.

“Kalau kita ikutin tren terus, akhirnya kehilangan jati diri. Tapi kalau kita gabungin sama hal yang 'kita' banget, itu bisa long last. Do what you love, love what you do itu bener banget,” ungkapnya.

Hendry pun menutup dengan pesan agar generasi muda tidak berhenti belajar. Baginya, yang tertinggal adalah mereka yang enggan mengembangkan diri.

Jangan biarkan karya hanya jadi draft

Potret Raditya Dika, Aulion, dan Hendry Lim saat menerima plakat pembicara di Indonesia Summit 2025. (instagram.com/indonesia.summit)

Menutup diskusi, Aulion berpesan agar generasi muda tidak menyia-nyiakan karya dengan hanya menyimpannya di draft.

“Sayang banget kalau konten cuma ada di draft. Lebih baik upload aja, siapa tahu ada satu orang yang terinspirasi. Itu udah impactful banget,” ucapnya.

Bagi Aulion, poin terpentingnya adalah mencintai karya sendiri, karena dari situlah motivasi jangka panjang bisa tumbuh.

Pada akhirnya, keberanian untuk memulai, konsistensi dalam berkarya, serta kemauan untuk terus belajar adalah kunci bagi Millennial dan Gen Z untuk benar-benar menjadi motor penggerak ekonomi kreatif Indonesia. The future is in our hands!

Editorial Team