Danilla Riyadi Bagikan Cara Bangun Personal Branding Autentik di Indonesia Summit 2025

- Personal branding kini penting di era digital untuk siapa pun yang ingin dikenal dengan citra tertentu, baik di dunia kerja maupun kehidupan sehari-hari.
- Danilla Riyadi memulai personal branding-nya dari SoundCloud sebelum beralih ke Instagram, karena melihatnya sebagai media promosi efektif dan murah.
- Menjadi autentik justru lebih powerful daripada sekadar terlihat sempurna, personal branding harus jujur dari hati dan tidak perlu mengikuti semua tren.
Personal branding kini jadi salah satu kunci penting di era digital. Bukan hanya untuk selebritas atau figur publik belaka, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin dikenal dengan citra tertentu, baik di dunia kerja maupun kehidupan sehari-hari. Meski begitu, banyak orang masih bertanya-tanya, bagaimana cara membangun personal branding yang tepat tanpa terlihat berlebihan atau dibuat-buat?
Ditemui di ajang tahunan Indonesia Summit 2025, yang digelar IDN Times, dalam salah satu talkshow Talent Trifecta by ICE bertajuk “From Nobody to Industry Icon: The New Rules of Personal Branding in 2025”, musisi sekaligus penulis lagu Danilla Riyadi berbagi insight bahwa personal branding bukan lagi soal pencitraan semata.
Personal branding bukan hanya untuk yang menjadi public figure

Ketika ditanya soal makna personal branding, Danilla mengaitkannya dengan cara orang mengenali karakter seseorang di era digital. Menurutnya, personal branding bukan sekadar untuk menjadi figur publik, melainkan juga penting bagi siapapun.
“Personal branding itu kayak di buku zaman dulu ada intisarinya. Jadi, kita nggak perlu tahu banyak tentang orang ini, tapi harapannya kita tahu karena dia sudah merepresentasikannya, baik secara langsung maupun di media sosial,” ungkapnya.
Ia menambahkan kalau hampir semua orang kini dilihat dari profil atau rekam jejak digital mereka. Oleh karena itu, personal branding dinilai memengaruhi bagaimana seseorang dipersepsikan.
“Personal branding itu penting, nggak cuma buat mau menjadi public figure, tapi semuanya juga perlu punya,” tegasnya.
Bermula dari Soundcloud sebelum beralih ke Instagram

Perjalanan personal branding Danilla rupanya berawal sederhana. Ia pertama kali memperkenalkan karya lewat SoundCloud pada 2012 karena fokusnya hanya pada musik.
Barulah ia mulai menggunakan Instagram, yang awalnya sebatas ruang untuk berbagi fotografi. Seiring waktu, fungsi platform itu pun berkembang. Bersama rekannya sekaligus kolaborator utama, Lafa Pratomo, Danilla melihat Instagram sebagai media promosi yang terbilang efektif dan murah.
“Kita memutuskan Instagram jadi media promosi karena keterbatasan biaya, jadi cari yang gratis. Semua platform media sosial akhirnya jadi tempat kita untuk sharing dan media promosi gratis. (Jadi) Bisa kenal sama orang dan kasih tahu ke semua orang kita ngelakuinnya apa,” ujarnya.
Tetap ikuti tren, asalkan nyaman melakukannya
Bagi Danilla, menjadi musisi di era digital punya tantangan tersendiri. Ia menyadari bahwa kini seorang musisi dituntut untuk sekaligus berperan sebagai kreator konten.
“Sebenernya aku pribadi masih berperang (untuk menyeimbangkan antara tetap relevan dengan tren dengan menjadi diri sendiri), karena secara tidak langsung kita (yang sebagai) musisi wajib jadi content creator juga, jadi nggak sekadar bikin musik,” ungkapnya. Dari interaksi dengan para followers-nya, Danilla tahu bahwa banyak orang juga ingin melihat sisi personalnya di luar karya musik.
Meski begitu, ia tetap selektif dalam mengikuti tren. Baginya, tak semua tren harus diikuti, misalkan, dari sepuluh ide konten, bisa saja hanya dua yang akhirnya cocok dengan dirinya.
“Setidaknya aku memilih yang nggak bikin merinding untuk melakukannya. Kalau aku coba trennya ternyata nggak nyaman, ya, nggak akan aku lakuin lagi selanjutnya,” jelasnya.
Setiap unggahan bisa punya potensi menginspirasi orang lain

Untuk Danilla sendiri, membangun personal branding bukan soal memikirkan konten yang sempurna, melainkan berangkat dari hal-hal sederhana. Ia menganalogikan aktivitas posting di media sosial layaknya membuang sampah, seolah melepaskan apa yang menumpuk di kepala.
“Menurutku, nge-post itu kayak buang sampah. Ada hal yang menumpuk, even jelek tapi (jadi) momen, ya udah, share aja,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Danilla menekankan bahwa setiap orang bebas memilih sisi diri mana yang ingin ditunjukkan. Baginya, tak peduli sekecil atau sesederhana apa pun, setiap unggahan bisa saja memberi inspirasi bagi orang lain.
“Share yang menurut kalian paling nyaman buat orang tahu tentang kalian. (Bahkan) Kalau memang sedalam itu, ya, silakan aja. Segala bentuk pun kadang pasti ada aja yang menginspirasi buat orang lain,” tambahnya.
Apapun harus jujur dari hati
Menutup sesi, Danilla memberikan wejangan sederhana bagi siapa pun yang ingin mulai membangun personal branding. Baginya, kejujuran adalah kunci utama agar proses ini terasa ringan dijalani.
“Kita hidup cuma sekali. Apa pun yang kalian posting, pastikan kalau itu intentionally jujur, dari hati kalian,” ujarnya.
Menurut Danilla, netizen pun bisa merasakan arah dan keaslian sebuah konten. Ia menekankan bahwa di era sekarang, berpura-pura menjadi orang lain justru terasa melelahkan.
“Kalau kalian jujur, kalian jadi merasa tidak terbebani buat posting selanjutnya karena kalian (terlihat) apa adanya. Jadi, just be you, do it, (dan) jalanin terus,” tutupnya.
Perjalanan Danilla menunjukkan bahwa personal branding tidak harus dimulai dengan hal besar atau konten sempurna. Yang terpenting adalah kejujuran dan keberanian untuk tampil apa adanya.
Pada akhirnya, personal branding bukan soal mengikuti semua tren, melainkan menemukan cara paling tulus untuk dikenal. Jadi, sudah siapkah kamu membangun personal branding versimu sendiri?



















