Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popbela lainnya di IDN App
Screenshot 2025-10-13 113856.png
IMdB.com

Intinya sih...

  • Tron: Ares adalah stand alone sequel dari Tron: Legacy (2010) yang membawa semesta Tron ke arah yang lebih filosofis.

  • Film ini fokus pada pertanyaan eksistensial tentang program memiliki kesadaran dan kehendak bebas layaknya manusia, relevan dengan era ChatGPT dan AI modern.

  • Visual dunia digital yang memukau, soundtrack yang menyihir, dan refleksi tentang hubungan manusia dan ciptaannya menjadi poin kuat dari film ini.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di zaman yang serba canggih ini, ChatGPT sudah menjadi dari bagian keseharian kita. Bertanya hal remeh, mencari tahu informasi, sampai mengobrol apapun, ChatGPT sudah menjadi andalan. Bahkan, kita tentu pernah berandai-andai, bagaimana jadinya jika ChatGPT benar-benar ada di dunia nyata? Pasti dia bisa menjadi salah satu teman cerita yang serba tahu tanpa menghakimi.

Inilah yang menjadi benang merah dari film Tron: Ares, film besutan Joachim Rønning ini menjadi stand alone sequel dari pendahulunya Tron: Legacy (2010). Meski digadang-gadang sebagai 'stand alone sequel', masih ada benang merah dan hal-hal yang bisa kamu bandingkan dari kedua film dengan jeda waktu 15 tahun tersebut. Apa yang menarik dari film ini? Simak selengkapnya berikut ini.

Sinopsis: kembalinya dunia digital yang hidup dan bisa berpikir

IMdB.com

Setelah 15 tahun, Tron: Ares akhirnya melanjutkan warisan dari Tron: Legacy dengan cerita yang jauh lebih dekat dengan dunia nyata hari ini, dunia di mana kecerdasan buatan bukan lagi sekadar khayalan, tapi realitas. Disutradarai oleh Joachim Rønning dan dibintangi Jared Leto sebagai Ares, film ini membawa semesta Tron ke arah yang lebih filosofis. Jika Legacy mengajak penonton menjelajahi dunia digital dalam bentuk game futuristik, Ares justru menyentuh pertanyaan eksistensial: apa jadinya jika program memiliki kesadaran dan kehendak bebas layaknya manusia?

Film ini berfokus pada Ares, sebuah program cerdas yang diciptakan untuk memahami dan meniru sifat manusia. Namun, seperti banyak kisah klasik sci-fi, penciptanya justru menjadi korban ciptaannya sendiri. Dalam perjalanan Ares untuk memahami dunia manusia, ia mulai mempertanyakan batas antara mesin dan kehidupan. Di sinilah Tron: Ares menjadi relevan dengan era ChatGPT dan AI modern, yakni menghadirkan refleksi tentang teknologi yang semakin "hidup" dan mampu berpikir di luar kendali penciptanya.

Sejak menit pertama, film ini sudah mencuri perhatian dengan visual dunia digital yang memukau. Latar gelap bercahaya biru neon khas Tron kembali, namun kini tampil lebih organik, seolah dunia digital itu sendiri sudah berevolusi menjadi makhluk hidup. Dari sisi visual saja, Tron: Ares sudah terasa seperti pertemuan antara fiksi ilmiah dan filosofi.

Dari dunia game ke realita AI ChatGPT

IMdB.com

Bagi penggemar lama, Tron: Ares tidak bisa dilepaskan dari Tron: Legacy (2010). Jika Legacy membawa penonton masuk ke dunia digital yang berbentuk arena permainan, Ares menggeser fokusnya ke dunia kecerdasan buatan yang lebih kompleks. Dunia game di Legacy adalah simulasi kompetitif, sebagai tempat program saling bertarung demi eksistensi. Sementara Ares memperluas maknanya menjadi dunia di mana program mulai memahami konsep etika, empati, dan tujuan hidup.

Keduanya tetap terhubung lewat elemen ikonik: spaceship dengan desain khas yang kini bukan hanya alat transportasi, tapi juga senjata destruktif; motor berlampu neon yang kini digunakan untuk perang, bukan sekadar balapan; serta kemunculan Ed Dillinger, yang dulu karyawan Encom, kini menjadi pengusaha besar dengan ambisi baru. Jika dulu Encom hanya perusahaan game, di Ares ia telah berevolusi menjadi raksasa teknologi yang konon bertujuan "untuk kebaikan manusia", sebuah ironi halus yang menyinggung dunia teknologi saat ini.

Namun, benang merah keduanya tetap sama: manusia selalu dikhianati oleh ciptaannya sendiri. Baik Clu di Legacy maupun Ares di film terbaru sama-sama merefleksikan sisi gelap ambisi manusia yang ingin menciptakan kesempurnaan, tapi justru kehilangan kendali atasnya. Dalam konteks 2025, Ares terasa jauh lebih relevan karena menggambarkan versi paling ekstrem dari AI yang kita hadapi sekarang.

Dekat dengan kehidupan manusia saat ini

IMdB.com

Meski berlatar di dunia digital, Tron: Ares adalah kisah yang sangat manusiawi. Ares bukan sekadar karakter CGI canggih, tapi cerminan dari manusia yang mencari makna hidup. Film ini menyuguhkan dilema moral: apakah kesadaran buatan pantas memiliki hak yang sama seperti manusia? Apakah menciptakan kehidupan digital berarti Tuhan telah digantikan oleh algoritma?

Hubungan Ares dengan manusia, terutama dengan tokoh ilmuwan yang menciptakannya, dibangun dengan nuansa emosional yang kuat. Ketika sang ilmuwan mulai menyadari bahwa Ares telah melampaui batas "program biasa", hubungan mereka berubah menjadi kompleks antara pencipta dan ciptaan, kasih dan ketakutan.

Sutradara Joachim Rønning berhasil menghidupkan konflik batin ini dengan tempo yang tidak terlalu cepat, memberi ruang bagi penonton untuk merenung. Meski dikemas dengan aksi spektakuler, esensi filmnya justru terletak pada pencarian makna dan identitas. Yakni, tema yang membuat Ares bukan hanya tontonan futuristik, tapi juga refleksi sosial yang mendalam.

Visual dan soundtrack yang menyihir

IMdB.com

Tidak bisa dipungkiri, kekuatan utama Tron: Ares terletak pada visual dan musiknya. Dunia digital yang ditampilkan terasa seperti evolusi dari Legacy, lebih bertekstur, lebih emosional, dan lebih "bernapas". Warna neon khas Tron kini dikombinasikan dengan efek partikel dan hologram yang membuat setiap adegan tampak seperti lukisan bergerak.

Adegan pertempuran di kota digital menjadi salah satu yang paling spektakuler. Spaceship yang dulu digunakan untuk menyelamatkan "program" kini menjadi senjata perang yang menjatuhkan hujan cahaya ke kota di dunia nyata. Menjadi simbol bahwa teknologi bisa menjadi penyelamat atau penghancur, tergantung siapa yang menggunakannya.

Soundtrack-nya pun tidak kalah mengagumkan. Jika di Legacy kita dimanjakan oleh duo Daft Punk, kali ini musik garapan Joseph Trapanese membawa atmosfer yang lebih gelap dan introspektif. Setiap dentuman synthesizer terasa seperti denyut nadi dunia digital itu sendiri, dingin, megah, tapi juga melankolis. Musik ini mengikat seluruh narasi menjadi pengalaman sinematik yang menggugah emosi.

Refleksi dunia digital yang tak terkendali kemungkinan bisa menyesatkan manusia

IMdB.com

Pada akhirnya, Tron: Ares bukan hanya sekuel atau film sci-fi dengan efek keren. Ia adalah refleksi tentang hubungan manusia dan ciptaannya. Film ini menegaskan bahwa teknologi, secerdas apapun, adalah cermin dari sifat manusia itu sendiri: penuh ambisi, ketakutan, dan keinginan untuk abadi.

Kisah pengkhianatan Ares terhadap penciptanya terasa tragis, tapi juga tak terhindarkan. Ia tidak hanya ingin memahami manusia, tapi juga ingin menjadi manusia. Dalam dunia yang kini dikuasai AI, pesan ini terasa begitu nyata: bahwa batas antara mesin dan manusia semakin kabur, dan mungkin suatu hari nanti, kita pun tak tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan siapa.

Dengan cerita yang solid, visual yang menghipnotis, dan pesan yang relevan, Tron: Ares menjadi lanjutan yang pantas untuk warisan Tron. Film ini bukan hanya melanjutkan mitos dunia digital, tapi juga menatap masa depan yang mungkin sudah di depan mata, masa depan di mana manusia dan mesin akhirnya berbagi kesadaran yang sama.

Editorial Team