Berkaca dan Mendobrak Budaya Patriarki Lewat ‘Yuni’

Perempuan berhak memilih jalan hidupnya sendiri

Berkaca dan Mendobrak Budaya Patriarki Lewat ‘Yuni’

Follow Popbela untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Whatsapp Channel & Google News

"Perempuan ngapain sekolah tinggi-tinggi? Ujung-ujungnya juga bakalan ngurus dapur, sumur dan kasur. Yang penting pinter di ranjang."

Penggalan dialog dari film Yuni tersebut cukup berhasil memancing emosi saya. Sebagai perempuan yang banting tulang untuk menyelesaikan pendidikan, kalimat tersebut membuat hati saya sakit. Seolah perempuan hadir hanya untuk melayani laki-laki dan tidak bisa mengejar mimpinya sendiri. 

Permasalahan ketimpangan kesetaraan gender inilah, yang menjadi premis utama dari film yang digarap oleh sutradara Kamila Andini. Meski saat ini zaman serba modern dan kesetaraan gender telah digaungkan di banyak tempat, ternyata tak sedikit pula perempuan yang masih harus menjalani hidup di bawah tekanan stigma masyarakat yang membuat mereka tak bebas menjadi dirinya sendiri.

Berkaca dan Mendobrak Budaya Patriarki Lewat ‘Yuni’

Yuni berkisah tentang remaja SMA bernama Yuni (Arawinda Kirana) yang tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Barat. Berbeda dengan teman-teman sebayanya yang memilih menikah dan meninggalkan pendidikan mereka, Yuni sangat ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Pandangan Yuni soal ini mendapat pertentangan dari orang-orang di sekitarnya karena bagi mereka perempuan tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. 

Bukan hanya tidak mendapat dukungan dari orang-orang di sekitarnya, Yuni pun harus menerima gosip tak menyenangkan dari tetangga dan teman-teman sekolahnya karena ia menolak lamaran dua pria sekaligus dalam waktu berdekatan. Sebab, mitosnya, pamali seorang perempuan menolak lamaran hingga lebih dari dua kali karena bisa mendatangkan sial.

Padahal, bukan cuma karena belum siap menikah, alasan Yuni menolak lamaran-lamaran itu adalah karena ia masih ingin melanjutkan pendidikannya dan hidup lebih layak dibandingkan dengan tetangga-tetangga di sekitar rumahnya.

Bagi Kamila, sang sutradara, mengangkat soal isu perempuan bukanlah hal baru. Pada tahun 2011, Kamila memulai debutnya sebagai sutradara lewat film The Mirror Never Lies yang juga mengangkat isu masalah perempuan sebagai benang merahnya. Perbedaan karakter Yuni dengan film yang pernah ia sutradarai sebelumnya, adalah masalah yang dialami oleh sang tokoh utama terasa lebih kompleks dan pelik.

Kamila yang juga berperan sebagai penulis naskah bersama Prisma Rusdi, secara detail mampu menggambarkan permasalahan yang kerap dihadapi oleh perempuan. Yakni, soal pilihan hidup yang tak bisa mereka pilih sendiri, hingga pernikahan usia dini yang dinilai lebih banyak merugikan perempuan.

Tidak seperti film-film remaja lainnya yang menawarkan kebahagiaan semu dengan memperlihatkan kemewahan dan kemudahan hidup, Yuni menampilkan yang sebaliknya. Tak ada rumah mewah, baju mahal atau gadget terbaru. 

Film yang sudah rilis di bioskop pada 9 Desember 2021 ini, menampilkan kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah dengan rumah sederhana, pakaian berwarna serba ngejreng dan riasan wajah yang mentereng. Bukan berlebihan, tapi memang itulah kenyataan yang akan kamu temui jika kamu menyempatkan waktu untuk ‘berjalan-jalan’ sejenak di kota-kota pinggiran yang jauh dari Ibu Kota. 

Saya angkat topi untuk semua para pemain dalam film ini. Sebab, mereka bisa dengan begitu fasih berbicara bahasa Jawa Serang yang sangat kental. Padahal, jika melihat daftar pemainnya, tak ada satu pun dari mereka yang berasal dari daerah dengan bahasa Jawa Serang itu. 

Untuk Arawinda Kirana, saya berikan pujian tertinggi. Sebab, ini pertama kalinya perempuan kelahiran 27 September 2001 itu dipercaya memerankan tokoh utama dan sukses. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penghargaan yang ia raih pasca memerankan tokoh Yuni. Sebut saja Pemeran Utama Perempuan Terbaik Festival Film Indonesia 2021, serta Best Actress di Red Sea International Film Festival 2021 di Arab Saudi.

Penghargaan ini pantas diberikan untuk Arawinda, karena aktingnya yang begitu totalitas. Bukan hanya belajar bahasa daerah Jawa Serang untuk mendalami perannya, Arawinda juga berani melakukan adegan panas dan ciuman bersama Kevin Ardilova.

Bagi saya, Yuni tak cuma menyuguhkan sisi kehidupan lain yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Lebih dari itu, film ini membuat saya berkaca bahwa budaya patriarki yang masih begitu kental di Indonesia.

Seharusnya perempuan bisa memilih jalan hidupnya sendiri tanpa harus terkekang stigma yang selama ini menghalangi mereka. Namun, karena budaya patriarki yang masih begitu kental, mau tak mau, perempuan terpaksa menyerah dengan keadaan dan melupakan impiannya untuk menjalani kehidupan seperti yang mereka inginkan.

  • Share Artikel

TOPIC

trending

Trending

This week's horoscope

horoscopes

... read more

See more horoscopes here