30 Puisi Kemerdekaan 17 Agustus yang Menyentuh dan Bermakna

Baca dan resapi puisi kemerdekaan ini, ya!

30 Puisi Kemerdekaan 17 Agustus yang Menyentuh dan Bermakna

Follow Popbela untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Whatsapp Channel & Google News

Sebentar lagi, Indonesia akan merayakan hari kemerdekaannya yang ke-78. Momen itu tentu tak boleh dilewatkan begitu saja. Ada beragam cara yang bisa kamu lakukan untuk memaknai kemerdekaan.

Salah satu cara untuk memaknai kemerdekaan adalah dengan membaca puisi kemerdekaan 17 Agustus. Pasalnya, lewat puisi kita bisa merasakan semangat perjuangan dan pengorbanan para pahlawan Indonesia. 

Puisi juga bisa menjadi bentuk penghormatan kepada mereka yang telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, Popbela.com telah merangkum 30 puisi kemerdekaan 17 Agustus yang bisa kamu baca dan resapi. 

1. Puisi kemerdekaan 17 Agustus tentang perjuangan

30 Puisi Kemerdekaan 17 Agustus yang Menyentuh dan Bermakna

Puisi kemerdekaan 17 Agustus yang pertama adalah tentang perjuangan. Seperti yang diketahui, para pahlawan tidak mudah dalam berjuang mendapatkan kemerdekaan Indonesia. 

Sebelum proklamasi dibacakan, para pahlawan berusaha melepaskan diri dari penjajahan yang sudah berpuluh-puluh tahun dialami Indonesia. Mereka juga rela mengorbankan pikiran, waktu, bahkan nyawanya untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. 

Untuk mengenang perjuangan para pahlawan itu, berikut beberapa puisi yang bertema perjuangan. 

  1. Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang
    Karya: W.S. Rendra

    Tuhanku,
    Wajah-Mu membayang di kota terbakar
    Dan firmanMu terguris di atas ribuan
    Kuburan yang dangkal

    Anak menangis kehilangan bapa
    Tanah sepi kehilangan lelakinya
    Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
    Tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

    Apabila malam turun nanti
    Sempurnalah sudah warna dosa
    Dan mesiu kembali lagi bicara
    Waktu itu, Tuhanku,
    Perkenankan aku membunuh
    Perkenankan aku menusukkan sangkurku

    Malam dan wajahku
    Adalah satu warna
    Dosa dan nafasku
    Adalah satu udara.
    Tak ada lagi pilihan
    Kecuali menyadari
    -biarpun bersama penyesalan-

    Apa yang bisa diucapkan
    Oleh bibirku yang terjajah ?
    Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
    Mendekap bumi yang mengkhianatiMu
    Tuhanku
    Erat-erat kugenggam senapanku
    Perkenankan aku membunuh
    Perkenankan aku menusukkan sangkurku

  2. Museum Perjuangan
    Karya: Kuntowijoyo

    Susunan batu yang bulat bentuknya
    Berdiri kukuh menjaga senapan tua
    Peluru menggeletak di atas meja
    Menanti putusan pengunjungnya.

    Aku tahu sudah, di dalamnya
    Tersimpan darah dan air mata kekasih
    Aku tahu sudah, di bawahnya
    Terkubur kenangan dan impian
    Aku tahu sudah, suatu kali
    Ibu-ibu direnggut cintanya
    Dan tak pernah kembali

    Bukalah tutupnya
    Senapan akan kembali berbunyi
    Meneriakkan semboyan
    Merdeka atau Mati.

    Ingatlah, sesudah sebuah perang
    Selalu pertempuran yang baru
    Melawan dirimu. 

  3. Gerilya
    Karya: W.S Rendra

    Tubuh biru
    Tatapan mata biru
    Lelaki berguling di jalan

    Angin tergantung
    Terkecap pahitnya tembakau
    Bendungan keluh dan bencana

    Tubuh biru
    Tatapan mata biru
    Lelaki berguling dijalan

    Dengan tujuh lubang pelor
    Diketuk gerbang langit
    Dan menyala mentari muda
    Melepas kesumatnya

    Gadis berjalan di subuh merah
    Dengan sayur-mayur di punggung
    Melihatnya pertama

    Ia beri jeritan manis
    Dan duka daun wortel

    Tubuh biru
    Tatapan mata biru
    Lelaki berguling dijalan

    Orang-orang kampung mengenalnya
    Anak janda berambut ombak
    Ditimba air bergantang-gantang
    Disiram atas tubuhnya

    Tubuh biru
    Tatapan mata biru
    Lelaki berguling dijalan

    Lewat gardu Belanda dengan berani
    Berlindung warna malam
    Sendiri masuk kota
    Ingin ikut ngubur ibunya

  4. Diponegoro 
    Karya: Chairil Anwar

    Di masa pembangunan ini
    Tuan hidup kembali
    Dan bara kagum menjadi api
    Di depan sekali tuan menanti
    Tak genta. Lawan banyaknya seratus kali.
    Pedang di kanan, keris di kiri
    Berselempang semangat yang tak bisa mati.

    Maju
    Ini barisan tak bergenderang-berpalu
    Kepercayaan tanda menyerbu
    Sekali berarti
    Sudah itu mati

    Maju
    Bagimu Negeri
    Menyediakan api
    Punah di atas menghamba
    inasa di atas ditinda
    Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
    Jika hidup harus merasai

    Maju
    Serbu
    Serang
    Terjang

  5. Lagu dari Pasukan Terakhir
    Karya: Asrul Sani

    Pada tapal terakhir sampai ke Jogja
    Bimbang telah datang pada nyala
    Langit telah tergantung suram
    Kata-kata berantukan pada arti sendiri.
    Bimbang telah datang pada nyala
    Dan cinta tanah air akan berupa
    Peluru dalam darah
    Serta nilai yang bertebaran sepanjang masa
    Bertanya akan kesudahan ujian
    Mati atau tiada mati-matinya

    O Jenderal, bapa, bapa,
    Tiadakan engkau hendak berkata untuk kesekian kali
    Ataukah suatu kehilangan keyakinan
    Hanya kanan tetap tinggal pada tidak-sempurna
    Dan nanti tulisan yang telah diperbuat sementara
    Akan hilang ditup angin, karena
    Ia berdiam di pasir kering
    O Jenderal, kami yang kini akan mati
    Tiada lagi dapat melihat kelabu
    Laut renangan Indonesia.
    O Jenderal, kami yang kini akan jadi
    Tanah, pasir, batu dan air
    Kami cinta kepada bumi ini

    Ah mengapa pada hari-hari sekarang, matahari
    Sangsi akan rupanya, dan tiada pasti pada cahaya
    Yang akan dikirim ke bumi.

    Jenderal, mari Jenderal
    Mari jalan di muka
    Mari kita hilangkan sengketa ucapan
    Dan dendam kehendak pada cacat-keyakinan,
    Engkau bersama kami, engkau bersama kami,
    Mari kita tinggalkan ibu kita
    Mari kita biarkan istri dan kekasih mendoa
    Mari jenderal mari
    Sekali in derajat orang pencari dalam bahaya,
    Mari jenderal mari jenderal mari, mari....

  6. Putra-Putra Ibu Pertiwi
    Karya: Mustofa Bisri

    Bagai wanita yang tak ber-ka-be saja
    Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya
    Pahlawan-pahlawan bangsa
    Dan patriot-patriot negara
    (Bunga-bunga
    kalian mengenalnya
    Atau hanya mencium semerbaknya)

    Ada yang gugur gagah dalam gigih perlawanan
    Merebut dan mempertahankan kemerdekaan
    (Beberapa kuntum
    dipetik bidadari sambil senyum
    Membawanya ke sorga tinggalkan harum)

    Ada yang mujur menyaksikan hasil perjuangan
    Tapi malang tak tahan godaan jadi bajingan
    (Beberapa kelopak bunga
    di tenung angin kala
    Berubah jadi duri-duri mala)

    Bagai wanita yang tak ber-ka-be saja
    Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya
    Pahlawan-pahlawan dan bajingan-bajingan bangsa
    (di Taman Sari
    bunga-bunga dan duri-duri
    Sama-sama diasuh mentari)

    Anehnya yang mati tak takut mati justru abadi
    Yang hidup senang hidup kehilangan jiwa
    (Mentari tertawa sedih memandang pedih
    Duri-duri yang membuat bunga-bunga tersisih)

2. Puisi kemerdekaan 17 Agustus dari penyair

Masa-masa kemerdekaan yang kita ketahui saat ini sebagian besar dari sejarahnya saja. Padahal, para penyair telah menuliskan puisi kemerdekaan 17 Agustus yang bisa kita resapi untuk mengetahui situasi di masa itu. 

Para penyair mulai dari Moh. Yamin, Taufik Ismail, hingga Widji Tukul menyuarakan pemikirannya tentang kemerdekaan melalui karyanya.

Oleh karena itu, penting bagi kita membaca karya-karya mereka agar kemerdekaan Republik Indonesia ini dimaknai secara lebih mendalam.

Berikut puisi-puisi para penyair tentang kemerdekaan. 

  1. Kita Adalah Pemilik Sah Negeri Ini
    Karya: Taufik Ismail

    Tidak ada pilihan lain
    Kita harus berjalan terus
    Karena berhenti atau mundur
    Berarti hancur

    Apakah akan kita jual keyakinan kita
    Dalam pengabdian tanpa harga
    Akan maukah kita duduk satu meja
    Dengan para pembunuh tahun yang lalu

    Dalam setiap kalimat yang berakhiran
    “Duli Tuanku ?”
    Tidak ada lagi pilihan lain
    Kita harus berjalan terus
    Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan

    Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
    Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
    Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
    Dan bertanya-tanya, inikah yang namanya merdeka

  2. Merdeka atau Mati
    Karya: Moh. Yamin

    Darah di tanah tak bertuan menggenang
    Ratusan nyawa melayang
    Bergelimpangan di medan perang
    Mengangkat panji kemenangan
    Seorang pejuang berteriak lantang
    Gagah berani memegang senjata lawan penjajah
    Dua kata menjadi pilihan
    Merdeka atau mati
    Tubuh kekar dihujani peluru
    Penuh lubang di sekujur tubuh
    Darah bercucuran mereka tetap tegak berdiri
    Sekali lagi lantangkan merdeka atau mati

  3. Hari Kemerdekaan
    Karya: Sapardi Djoko Damono

    Akhirnya tak terlawan olehku
    Tumpah di mataku, dimata sahabat-sahabatku
    Ke hati kita semua
    Bendera-bendera dan bendera-bendera
    Bendera kebangsaanku

    Aku menyerah kepada kebanggan lembut
    Tergenggam satu hal dan kukenal
    Tanah dimana ku berpijak berderak
    Awan bertebaran saling memburu
    Angin meniupkan kehangatan bertanah air
    Semat getir yang menikam berkali
    Makin samar

    Mencapai puncak ke pecahnya bunga api
    Pecahnya kehidupan kegirangan
    Menjelang subuh aku sendiri
    Jauh dari tumpahan keriangan di lembah
    Memandangi tepian laut

    Tetapi aku menggenggam yang lebih berharga
    Dalam kelam kulihat wajah kebangsaanku
    Makin bercahaya makin bercahaya
    Dan fajar mulai kemerahan

  4. Karawang-Bekasi
    Karya: Chairil Anwar

    Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
    Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
    Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
    Terbayang kami maju dan mendegap hati?

    Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
    Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
    Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
    Kenang, kenanglah kami.
    Kami sudah coba apa yang kami bisa
    Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

    Kami cuma tulang-tulang berserakan
    Tapi adalah kepunyaanmu
    Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
    Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
    Atau tidak untuk apa-apa,

    Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
    Kaulah sekarang yang berkata
    Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
    Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

    Kenang, kenanglah kami
    Teruskan, teruskan jiwa kami
    Menjaga Bung Karno
    Menjaga Bung Hatta
    Menjaga Bung Sjahrir

    Kami sekarang mayat
    Berikan kami arti
    Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

    Kenang, kenanglah kami
    Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
    Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

  5. Bunga dan Tembok
    Karya: Widji Thukul

    Seumpama bunga
    Kami adalah bunga yang tak
    Kau hendaki tumbuh
    Engkau lebih suka membangun
    Rumah dan merampas tanah

    Seumpama bunga
    Kami adalah bunga yang tak
    Kau kehendaki adanya
    Engkau lebih suka membangun
    Jalan raya dan pagar besi

    Seumpama bunga
    Kami adalah bunga yang
    Dirontokkan di bumi kami sendiri

    Jika kami bunga
    Engkau adalah tembok itu
    Tapi di tubuh tembok itu
    Telah kami sebar biji-biji
    Suatu saat kami akan tumbuh bersama
    Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

    Dalam keyakinan kami
    Di manapun – tirani harus tumbang!

  6. Prajurit Jaga Malam 
    Karya; Chairil Anwar 

    Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
    Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
    bermata tajam
    Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
    kepastian
    ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
    Aku suka pada mereka yang berani hidup
    Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
    Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
    Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
  • Share Artikel

TOPIC

trending

Trending

This week's horoscope

horoscopes

... read more

See more horoscopes here