[EKSKLUSIF] Faradina Mufti Menyelami Emosi Nadine di 'Legenda Kelam Malin Kundang'

Faradina Mufti memerankan karakter Nadine dengan lapisan emosional yang menggali trauma, kehangatan, dan kebingungan seorang istri.
Nadine adalah peran paling "berat secara mental" bagi Faradina, menuntutnya menghadapi konflik batin sebagai istri dalam ketidakpastian.
Kebebasan untuk membentuk jiwa Nadine dan chemistry natural bersama Rio Dewanto menjadi fondasi besar dalam film ini.
Dalam Legenda Kelam Malin Kundang, Faradina Mufti kembali menunjukkan kapasitas aktingnya sebagai salah satu aktris paling serba bisa di generasinya. Kali ini, ia memerankan Nadine, seorang istri yang sadar bahwa cinta dan kenyataan tidak selalu berjalan beriringan.
Melalui karakter yang penuh lapisan emosional ini, Faradina menggali trauma, kehangatan, hingga kebingungan seorang perempuan yang mencoba mempertahankan keluarga, meski masa lalu suaminya perlahan-lahan kembali menghantui.
"Ini mungkin salah satu peran yang paling berat secara mental," akuinya, "apalagi melihat kondisi suaminya seperti itu dan nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Menjalani peran paling "berat secara mental" dalam kariernya

Sebagai aktris yang telah memerankan berbagai karakter intens, Faradina Mufti mengaku bahwa Nadine adalah peran yang memberikan beban emosional berbeda. Jika banyak proyek sebelumnya menuntutnya tampil ekstrem secara fisik, kali ini ia ditantang menghadapi konflik batin seorang istri yang hidup dalam ketidakpastian.
"Kalau dibilang paling berat, iya, ini lebih berat secara mental," ungkap Faradina. "Sebagai Nadine, aku harus menghadapi suami yang tiba-tiba hilang ingatan, tapi di sisi lain aku sendiri nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalunya."
Ketidakjelasan itulah yang membuat Nadine menjadi karakter yang rapuh sekaligus tegar. Ini menjadi kombinasi emosi yang dieksplorasi Faradina dengan sangat matang.
Kebebasan untuk membentuk jiwa Nadine
Salah satu hal menarik dari proses kreatif film ini adalah kebebasan yang diberikan kepada para aktor untuk membangun detail karakter hingga ke akar terdalamnya. "Aku tuh dibebaskan banget untuk mengembangkan Nadine. Bahkan sampai ke hal-hal kecil: dia lahir bulan apa, zodiac-nya apa, cara dia mencintai keluarganya gimana," cerita Faradina.
Dari kebebasan itu, Faradina memutuskan Nadine ber-zodiak Cancer dengan karakternya yang sensitif, intuitif, dan penuh empati.
"Dari situ aku bisa ngerasain jiwa karakter ini. Bagaimana cara dia menghadapi orang, cara dia mencintai, dan cara dia menjalani rumah tangga." Porsi kreatif tersebut membuat Nadine terasa begitu personal, seolah hidup di antara realita dan imajinasi Faradina.
Chemistry yang natural bersama Rio Dewanto
Untuk menggambarkan pasangan suami-istri yang emosinya kompleks, kedekatan Faradina dengan lawan mainnya, Rio Dewanto, menjadi salah satu fondasi besar. Mereka bekerja dibantu oleh acting coach dan arahan detail sutradara untuk memastikan hubungan Nadine–Malin terasa organik.
"Aku sama Rio tuh dari awal udah nentuin batasan dan kenyamanan dalam beradegan," ceritanya. "Kayak, bisa pegangan tangan sampai sejauh apa, boleh ngerangkul sampai mana, itu penting banget supaya kita lepas dan natural sebagai pasangan."
Faradina juga menambahkan bahwa Rio termasuk aktor yang terbuka dan kooperatif, sehingga proses membangun emosi rumah tangga terasa cair dan menyenangkan.
Hadirkan sudut pandang istri dalam kisah yang legendaris
Sosok istri bukanlah bagian utama dalam cerita rakyat Malin Kundang versi tradisional. Namun dalam versi film ini, karakter Nadine justru menjadi elemen penting dalam membangun dimensi baru legenda tersebut.
"Aku tuh pernah baca salah satu versi cerita Malin Kundang yang ada sosok istrinya. Tapi di film ini, jauh berbeda. Kita benar-benar dikasih perspektif baru," jelas Faradina.
Baginya, menghadirkan istri sebagai penopang emosi memperkaya cerita. "Kita sering denger cerita legenda dari satu sisi aja. Padahal belum tentu itu kebenarannya. Justru film ini ngajak orang buat mikir ulang: apa sih yang benar-benar terjadi?"
Detail inilah yang kemudian membuat kita semakin penasaran untuk menyaksikan bagaimana kisah ini akan bergulir.
Memaknai keluarga, luka lama, dan dua sisi dari sebuah cerita

Sebagai seorang ibu, Faradina mengaku bahwa film ini membuatnya banyak merenung tentang keluarga, terutama soal bagaimana kita tidak bisa menilai sesuatu dari satu sisi saja.
"Setelah jadi orang tua, aku benar-benar belajar bahwa semuanya itu punya dua sisi. Nggak bisa nge-judge dari satu sudut pandang aja," katanya.
Hal itu senada dengan tema besar film: generational trauma dan warisan luka yang terus bergulir dari satu generasi ke generasi berikutnya. "Kita nggak tahu apa yang terjadi di masa lalu Malin atau ibunya. Dan kadang, keluarga memang tempat yang aman, tapi juga tempat trauma dimulai."
Faradina menutup dengan refleksi pribadi, "Yang aku suka dari film ini, dia ngajak kita memahami manusia secara utuh. Bukan dari satu cerita aja, tapi dari semua sisi."



















