Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popbela lainnya di IDN App
Malin Kundang 1.jpg
Instagram.com/Rafkihidayat

Intinya sih...

  • Kevin Rahardjo dan Rafki Hidayat mengarahkan Legenda Kelam Malin Kundang dengan visi baru yang lebih emosional, kelam, dan manusiawi.

  • Kevin dan Rafki tumbuh sebagai penonton yang mengagumi karya-karya Joko Anwar, sebelum akhirnya menjadi sutradara salah satu filmnya.

  • Mereka ingin membuktikan bahwa sutradara muda Indonesia bisa jawab tantangan besar dan memberikan kontribusi pada upaya menghidupkan kembali legenda Indonesia melalui cara yang lebih relevan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Meski masih terbilang muda di jajaran sutradara film panjang, Kevin Rahardjo dan Rafki Hidayat berhasil mengarahkan Legenda Kelam Malin Kundang dengan kedewasaan visi yang jarang terlihat pada debutan. Dipercaya oleh Joko Anwar dan Come and See Pictures untuk membuka semesta Dark Legends, keduanya memikul beban besar: menghadirkan salah satu legenda paling ikonik Indonesia dengan perspektif baru yang lebih emosional, kelam, dan manusiawi.

"Kami ingin menampilkan versi Malin Kundang yang nggak cuma bicara tentang durhaka, tapi trauma dan sisi manusia yang sering nggak dilihat," ujar Kevin.

Dengan dua kepala, dua perspektif, tetapi satu visi, Kevin dan Rafki membuktikan bahwa kolaborasi bisa menjadi kekuatan utama di balik cerita legendaris yang dihidupkan kembali. Simak wawancara POPBELA dengan dua sutradara di balik Legenda Kelam Malin Kundang berikut ini.

Mimpi jadi nyata, dari penggemar film-film Joko Anwar kini menjadi sutradara salah satu filmnya

Instagram.com/Rafkihidayat

Kevin dan Rafki tumbuh sebagai penonton yang mengagumi karya-karya Joko Anwar. Kini, mereka justru menjadi bagian dari fondasi semesta baru yang sedang dibangun Joko: Dark Legends.

"Ini mimpi yang nggak pernah kami bayangkan. Dari nge-fans, tiba-tiba dikasih kepercayaan nggarap film sebesar ini," kata Rafki.

Bukan tanpa proses, mereka harus melalui tahapan presentasi intens, mulai dari shotlist, framing, hingga interpretasi karakter. Joko ingin memastikan bahwa keduanya memahami konsep emosional dari legenda yang akan mereka bangun.

"Kami harus benar-benar ngasih lihat apa yang kami pahami dari ceritanya. Deg-degan banget, tapi itu jadi batu loncatan buat bikin film ini dari hati," tambah Kevin.

Tantangan terbesar: menyatukan dua cara pandang dan ego untuk hasil yang lebih kreatif

Bekerja dengan dua sutradara sering kali dianggap rumit. Tetapi Kevin dan Rafki justru melihatnya sebagai kesempatan menyatukan kekuatan.

"Dua kepala pasti beda. Tapi gimana caranya dua hal yang beda itu ketemu di tengah dan jadi lebih kuat, itu tantangannya," ungkap Kevin.

Sebelum syuting, mereka menghabiskan waktu berjam-jam menyamakan visi: menggali motivasi karakter, menyusun video board, hingga membagi adegan siapa menangani bagian apa, namun tanpa membuat film terasa terpecah.

"Yang penting dari awal semua harus clear. Biar pas syuting nggak ada tarik-menarik visi," tambah Rafki. Pendekatan ini yang membuat set tetap efisien dan atmosfer kerja jadi produktif.

Menghidupkan karakter dengan emosi, bukan sekadar dialog

Bagi Kevin dan Rafki, kekuatan film ini bukan terletak pada dialog, tetapi pada lapisan emosi yang membalut setiap adegan. Mereka ingin penonton merasakan trauma keluarga, bukan hanya menontonnya.

"Kami bikin character sheet detail banget. Dari latar belakang kecilnya sampai kebiasaan sehari-hari, padahal itu nggak ada di naskah," kata Rafki.

Proses ini membuat para aktor (terutama Faradina Mufti dan Rio Dewanto) memahami karakter bukan dari garis besar cerita, tapi dari masa lalu yang mereka "hidupi".

"Jadi kalau syuting nggak urut pun, konsistensi emosinya tetap sama. Itu efek dari pendalaman karakter yang benar dari awal," jelas Kevin.

Kolaborasi dengan aktor hasilkan lingkungan kerja yang nyaman

Dua sutradara ini juga mengapresiasi para aktor yang datang dengan antusiasme kolaboratif.

"Rio dan Faradina itu tipe aktor yang nggak cuma baca naskah, tapi bawa perspektifnya sendiri. Diskusi kita banyak banget soal gestur, intensitas, sampai cara karakter bernafas waktu lagi trauma," ujar Kevin.

Namun, Kevin dan Rafki tetap menjaga agar improvisasi tidak keluar dari visi film. "Improvisasi itu boleh banget. Tapi kami selalu balik ke inti: apa motivasi karakter? Kalau sesuai, lanjut. Kalau nggak, kita arahkan lagi," kata Rafki.

Proses kolaboratif inilah yang membuat dinamika suami-istri di film terasa begitu hidup dan nyata.

Mengeksplorasi kisah rakyat Indonesia dengan gaya baru

Sebagai sutradara baru, Kevin dan Rafki sadar bahwa kesempatan sebesar ini jarang datang. Karena itu, mereka menyikapinya sebagai langkah untuk membuka jalan bagi talenta muda lainnya.

"Kami ingin membuktikan kalau sutradara muda Indonesia bisa jawab tantangan besar," kata Kevin.

Keduanya juga ingin memberikan kontribusi pada upaya menghidupkan kembali legenda Indonesia melalui cara yang lebih relevan.

"Legenda-legenda kita tuh sebenarnya gelap dan kaya banget kalau dibaca dari perspektif modern. Dari sini, kami berharap penonton bisa lihat sisi cerita rakyat yang lebih manusiawi dan kompleks," kata Rafki.

Meski belum menyebutkan proyek berikutnya, keduanya mengaku terbuka untuk kembali berkolaborasi atau justru mengeksplorasi gaya masing-masing. Yang jelas, Legenda Kelam Malin Kundang menjadi penanda bahwa nama mereka layak diperhitungkan dalam dunia penyutradaraan Indonesia.

Editorial Team