Ilustrasi orang menikah (pexels.com/أحمد جوريج)
Melanjutkan pernyataan di atas, bahwa meski tidak adanya wali nasab dari ayah kandung, bukan berarti pernikahan mustahil dilaksanakan. Akad nikah tetap dapat dilakukan melalui wakil wali atau wali yang posisinya lebih jauh (ab’ad), asalkan terdapat pelimpahan kuasa (taukil) atau izin dari wali terdekat (aqrab).
Sebab, tidak serta-merta kakak kandung atau wali aqrab lainnya dapat menikahkan tanpa restu dari ayah kandung, yang dalam hal ini adalah orang tua. karena hak kewalian tetap berada pada sang ayah. Jarak atau ketidakhadiran wali aqrab juga tidak otomatis memindahkan hak kewalian kepada wali ab’ad. Prinsip ini sejalan dengan dalil yang menyatakan:
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ إِلاَّ بِإِذْنِ وَلِيِّهَا
Artinya:
“Tidak boleh dinikahkan seorang perempuan kecuali seizin walinya.” (HR. Malik)
Wali nasab yang berada jauh jaraknya pada prinsipnya dialihkan kewaliannya kepada wali hakim, bukan kepada wali ab’ad, namun hal ini tetap memerlukan terpenuhinya sejumlah syarat. Di antaranya, wali nasab tersebut berada di lokasi yang cukup jauh, menolak untuk menikahkan, atau memiliki halangan yang membuatnya tidak dapat hadir.
وإن غاب الولي إلى مسافة تقصر فيها الصلاة زوجها السلطان ولم يكن لمن بعده من الأولياء أن يزوج لأن ولاية الغائب باقية ولهذا لو زوجها في مكانه صح العقد وإنما تعذر من جهته فقام السلطان مقامه كما لو حضر وامتنع من تزويجها
Artinya:
"Jika wali tidak ada karena jauh sejauh jarak yang membolehkan salat, maka si perempuan boleh dinikahkan oleh penguasa (wali hakim). Dan wali yang ada di bawahnya tidak berhak menikahkan. Sebab, hak kewalian masih melekat pada wali yang jauh tadi. Karena itu, seandainya wali jauh tersebut menikahkan di tempatnya, maka akadnya sah. Pasalnya, kesulitan dari dari pihaknya, sehingga digantikan posisinya oleh wali hakim, sebagaimana pula jika ia hadir tetapi tercegah untuk menikahkannya.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, [Surabaya: al-Hidayah], juz II/429)