Alasan Kita Lebih Suka Menyalahkan Pelakor dan Kenapa Harus Dihentikan

Padahal perselingkuhan dilakukan dua orang.

Alasan Kita Lebih Suka Menyalahkan Pelakor dan Kenapa Harus Dihentikan

Follow Popbela untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Whatsapp Channel & Google News

Sebutan ‘pelakor’ atau perebut laki orang kerap disematkan kepada perempuan yang merupakan pasangan selingkuh seorang laki-laki yang sudah memiliki istri atau pasangan. Istilah tersebut begitu akrab di telinga kita. Ketika melihat sejumlah pemberitaan media yang menceritakan perselingkuhan para selebriti, sosok pelakor inilah yang selalu disorot. Dia juga yang sering mendapatkan kecaman, ejekan, hingga bertahun-tahun kejadian perselingkuhan itu berlalu, sosok pelakor tetap diingat.

Contohnya saja ketika perselingkuhan antara Angelina Jolie dan Brad Pitt, ketika Brad Pitt masih berstatus suami dari Jennifer Aniston. Sosok Angelina lalu dibanding-bandingkan dengan Jennifer. Hingga akhirnya Angelina menikah dengan Brad lalu bercerai dengannya, kejadian itu dikait-kaitkan kembali dengan perselingkuhan yang dulu pernah terjadi. Bahkan ketika mereka yang terlibat sudah move on, netizen yang hanya menjadi penonton seakan-akan tak bisa melupakan si pelakor.

Berita terbaru adalah tentang perselingkuhan antara Nissa Sabyan dan keyboardis grup musik Sabyan Gambus, Ayus. Nissa pun langsung mendapat cap sebagai pelakor dan menerima kecaman dari netizen.

Tapi kenapa, sih, kita atau masyarakat pada umumnya lebih fokus pada sosok pelakor alias perempuan saat sebuah perselingkuhan terjadi? Ini beberapa alasannya dan kenapa seharusnya kita berhenti menggunakan istilah pelakor.

1. Menganggap sebuah hubungan atau pasangan bagaikan properti

Alasan Kita Lebih Suka Menyalahkan Pelakor dan Kenapa Harus Dihentikan

Tahukah kamu arti kata “perebut”? Menurut KBBI, perebut adalah “orang yang mengambil secara paksa milik orang lain”. Nggak bisa dipungkiri kalau kita sering menggunakan bahasa yang menggambarkan kepemilikian atau properti saat membicarakan hubungan.

Contohnya saja, “dia sudah ada yang punya”, “kamu adalah milikku”, “kalau aku tak bisa memiliki kamu, tak boleh ada yang punya”. Seakan-akan ketika membicarakan pasangan atau kekasih sebagai sesuatu yang bisa diambil, bisa dimenangkan, atau bisa dicuri.

Membicarakan sebuah hubungan layaknya sebuah barang mungkin bisa memberikan rasa aman. Namun jika kamu menganggap pasangan adalah sebuah barang yang bisa diambil atau dicuri, tentu tak bisa dibenarkan. Bagaimanapun, pasangan sama denganmu, manusia yang bisa bertindak, berpikir, dan tentunya mempunyai pilihan, apa akan melakukan perselingkuhan atau tidak.

2. Stereotip perempuan sebagai sosok penggoda

Bukan hal aneh lagi kalau perempuan telah dikonstruksikan dalam masyarakat sebagai sosok yang menggoda. Perempuan selalu digambarkan sebagai sosok yang senang bersolek, bergaya, berdandan, dan menarik perhatian lawan jenisnya. Tak jarang digambarkan pula ketika seorang perempuan menggoda laki-laki, maka laki-laki adalah korban yang tak dapat menolak godaan tersebut.

Hal itu sama saja ketika ada kasus perkosaan, maka perempuan yang menjadi korban juga sering disalahkan. Menggunakan pakaian yang terlalu seksi dan minim, selalu disebut sebagai penyebab perkosaan. Namun tentu saja kita tahu, bahwa bukan itu intinya. 

Sama halnya dengan perselingkuhan, tak selalu pihak perempuan yang menggoda duluan. Tak bisa juga mengatakan bahwa pihak lelaki tak kuasa menahan godaan dan akhirnya memilih untuk berselingkuh. Itu sama saja, kita membenarkan perilaku lelaki dan menyalahkan pihak perempuan.

  • Share Artikel

TOPIC

trending

Trending

This week's horoscope

horoscopes

... read more

See more horoscopes here