IOC Dikabarkan Akan Larang Atlet Transgender di Nomor Perempuan, Ini Alasannya!

IOC tengah merancang aturan yang berpotensi melarang atlet transgender perempuan berkompetisi di nomor perempuan demi menjaga keadilan dan perlindungan kategori perempuan.
Di bawah kepemimpinan Kirsty Coventry, IOC membentuk kelompok kerja ilmiah untuk meninjau data biologis dan kasus atlet dengan perbedaan perkembangan seksual (DSD).
Jika diterapkan, kebijakan ini dapat memengaruhi kualifikasi atlet transgender di berbagai cabang olahraga dan memicu perdebatan global soal batas antara keadilan kompetisi dan inklusi gender.
Isu partisipasi atlet transgender perempuan di ajang Olimpiade kembali mencuri perhatian dunia olahraga. International Olympic Committee (IOC) disebut tengah menyiapkan kebijakan baru yang berpotensi melarang atlet transgender perempuan bertanding di nomor perempuan.
Menurut sejumlah sumber internal IOC, aturan tersebut bisa mulai diberlakukan dalam enam hingga dua belas bulan ke depan. Presiden IOC yang baru, Kirsty Coventry, menyebut langkah ini sebagai bagian dari komitmennya untuk melindungi kategori perempuan, sebagaimana dijanjikannya saat masa kampanye pemilihan presiden IOC.

Langkah ini dinilai sebagai upaya memastikan olahraga tetap "fair" bagi semua peserta. Selain itu, kebijakan ini juga dianggap dapat menghindari potensi konflik politik, terutama dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang pada Februari lalu telah menandatangani perintah eksekutif melarang atlet transgender perempuan berlaga di cabang olahraga perempuan di tingkat nasional.
Kebijakan IOC ini diperkirakan akan mulai berlaku menjelang penyelenggaraan Olimpiade 2028 Los Angeles. Namun, apakah ini keputusan yang adil bagi semua pihak? Yuk, kita bahas satu per satu.
Fokus baru IOC di era Kirsty Coventry

Sejak menjabat sebagai presiden IOC, Kirsty Coventry menegaskan komitmennya untuk mengedepankan pendekatan ilmiah dalam menentukan keadilan kompetisi. Menurutnya, olahraga harus mempertimbangkan faktor biologis secara objektif agar setiap atlet bertanding dalam kondisi setara.
Langkah ini menandai perubahan besar dari kebijakan inklusif IOC sebelumnya, yang lebih banyak menyerahkan keputusan kepada federasi olahraga masing-masing.
Sebagai bagian dari kajian kebijakan baru ini, IOC telah membentuk kelompok kerja khusus bernama Protection of the Female Category. Tim ini beranggotakan pakar ilmiah, ahli hukum olahraga, serta perwakilan federasi internasional. Mereka ditugaskan untuk menelaah bukti medis dan regulasi sebelum keputusan diberlakukan secara global.
Tim ini juga sedang mengkaji kemungkinan penerapan pedoman ilmiah yang seragam untuk semua cabang olahraga, agar tidak terjadi perbedaan aturan antara satu federasi dengan yang lainnya.
Polemik atlet DSD dan perdebatan ilmiah

Meski fokus utama kebijakan ini adalah atlet transgender, perdebatan juga muncul soal atlet dengan perbedaan perkembangan seksual (Differences of Sexual Development/DSD), seperti Caster Semenya.
Atlet DSD diketahui terlahir sebagai perempuan, tetapi memiliki kromosom dan kadar testosteron laki-laki. World Athletics telah lebih dulu melarang mereka berkompetisi di kategori perempuan, sementara FIFA masih memperbolehkan mereka tampil di sepak bola perempuan.
Antara keadilan dan inklusi jadi isu utama

Belum ada keputusan final, akan tetapi arah kebijakan IOC kini semakin jelas dengan perlindungan terhadap kategori perempuan akan menjadi prioritas utama.
Direktur Kesehatan, Kedokteran, dan Sains IOC, Dr. Jane Thornton, dilaporkan telah memaparkan hasil kajian ilmiah terbaru kepada anggota IOC. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa individu yang mengalami pubertas sebagai laki-laki tetap memiliki keunggulan fisik permanen, bahkan setelah menjalani terapi hormon.
Namun di sisi lain, kelompok pendukung inklusi dan komunitas LGBTQ+ mengingatkan bahwa olahraga seharusnya tetap menjadi ruang terbuka bagi siapapun, tanpa diskriminasi berdasarkan identitas gender. Mereka menilai kebijakan ini berisiko membuat ruang olahraga semakin tertutup bagi kelompok minoritas.
Dampak yang mungkin terjadi

Jika kebijakan ini disahkan sebelum Olimpiade 2028 Los Angeles, sejumlah atlet transgender yang tengah mengikuti kualifikasi internasional bisa saja terpaksa mundur atau dialihkan ke kategori terbuka. Langkah ini juga akan memengaruhi pedoman seleksi nasional di banyak negara, serta berpotensi menimbulkan revisi besar terhadap kebijakan olahraga di tingkat domestik.
Meski keputusan resmi belum dirilis, banyak yang menilai arah IOC lebih menyeimbangkan antara keadilan biologis dan prinsip inklusi sosial; dua hal yang kerap saling berbenturan di dunia olahraga modern.
Bagaimana pendapatmu terkait wacana kebijakan ini, Bela?



















