Awal abad ke-20, Belanda meluncurkan Politik Etis sebagai "balas budi" atas eksploitasi panjang terhadap rakyat Indonesia. Program ini berfokus pada edukasi, irigasi, dan emigrasi. Sekolah-sekolah modern mulai dibangun, meski aksesnya terbatas hanya untuk elite pribumi. Infrastruktur irigasi diperluas, dan program transmigrasi dilakukan untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa.
Namun, di balik citra "kemajuan", Politik Etis juga bertujuan menjaga stabilitas kolonial dan mempersiapkan tenaga kerja terdidik untuk kepentingan ekonomi Belanda. Pendidikan yang diberikan justru memunculkan generasi baru yang kritis terhadap kolonialisme, seperti Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir.
Gerakan kebangsaan mulai tumbuh melalui organisasi seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1912), dan Indische Partij (1912). Kesadaran nasional makin menguat, dibarengi dengan perlawanan bersenjata di berbagai daerah, seperti Perang Aceh yang berlangsung hingga awal abad ke-20.
Pada dekade 1930-an, krisis ekonomi dunia membuat situasi memburuk. Pengangguran meningkat, harga komoditas anjlok, dan represi terhadap aktivis politik semakin keras. Meski begitu, api perlawanan tak padam, justru semakin membesar menjelang Perang Dunia II.
Akhirnya, pada 1942, kedatangan Jepang mengakhiri 3,5 abad kekuasaan Belanda di Indonesia. Meski penjajahan berganti tangan, warisan kolonial Belanda, seperti dari infrastruktur hingga luka sosial, tetap membekas, dan menjadi bagian penting dari perjalanan panjang menuju kemerdekaan.
Itulah tadi sejarah masuknya Belanda ke Indonesia. Awalnya mereka datang untuk berdagang, tapi berubah menjadi menjajah dan menjadi sejarah panjang perjuangan bangsa.