Profil Greta Thunberg, Aktivis Swedia yang Lahir dari Keluarga Seniman

- Greta memulai aksinya dengan duduk sendirian di depan parlemen Swedia pada 2018, yang kemudian berkembang menjadi gerakan global, Fridays for Future, dan menginspirasi jutaan anak muda untuk menuntut keadilan iklim.
- Ia kemudian berbicara di forum-forum dunia seperti COP24, PBB, dan Forum Ekonomi Davos dengan pesan tajam tentang tanggung jawab para pemimpin dalam menghadapi krisis iklim.
- Greta memperluas fokusnya ke solidaritas global, termasuk berpartisipasi dalam Global Sumud Flotilla menuju Gaza.
Nama Greta Thunberg kembali menjadi sorotan dunia setelah ia ikut dalam Global Sumud Flotilla, armada kemanusiaan yang berupaya menyalurkan bantuan ke Gaza. Aksi tersebut berakhir dengan ketegangan ketika seluruh kapal dicegat oleh militer Israel, dan lebih dari 170 aktivis, termasuk Greta, dideportasi ke Yunani.
Mengutip dari Al Jazeera, setibanya di Bandara Athena, Greta menegaskan, “Ada genosida yang sedang terjadi.” Ia juga menuding sistem hukum internasional gagal mencegah kejahatan perang terhadap rakyat Palestina.
Namun, bagi Greta, ini bukan kali pertama ia berdiri di garis depan perjuangan kemanusiaan. Aktivis asal Swedia itu telah lama dikenal karena keteguhannya menyuarakan keadilan iklim dan nilai kemanusiaan di panggung global.
Berikut ini, Popbela akan mengulas profil Greta Thunberg, sosok yang menjadikan kepedulian sebagai bentuk perlawanan.
Awal kehidupan Greta Thunberg
Greta Tintin Eleonora Ernman Thunberg, atau yang dikenal sebagai Greta Thunberg, lahir di Stockholm, Swedia, pada 3 Januari 2003. Greta dikenal sebagai aktivis lingkungan muda yang mengguncang dunia lewat kampanyenya melawan krisis iklim dan pemanasan global.
Ia justru tumbuh dalam keluarga seni; ibunya, Malena Ernman, adalah seorang penyanyi opera terkenal, sementara ayahnya, Svante Thunberg, seorang aktor. Sejak kecil, Greta sudah menunjukkan kepekaan luar biasa terhadap isu lingkungan, bahkan di usia delapan tahun, ia mulai mempertanyakan mengapa dunia tidak bergerak lebih cepat menghadapi krisis iklim.
Rasa frustrasi itu begitu dalam hingga di usia 11 tahun, ia sempat berhenti berbicara karena kesedihannya terhadap krisis iklim. Greta juga mengidap sindrom Asperger, tetapi ia menyebut kondisinya itu sebagai "superpower" yang membuatnya fokus dan tak tergoyahkan dalam memperjuangkan iklim.
Ikut aksi mogok sekolah demi mengubah dunia

Nama Greta mulai dikenal luas pada Agustus 2018. Saat itu, di usia 15 tahun, ia duduk sendirian di depan parlemen Swedia sambil membawa poster bertuliskan “Skolstrejk för Klimatet” atau School Strike for Climate.
Aksi sederhana itu memantik gelombang solidaritas global dan melahirkan gerakan Fridays for Future, yakni aksi mogok sekolah setiap Jumat untuk menekan pemerintah agar serius menangani perubahan iklim. Gerakan ini kini telah diikuti lebih dari 100 ribu siswa di berbagai negara, dari Eropa hingga Amerika.
Greta sendiri terinspirasi oleh Rosa Parks, aktivis hak-hak sipil yang menentang diskriminasi rasial di Amerika. Seperti Rosa, Greta ingin menyalakan perubahan besar dengan keberanian dan keteguhan tanpa kekerasan.
Berkancah di panggung global

Tak butuh waktu lama bagi Greta untuk berdiri di panggung internasional. Ia diundang berbicara di berbagai forum bergengsi seperti Parlemen Uni Eropa, Parlemen Inggris, COP24 di Polandia, hingga Forum Ekonomi Dunia di Davos.
Salah satu momen paling ikonik terjadi di New York pada 2019. Di hadapan para pemimpin dunia, Greta melontarkan kalimat yang menggema, “How dare you?” sebagai teguran keras terhadap lambannya aksi menghadapi krisis iklim.
Sejak itu, Greta menjadi simbol perjuangan generasi muda. Ia bahkan menolak bepergian dengan pesawat demi menekan jejak karbon, dan menempuh perjalanan 15 hari melintasi Samudra Atlantik menggunakan kapal bertenaga angin dan surya untuk menghadiri KTT Aksi Iklim PBB di New York.
Menuangkan pemikirannya lewat literasi

Selain orasi, Greta juga menuliskan perjuangannya dalam buku No One Is Too Small to Make a Difference (2019), kumpulan pidato yang memberi inspirasi jutaan orang. Ia kemudian merilis The Climate Book (2023), sebuah karya kolektif dengan puluhan penulis dan pakar yang membahas akar hingga solusi krisis iklim.
Kisahnya pun turut diabadikan dalam dokumenter bertajuk I Am Greta (2020), yang merekam perjalanan aktivismenya dari awal hingga ke panggung dunia.
Pencapaian dan konsistensi terhadap isu global

Atas kiprahnya, Greta telah menerima berbagai penghargaan bergengsi. Majalah TIME menobatkannya sebagai Person of the Year 2019, sekaligus memasukkannya ke daftar 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia. Ia juga beberapa kali dinominasikan untuk Nobel Perdamaian hingga menerima penghargaan Right Livelihood Prize.
Kini, Greta tetap konsisten memperjuangkan isu iklim sekaligus keadilan sosial lintas negara. Ia memperluas fokus perjuangannya pada isu kemanusiaan, seperti dukungan terhadap Palestina melalui keterlibatannya di Global Sumud Flotilla.
Itulah profil Greta Thunberg, sosok yang menjadikan empati dan aksi nyata sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Ia telah membuktikan bahwa kepedulian dan keberanian seorang anak muda mampu mengguncang dunia.



















