- Rp60.000 per kursi per tahun untuk royalti hak cipta.
- Rp60.000 per kursi per tahun untuk royalti hak terkait.
Memutar Suara Alam Juga Wajib Bayar Royalti, Gimana sih, Aturannya?!

- Pemutaran musik di ruang publik tergolong penggunaan komersial, sehingga kafe dan restoran wajib membayar royalti, meskipun sudah berlangganan layanan streaming, seperti Spotify atau YouTube Premium.
- Tarif royalti ditetapkan sebesar Rp 120.000 per kursi per tahun, dibayarkan melalui LMKN, dan berlaku untuk hak cipta serta hak terkait.
- Ada keringanan untuk pelaku UMKM, serta solusi alternatif seperti musik bebas lisensi atau kerja sama langsung dengan musisi independen agar tetap legal dan mendukung ekosistem musik.
Isu royalti lagu di Tanah Air kembali menjadi sorotan. Setelah sejumlah musisi Indonesia menyoroti penggunaan lagu mereka tanpa izin maupun imbalan yang layak, kini isu tersebut merambah ke sektor bisnis. Kafe dan restoran menjadi sorotan baru, terutama setelah adanya penegakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta atas pemutaran musik di ruang publik.
Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah penetapan Direktur PT Mitra Bali Sukses, pemegang lisensi franchise Mie Gacoan di Bali, sebagai tersangka. Sejak 2022, tempat usaha tersebut memutar musik tanpa membayar royalti, dengan estimasi kerugian mencapai miliaran rupiah.
Meski berlangganan Premium, pakai musik barat, atau suara alam, tetap bisa kena royalti

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkumham, Agung Damarsasongko, menegaskan bahwa pemutaran musik di ruang publik tergolong sebagai penggunaan komersial. Oleh karena itu, meski pelaku usaha sudah berlangganan layanan musik, seperti YouTube Premium, Spotify, atau Apple Music, hal itu tidak menggugurkan kewajiban membayar royalti.
"Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah," jelas Agung, dilansir dari IDN Times.

Upaya beberapa pelaku usaha untuk menyiasati aturan dengan memutar lagu luar negeri, musik instrumental, atau suara alam seperti kicauan burung, ternyata tidak serta-merta bebas dari kewajiban royalti. Mengutip dari Kompas.com, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menjelaskan bahwa rekaman tersebut tetap mengandung hak produser.
"Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar," kata Dharma.
Dampaknya terhadap bisnis kafe dan restoran

Sejumlah pelaku usaha, terutama di wilayah Jakarta Selatan, mulai menunjukkan kekhawatiran terhadap aturan ini. Beberapa dari mereka bahkan memilih untuk tidak lagi memutar musik sama sekali demi menghindari risiko hukum.
Namun, keputusan ini justru berdampak pada suasana kerja dan kenyamanan pengunjung. Karyawan merasa suasana restoran menjadi hampa, sementara musik yang sebelumnya membantu meningkatkan semangat kerja kini tak lagi terdengar.
Di sisi lain, sebagian pelaku usaha mencoba mencari celah hukum dengan tetap memutar lagu-lagu instrumental atau musik luar negeri. Sayangnya, banyak di antara mereka yang masih belum memahami batasan legal dalam pemutaran musik komersial, sehingga kebingungan pun muncul.
Tarif dan mekanisme pembayaran royalti

Royalti yang dibayarkan akan didistribusikan kepada pencipta lagu, penyanyi, dan produser rekaman sebagai bentuk penghargaan atas karya mereka yang turut memberi suasana dan nilai tambah di ruang usaha. Mengacu pada informasi di situs resmi LMKN, pelaku usaha seperti kafe dan restoran dikenakan tarif royalti berdasarkan jumlah kursi.
Tarif yang berlaku adalah:
Dengan demikian, total royalti yang harus dibayarkan adalah Rp120.000 per kursi per tahun, yang dibayarkan melalui LMKN. Sistem serupa juga diterapkan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Korea Selatan.
Ada keringanan untuk pelaku UMKM

Pemerintah memastikan bahwa kebijakan ini tidak bertujuan membebani pelaku usaha, khususnya pelaku UMKM. Dalam menetapkan tarif, lembaga terkait telah mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk waktu operasional usaha yang tidak berlangsung penuh sepanjang tahun, misalnya selama bulan Ramadan.
Bagi usaha kecil yang memenuhi kriteria tertentu, tersedia mekanisme keringanan atau bahkan pembebasan tarif. Kebijakan ini menjadi upaya untuk menciptakan keseimbangan antara perlindungan hak cipta dan keberlangsungan bisnis skala kecil.
Pelaku usaha yang ingin memutar musik di ruang publik perlu memahami bahwa penggunaan lagu untuk kepentingan komersial tetap wajib membayar royalti, meski sudah berlangganan layanan streaming pribadi. Solusi seperti pemanfaatan musik bebas lisensi atau kerja sama langsung dengan musisi indie bisa dipertimbangkan.
Namun, agar tidak terjadi kebingungan, penting bagi semua pihak untuk memastikan informasi soal kewajiban ini disampaikan secara jelas, sehingga perlindungan hak cipta dapat berjalan adil dan saling menguntungkan. Bagaimana menurutmu, Bela?



















