Baca artikel Popbela lainnya di IDN App
For
You

Bukan Merek Lokal, Ini Sejarah Bata di Indonesia yang Gulung Tikar

7_20251011_172147_0006.png
Dok. Forbes
Intinya sih...
  • Bata, perusahaan sepatu legendaris, menutup pabriknya di Purwakarta setelah 93 tahun beroperasi.
  • Perusahaan ini berasal dari kota Zlín, Republik Ceko, dan telah berekspansi ke seluruh dunia termasuk Indonesia sejak 1931.
  • Meskipun pabrik di Indonesia ditutup, Bata masih bertahan sebagai perusahaan global dengan fokus pada ritel multinasional dan ekspansi digital.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Selama hampir satu abad, Bata telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia—menemani langkah para pelajar, pekerja, hingga keluarga dari generasi ke generasi. Namun, pada akhir April 2024, kabar mengejutkan datang: PT Sepatu Bata Tbk (BATA) resmi menutup pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat, setelah 93 tahun beroperasi. Keputusan ini diambil usai perusahaan mencatat kerugian selama empat tahun berturut-turut, di tengah tekanan pasar, meningkatnya biaya produksi, dan derasnya arus produk impor murah.

Penutupan pabrik tersebut menjadi simbol berakhirnya satu babak panjang dalam sejarah merek legendaris ini di Tanah Air. Banyak yang bertanya: bagaimana mungkin nama besar seperti Bata, yang pernah begitu kuat di pasar lokal, kini harus menutup pabriknya sendiri? Untuk menjawabnya, mari menelusuri kembali perjalanan Bata—dari awal berdirinya di Eropa hingga kisah pasang surutnya di Indonesia, Bela!

Asal-Usul Bata, dari Kota Zlín ke Panggung Dunia

2_20251011_172147_0001.png
Dok. Homegrown

Kisah Bata dimulai di kota Zlín, yang pada akhir abad ke-19 masih menjadi bagian dari Kekaisaran Austria-Hungaria (kini Republik Ceko). Di sanalah, pada 21 September 1894, tiga bersaudara — Tomáš Baťa, Antonín Baťa, dan Anna Baťa — mendirikan perusahaan kecil bernama T. & A. Baťa Shoe Company. Mereka berasal dari keluarga pembuat sepatu selama delapan generasi, namun Tomáš memiliki visi jauh melampaui sekadar membuat alas kaki: ia ingin menjadikan sepatu sebagai simbol kemajuan industri modern. Ia mulai memperkenalkan produksi massal, mengimpor mesin dari Amerika Serikat, dan memanfaatkan konsep efisiensi pabrik seperti di Ford Motor Company.

Kesuksesan Bata berawal dari keberaniannya berinovasi di masa sulit. Saat krisis ekonomi menekan Eropa pasca-Perang Dunia I, Tomáš menurunkan harga sepatu hingga separuh, namun tetap mempertahankan kesejahteraan karyawan lewat sistem bagi hasil. Langkah ini membuat permintaan melonjak drastis. Pabrik di Zlín tumbuh menjadi kompleks industri raksasa dengan perumahan, sekolah, rumah sakit, hingga bioskop — sebuah “kota sepatu” yang dikenal sebagai Bataville. Menjelang 1930-an, Bata telah mempekerjakan lebih dari 65.000 orang di seluruh dunia dan memiliki lebih dari 4.000 toko di berbagai benua. Karena keberhasilannya, Tomáš Baťa dijuluki sebagai “Raja Sepatu Dunia”.

Setelah Tomáš wafat dalam kecelakaan pesawat tahun 1932, tongkat estafet diteruskan oleh saudaranya, Jan Antonín Baťa, dan kemudian oleh putranya, Thomas J. Baťa, yang memindahkan markas perusahaan ke Swiss dan Kanada setelah perang. Dari sana, Bata terus berekspansi ke Asia, Amerika Latin, dan Afrika, menjadikannya salah satu perusahaan alas kaki terbesar di dunia hingga hari ini.

Jejak Awal Bata di Indonesia

1_20251011_172147_0000.png
Dok. Forbes

Kehadiran Bata di Indonesia dimulai jauh sebelum negeri ini merdeka. Pada 1931, Bata masuk ke Hindia Belanda sebagai importir sepatu melalui kerja sama dengan NV Nederlandsch-Indische Schoenhandel Maatschappij Bata di Tanjung Priok, Batavia. Enam tahun kemudian, Tomáš Baťa mengirim tim ekspedisi industri ke Asia Tenggara, dan salah satu hasilnya adalah pendirian kompleks produksi di Kalibata, Jakarta Selatan — nama yang diambil langsung dari “Bata Kali” (pabrik Bata di tepi kali). Di sinilah cikal bakal pabrik sepatu modern pertama di Indonesia berdiri pada 1940.

Pasca-kemerdekaan, Bata tetap bertahan dan bahkan semakin kuat. Pada 24 Maret 1982, perusahaan resmi melantai di Bursa Efek Indonesia dengan nama PT Sepatu Bata Tbk (kode saham: BATA). Seiring pertumbuhan ekonomi nasional, Bata memperluas jaringan toko dan membuka pabrik besar di Purwakarta, Jawa Barat, yang diresmikan pada 1994. Selama tiga dekade, pabrik ini menjadi pusat produksi utama untuk berbagai merek milik Bata seperti North Star, Power, Marie Claire, Bubblegummers, dan Weinbrenner. Produksi Bata sempat mencapai jutaan pasang per tahun, menjadikannya salah satu pemain dominan di pasar alas kaki nasional.

Penutupan Pabrik Bata di Purwakarta

3_20251011_172147_0002.png
Dok. Homegrown

Namun, setelah masa kejayaan panjang itu, awan gelap mulai menyelimuti. Sejak pandemi 2020, penjualan Bata terus menurun tajam. Laporan keuangan yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia menunjukkan kerugian beruntun selama empat tahun berturut-turut, dengan rugi bersih Rp190,29 miliar pada tahun 2023, meningkat hampir tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Biaya produksi yang tinggi, terutama upah minimum regional (UMK) di Purwakarta, membuat operasi menjadi tidak efisien. Sementara itu, pasar dibanjiri oleh produk impor murah dan ilegal, serta maraknya merek lokal dan internasional baru yang lebih cepat beradaptasi dengan tren daring.

Akhirnya, pada 30 April 2024, manajemen PT Sepatu Bata Tbk. mengumumkan penutupan pabrik Purwakarta melalui keterbukaan informasi di BEI. Sebanyak lebih dari 230 karyawan terkena dampak pemutusan hubungan kerja (PHK). Manajemen menegaskan bahwa keputusan ini diambil untuk “mengoptimalkan operasional perusahaan” dan mengalihkan fokus ke bisnis ritel dan impor produk dari luar negeri.

Kondisi dan Arah Bisnis Bata Saat Ini

5_20251011_172147_0004.png
Dok. Bata

Meskipun pabriknya di Indonesia telah berhenti beroperasi, Bata masih bertahan di panggung global. Kantor pusatnya kini berada di Lausanne, Swiss, di bawah Bata Shoe Organization (BSO). Perusahaan ini beroperasi di lebih dari 70 negara, dengan 21 fasilitas produksi dan melayani lebih dari satu juta pelanggan setiap hari. Fokus bisnisnya kini bergeser dari produksi massal ke model ritel multinasional yang menekankan efisiensi distribusi dan penguatan merek di berbagai pasar dunia.

Salah satu pasar terkuat Bata saat ini adalah India, tempat anak usahanya, Bata India Ltd., tumbuh menjadi pemimpin pasar dengan lebih dari 1.300 toko dan empat pabrik besar. Di sana, Bata berhasil menyesuaikan desain, harga, dan gaya hidup konsumen lokal agar tetap relevan di tengah persaingan. Perusahaan juga mempertahankan merek turunannya seperti Power, Marie Claire, dan Weinbrenner, sekaligus memperkuat kehadiran digital melalui e-commerce dan integrasi toko fisik dengan daring (omnichannel).

Penutupan pabrik Purwakarta memang menandai berakhirnya era produksi sepatu Bata di Indonesia, namun merek ini belum benar-benar hilang. PT Sepatu Bata Tbk. masih beroperasi dan menjual produknya melalui jaringan toko ritel nasional, hanya saja kini banyak yang diimpor dari negara lain. Kisah Bata menjadi cermin perubahan industri alas kaki dunia—dari pabrik kecil di Zlín hingga merek global yang terus beradaptasi melewati zaman.

Seperti semboyan pendirinya, “The best in the world is not good enough for us,” semangat itu tetap hidup di setiap langkah Bata, meski jejaknya di Indonesia perlahan memudar. Kalau kamu tahu informasi lain tentang Bata, tulis di kolom komentar ya, Bela!

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ayu Utami
EditorAyu Utami
Follow Us

Latest in Career

See More

Intip Dekorasi dan Keseruan Natal di Grand Indonesia A Jolly Christmas

05 Des 2025, 19:35 WIBCareer