Berpikir Kritis jadi Budaya yang Keren a la Abigail Limuria

- Abigail Limuria menghidupkan budaya berpikir kritis di kalangan generasi muda melalui platform What Is Up, Indonesia?, kelas diskusi, dan buku yang ia tulis.
- Media memiliki peran sentral dalam membentuk cara pikir masyarakat, seperti contoh Ideafest yang mendorong budaya diskusi dan pertukaran ide di Indonesia.
- Abigail membangun pendekatan agar berpikir kritis menjadi aksesibel dan dekat dengan kehidupan sehari-hari melalui bukunya yang ringan, relatable, tapi tetap berbobot.
Tak hanya dikenal sebagai content creator yang membahas isu sosial dan politik dengan lugas, Abigail Limuria juga menjadi salah satu suara penting dalam menghidupkan budaya berpikir kritis di kalangan generasi muda. Lewat platform What Is Up, Indonesia?, kelas diskusi, hingga buku yang ia tulis bersama co-author-nya, Abigail menunjukkan bahwa berpikir kritis bukan sesuatu yang berat, tetapi sesuatu yang keren, relevan, dan dekat dengan keseharian.
Bagaimana menyebarkan budaya berpikir kritis di tengah gempuran tsunami informasi berupa video-video pendek yang membuat konsentrasi kita semakin pendek? Simak penjelasan Abigail Limuria berikut ini.
Media sebagai penentu apa yang dianggap "keren" oleh budaya yang berkembang saat ini
![[Ki - Ka] Maghfiro Ridho - Ben Soebiakto - Ray Janson - Abigail Limuria - Meda Kawu.jpg](https://image.popbela.com/post/20251102/upload_40efbc127c86a7803b31f4dd18d4c294_5313762b-a607-4dc7-99ea-f84184d5cae5.jpg)
Menurut Abigail, media memiliki peran sentral dalam membentuk cara pikir masyarakat. Apa yang dianggap biasa, menarik, atau "cringe", sering kali ditentukan oleh apa yang hadir dan disebarkan di media.
"Yang men-setting apa itu keren, apa itu normal, apa itu cringe, itu adalah media. Makanya media itu penting banget untuk kultur," kata Abigail.
Ia melihat Ideafest sebagai contoh nyata bagaimana sebuah format festival bisa menumbuhkan budaya diskusi dan pertukaran ide di Indonesia. Acara seperti ini mendorong para pengunjung untuk mulai berpikir kritis, menghasilkan ide baru dan mengolaborasikannya, sehingga menjadi sebuah peluang baru untuk kemajuan bersama.
Membuat berpikir kritis menjadi aksesibel dan dekat dengan kehidupan sehari-hari
Abigail membangun pendekatannya dengan keyakinan bahwa pengetahuan tidak seharusnya eksklusif. Jika sesuatu sulit dijelaskan dengan sederhana, berarti pemahaman itu belum benar-benar utuh.
"Aku selalu percaya bahwa ketika aku nggak bisa menjelaskan sesuatu dengan simpel, berarti aku belum paham. Dan itu tujuan dari buku ini, supaya semua orang bisa paham, bahkan yang belum pernah belajar logika sebelumnya," kata Abigail.
Karena itu, ia merancang bukunya agar ringan, relatable, tapi tetap berbobot—mulai dari bahasa, contoh sehari-hari, hingga tata letak visual. Dengan apa yang dilakukannya ini, semoga saja semakin banyak anak muda yang makin memahami pentingnya berpikir kritis dan mulai menerapkannya di kehidupan sehari-hari.
Membangun ekosistem literasi yang hidup dan berkelanjutan
Lebih dari sekadar menulis buku, Abigail ingin menciptakan ekosistem yang mendukung budaya membaca dan berpikir sebagai gaya hidup sehari-hari. Itulah yang melahirkan rencana mendirikan penerbit Malaka Books.
"Buku itu nggak bisa berjuang sendiri dalam vacuum. Kita harus bikin ekosistem dan komunitasnya, supaya bisa nge-push budaya membaca dan berpikir itu bareng-bareng," tutup Abigail.
Baginya, membaca bukan hanya aktivitas intelektual, tetapi cara untuk mengenali diri dan dunia. Dengan cara yang dekat, hangat, dan relevan, Abigail Limuria mengajak generasi muda untuk merayakan berpikir kritis sebagai identitas, bukan tuntutan. Karena ketika pengetahuan menjadi keren, budaya akan berubah.



















