Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popbela lainnya di IDN App
Black Phone 2.png
IMdB.com

Intinya sih...

  • Finney menjaga adiknya dengan ketat karena trauma masa lalu, namun tanpa sadar Gwen terlibat dalam teror lama yang disebabkan oleh dendam keluarga.

  • Black Phone 2 fokus pada mimpi buruk Gwen tentang pembunuhan misterius, menunjukkan arah psikologis dan spiritual film yang lebih kompleks.

  • Kisah keluarga Finney dan Gwen menjadi inti emosional film, dengan transformasi karakter Gwen yang natural dan kehadiran kembali The Grabber sebagai arwah dendam yang menyeramkan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernah mengalami masa-masa buruk tentu menimbulkan trauma tersendiri. Sulit mendapatkan teman, hingga malam-malam yang tak tenang karena merasa terus dihantui menjadi hari-hari yang harus dilalui. Finney (Mason Thames), tak menyangka kehidupannya setelah lepas dari penculikan Grabber (Ethan Hawke) menjadi hari yang berat untuk dilalui. Bertahun berlalu, trauma itu masih membekas bahkan ketika Grabber sudah dinyatakan meninggal dunia.

Karena luka masa lalunya ini, Finney tak ingin hal tersebut terjadi kepada orang tersayangnya. Maka dari itu, ia menjaga Gwen (Madeliene McGraw) dengan sangat hati-hati. Meski kini Gwen telah beranjak remaja, Finney tak sedikit pun akan melepas Gwen sendirian. Ia menaruh curiga terhadap siapa saja teman Gwen dan bahkan laki-laki remaja yang menyukai Gwen. Finney takut jika hal serupa terjadi pada Gwen.

Tanpa Finney sadari, Gwen sudah masuk ke dalam teror lama yang disebabkan oleh dendam masa lalu yang belum selesai. Akankah Finn bisa menjaga Gwen dari ancaman tersebut?

Sinopsis: kala mimpi buruk kembali menghantui

IMdB.com

Empat tahun setelah Finney berhasil lolos dari penculikan mengerikan oleh The Grabber, teror itu ternyata belum berakhir. Dalam Black Phone 2, sutradara Scott Derrickson membawa penonton kembali ke dunia kelam yang penuh trauma dan rasa bersalah. Namun kali ini, fokus cerita bergeser ke Gwen, adik Finney, yang mulai mengalami mimpi berulang tentang serangkaian pembunuhan misterius di sebuah tempat bernama Alpine Lake Camp.

Mimpi-mimpi itu tidak sekadar bunga tidur. Gwen melihat kematian, mendengar suara ibunya yang telah tiada, dan perlahan menemukan bahwa semua itu terkait dengan masa lalu kelam keluarga mereka. Dari sinilah Black Phone 2 menunjukkan arah berbeda dari film pertamanya. Yakni lebih banyak bermain di ranah psikologis dan spiritual, tanpa kehilangan ketegangan khasnya.

Scott Derrickson sekali lagi berhasil menciptakan atmosfer menyesakkan: dunia nyata dan dunia mimpi terasa sama berbahayanya. Penonton diajak masuk ke dalam ketakutan Gwen, yang kini bukan hanya harus berhadapan dengan arwah penasaran, tapi juga dengan rasa bersalah dan kehilangan yang tak kunjung hilang.

Salah satu sekuel dengan story telling yang tak kalah seru dari film pendahulunya

IMdB.com

Kalau di film pertama kita mengikuti perjuangan Finney melawan penculiknya, Black Phone 2 menjadikan Gwen sebagai pusat cerita. Ini adalah langkah cerdas, karena memberikan sudut pandang baru yang lebih emosional dan kompleks. Gwen bukan lagi sekadar adik kecil yang pasrah menunggu kabar, tapi sosok yang berani menelusuri mimpi-mimpi buruk demi mengungkap kebenaran.

Hubungan kakak beradik ini menjadi inti emosional film. Trauma masa lalu mereka masih terasa, dan kini mereka harus menghadapi teror baru bersama. Momen ketika Gwen dan Finney saling menyalahkan tapi kemudian saling melindungi, menjadi highlight yang membuat film ini lebih dari sekadar horor. Ia adalah kisah keluarga yang terbelah oleh ketakutan, tapi disatukan oleh cinta dan tekad untuk saling menyelamatkan.

Transformasi Gwen terasa natural dan tak dipaksakan. Kita akan melihat sosok Gwen dari gadis kecil yang polos menjadi perempuan muda yang penuh luka namun kuat. Madeleine McGraw tampil sangat memukau; ekspresinya di setiap adegan mimpi menunjukkan ketakutan yang manusiawi, tanpa kehilangan sisi lembutnya sebagai adik yang masih mencari rasa aman.

Tokoh utama yang kembali dengan wujud berbeda tapi menghasilkan ketakutan yang sama

IMdB.com

Tak lengkap rasanya membahas Black Phone tanpa menyebut The Grabber. Walau sudah tewas di film pertama, kali ini ia hadir kembali sebagai arwah dendam yang menghantui keluarga Finney. Kembalinya The Grabber menjadi simbol trauma yang tak pernah benar-benar hilang. Dala sekuelnya ini, ia bukan lagi manusia, melainkan bayangan masa lalu yang terus menuntut balas.

Kehadiran Grabber versi arwah ini justru lebih menyeramkan. Scott Derrickson tidak menampilkan jumpscare murahan yang memainkan sound effect mengagetkan, tapi membangun rasa takut lewat atmosfer dan suara. Telepon mati yang tiba-tiba berdering, bayangan di ujung lorong, atau napas berat di tengah keheningan menjadi elemen-elemen yang membuat bulu kuduk berdiri.

Yang menarik, film ini juga memberi sedikit simpati pada Grabber dengan menyingkap potongan masa lalunya. Namun, simpati itu segera lenyap saat teror sedikit demi sedikit meningkat. Di sinilah Scott Derrickson menunjukkan keahliannya: membuat penonton takut sekaligus iba, tanpa pernah tahu kapan harus bernapas lega.

Sarat akan pesan keluarga yang membuat kita ikut tersentuh

IMdB.com

Dibanding film pertamanya yang lebih menonjolkan survival horror, Black Phone 2 memiliki tone yang lebih dramatis. Ada lebih banyak ruang untuk emosi, terutama hubungan antara Finney, Gwen, dan ayah mereka, Terrence (Jeremy Davies). Keluarga ini bukan hanya berjuang melawan arwah jahat, tapi juga melawan trauma dan penyesalan masa lalu.

Film ini memberi pesan kuat bahwa keluarga sejatinya akan selalu saling menerima, meski masa lalu mereka penuh luka. Di balik teror dan darah, terselip pesan lembut tentang rekonsiliasi dan pengampunan. Scott Derrickson, sekali lagi, dengan lihai menyeimbangkan momen ketegangan dan kehangatan, membuat film ini tetap menegangkan tapi juga menyentuh.

Ketika Gwen dan Finney bersatu melawan The Grabber, penonton tidak hanya disuguhi pertarungan manusia versus arwah, tapi juga perjuangan manusia melawan bayangan masa lalu. Inilah kekuatan Black Phone 2 menyentuh sisi emosional penonton tanpa kehilangan elemen seramnya.

Visual cerdas yang menggabungkan depresifnya daerah bersalju dan suramnya horor

IMdB.com

Secara teknis, Black Phone 2 tampil menawan dalam kesuramannya. Sinematografer Pär M. Ekberg menggunakan pencahayaan dingin dan palet warna kelabu untuk menciptakan dunia yang terasa sunyi namun berbahaya. Adegan-adegan di danau beku, kapel tua, hingga ruang bawah tanah sukses membangun suasana mencekam tanpa harus banyak darah.

Musik garapan Atticus Derrickson—putra sang sutradara—juga memainkan peran penting. Komposisinya menggabungkan dentuman berat dengan melodi melankolis, menciptakan nuansa yang pas antara horor dan tragedi. Sound design-nya detail, membuat suara dering telepon atau langkah kaki di salju terasa menusuk di telinga.

Efek praktikal dan CGI berpadu mulus, menghadirkan arwah Grabber dengan tampilan yang realistis tapi tetap misterius. Semua elemen teknis ini membuat Black Phone 2 terasa matang secara produksi, layaknya peningkatan besar dari film pertamanya.

Black Phone 2 bukan sekadar lanjutan dari film pertamanya. Ini adalah perluasan semesta yang membawa kedalaman baru. Di tangan Scott Derrickson, film ini berhasil menjaga keseimbangan antara teror dan emosi. Ia membuat kita sadar bahwa monster terburuk kadang bukan yang bersembunyi di balik topeng, tapi yang hidup dalam rasa bersalah dan kehilangan.

Dengan performa solid dari Madeleine McGraw dan Mason Thames, serta kemunculan Ethan Hawke yang tetap mencuri perhatian meski hanya lewat bayangan, film ini membuktikan bahwa kisah The Black Phone belum selesai. Ia tetap setia pada akar horor klasiknya, tapi tumbuh menjadi kisah keluarga dan penebusan dendam yang lebih matang.

Editorial Team