‘Thor: Love and Thunder’ Review: Perjalanan Sang Dewa Menemukan Cinta

Spoiler alert!

‘Thor: Love and Thunder’ Review: Perjalanan Sang Dewa Menemukan Cinta

Follow Popbela untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Whatsapp Channel & Google News

Ketika musuh terkuat di alam semesta telah lenyap dan dunia dalam keadaan baik-baik saja, lantas apa yang dilakukan oleh superhero selanjutnya? Apakah mereka mengambil masa pensiun seperti manusia pada umumnya? Atau memiliki kesibukan lain untuk mengisi hari-hari ‘damai’ mereka tanpa gangguan yang berarti.

Gambaran superhero pensiun inilah yang diangkat dalam kisah film Marvel Cinematic Universe (MCU) terbaru, Thor: Love and Thunder. Dalam film yang rilis pada 6 Juli 2022 ini, mengambil kisah pasca Endgame dan membuat Thor Odinson (Chris Hemsworth) kehilangan tujuan hidup.

Dengan gaya penceritaan yang menggunakan sudut pandang orang ketiga, film besutan sutradara Taika Waititi (Thor: Ragnarok, Jojo Rabbit) ini sangat menyenangkan untuk ditonton. Dibandingkan film MCU sebelumnya, Doctor Strange in the Multiverse of Madness yang lebih menampilkan suasana gelap dan depresif, Thor: Love and Thunder dibuat lebih ringan dan penuh warna.

Bagaimana review Popbela untuk film ini? Simak selengkapnya.

‘Thor: Love and Thunder’ Review: Perjalanan Sang Dewa Menemukan Cinta

Review ini akan saya buka dengan sedikit memaparkan sinopsis dari sekuel Thor: Ragnarok tersebut. Thor: Love and Thunder mengisahkan tentang Thor Odinson yang kini lebih menikmati waktunya dengan bermeditasi dan sesekali ikut berperang jika geng Guardian of the Galaxy meminta bantuannya.

Sampai pada akhirnya, muncul Gorr the God Butcher (Christian Bale) yang menghabisi satu demi satu para dewa dengan Necrosword karena rasa sakit hatinya di masa lalu. Sadar bahwa ia menjadi target Gorr the God Butcher berikutnya, Thor kemudian meminta bantuan Valkyrie (Tessa Thompson) untuk melawan Gorr the God Butcher.

Masalah bertambah runyam saat Gorr the God Butcher menculik anak-anak Asgard dan membawa mereka ke dunia bayangan. Di saat yang sama, Jane Foster (Natalie Portman) muncul kembali. Kehadirannya membuat Thor terkejut karena ia berpenampilan seperti dirinya dan Mjolnir ada di tangannya. Mampukah mereka menghentikan Gorr the God Butcher?

Tak seperti Doctor Strange in the Multiverse of Madness yang mengajakmu masuk ke dunia mencekam dengan banyak jumpscare, Taika membuat Thor: Love and Thunder menjadi lebih menyenangkan dan penuh warna. Kehidupan Asgard yang damai dan berjalan normal layaknya desa wisata, membuat kita turut tertawa dan mengenang kembali film-film MCU lainnya yang telah lebih dulu rilis.

Dalam film ini, Taika yang juga menulis naskahnya, ingin menyampaikan kepada penonton bahwa Dewa pun memiliki sisi humanis yang tak jauh berbeda dengan manusia biasa. Bedanya, mereka memiliki keberanian yang sedikit lebih banyak dibandingkan dengan manusia normal, setidaknya itu yang disampaikan oleh Thor pada salah satu dialognya. Dengan penggambaran ini, penonton pun merasa lebih dekat dengan tokoh Thor.

Kehadiran tokoh The Mighty Thor dalam film ini bukan hanya menjadi pelengkap cerita. Ia memiliki peran penting sepanjang film berdurasi 119 menit itu. Bahkan karena ia pula, Mjolnir yang hancur, dapat kembali utuh karena satu alasan tertentu. Namun, sepertinya, film ini akan menjadi film terakhirnya bersama MCU. Sebab, tokoh Jane Foster dibuat mati. 

Sebelum film ini rilis, rumor bahwa Natalie Portman akan meninggalkan MCU berhembus begitu kencang. Kisah Jane Foster yang berakhir cukup tragis di film ini seolah menjawab rasa penasaran penonton tentang rumor tersebut. Namun, sepertinya Marvel nggak akan memberikan informasi dengan jelas begitu saja. Pada after credit, Jane Foster muncul kembali, namun dengan penampilan yang berbeda. Jadi, sebenarnya ia akan muncul lagi dalam film selanjutnya atau nggak, nih? Menurutmu bagaimana?

Satu hal yang menarik perhatian saya dalam film MCU akhir-akhir ini adalah Marvel seolah ingin dianggap sebagai rumah produksi yang menggandeng semua kalangan dan lapisan masyarakat. Itu sebabnya, dalam film dan serial terakhirnya, MCU merilis superhero Muslim, Asia, dan LGBTQ+. Beberapa memang cocok dan seru untuk diangkat menjadi kisah film atau serial. Namun, tak sedikit pula yang terlihat dipaksakan. 

Untuk film Thor: Love and Thunder, penggambaran orientasi LGBTQ+ tergambar dengan lebih jelas dibandingkan dengan film MCU sebelumnya. Ada tokoh transgender anak-anak, serta orientasi penyuka sesama jenis. Film ini dan adegan tersebut cukup beruntung bisa lolos sensor tayang di Indonesia. 

Padahal, film animasi Lightyear justru terpaksa tidak bisa tayang karena menghadirkan adegan dan tokoh yang serupa. Hal ini bisa dimaklumi dengan rating umur 13+ untuk Thor: Love and Thunder. Sementara Lightyear memaksakan ingin rating SU dan memilih tidak tayang sama sekali karena adegan/dialog yang mengarah ke LGBTQ+ tersebut.

Terlepas dari isu tersebut, saya angkat topi untuk Michael Giacchino sang music director. Ia memilihkan lagu-lagu rock populer yang tak hanya menghidupkan setiap adegan dalam film, tapi juga membuat penonton ikut sing along, atau minimal menggoyangkan kaki tanda menikmati musik.

Beberapa lagu yang dihadirkan dalam film ini adalah "Sweet Child o' Mine" dan "November Rain" dari Guns N' Roses, serta "Rainbow in the Dark" dari Dio. Lagu-lagu yang cukup familiar, bukan?

Secara keseluruhan, film ini sangat menyenangkan untuk ditonton. Saya sendiri memberi rating 4/5 untuk film ini. Alasannya, film ini cukup menghibur, ringan, dan menghadirkan gelak tawa tanpa jokes yang berlebihan. Jika kamu tidak mengikuti film Thor sebelumnya, tenang saja, film ini masih bisa diikuti dengan baik tanpa membuatmu roaming.

  • Share Artikel

TOPIC

trending

Trending

This week's horoscope

horoscopes

... read more

See more horoscopes here