Orang-orang berkata, aku adalah sosok yang diinginkan banyak hati. Jiwa dengan tangan emas yang menyulap harapan menjadi nyata. Yang setiap langkahnya membuat dunia seakan berbunga.
Namun di tengah pujian yang riuh, aku berdiri diam. Menatap sunyi bayanganku sendiri, berbisik ‘Apa sebenarnya yang aku inginkan?’
Tahun-tahun berlalu, aku hidup bukan sebagai pemilik mimpi, tapi sebagai wadah mimpi-mimpi orang lain. ‘Kamu bisa melakukan segalanya’, kata mereka. Tapi, pernahkah aku menginginkan semua itu?
Haruskah aku merasa beruntung, diberkati oleh takdir yang tampak murah hati? Atau sebenarnya aku hanya tersesat, terseret dalam arus harapan orang lain. Aku yang selalu berusaha terlihat pasti, padahal rapuh dalam sunyi.
Dan saat aku hendak menyerah, kau datang. Seperti fajar, seperti malam. Seperti fajar setelah malam panjang tanpa bintang.
Kehadiranmu tak mengubah dunia, tapi mengubah caraku melihatnya. Untuk pertama kalinya, pertanyaan itu tak lagi menggema hampa. Tak lagi menyayatku dalam diam.
Karena dalam dirimu, aku tak hanya menemukan cinta, aku menemukan diriku. Dan jawaban yang selama ini ku cari, ternyata selalu menunggu di matamu.
'Retak, Luruh, Kembali Utuh', Perjalanan Prilly Latuconsina Temukan Diri

- Buku "Retak, Luruh, Kembali Utuh" adalah curahan hati Prilly Latuconsina tentang fase retak, luruh, dan kembali utuh dalam hidupnya.
- Prilly merasakan burnout dan kehilangan nilai diri, namun menemukan kembali jati dirinya melalui perjalanan dan pengalaman pribadi.
- Buku ini juga berisi puisi-puisi yang ditujukan untuk Omara Esteghlal serta menjadi akhir fase usia 20-an Prilly.
Prilly Latuconsina kembali menjadi penulis dengan menerbitkan buku berjudul Retak, Luruh, Kembali Utuh. Buku tersebut menjadi curahan hatinya yang sempat merasakan burnout hingga akhirnya kembali bangkit dan menemukan jati dirinya hingga di titik yang sekarang. Buku tersebut juga menjadi cerita perjalanan Prilly Latuconsina yang akhirnya menemukan seseorang yang menjadi sandarannya.
Dalam bincang-bincang eksklusif bersama Popbela, artis berusia 29 tahun ini mengaku menulis dan merancang visual buku tersebut secara mandiri. Terdiri dari tiga fase, Retak, Luruh, Kembali Utuh diakui dikerjakan selama kurang lebih 3 tahun lamanya karena ia sempat mengalami writer’s block. Berikut fakta-fakta seru tentang buku terbaru Prilly Latuconsina berjudul Retak, Luruh, Kembali Utuh yang jadi bagian dari perjalanan hidupnya sekaligus kisah cintanya dengan Omara Esteghlal.
1. Sangat personal tentang cerita dirinya dan orang di sekitarnya

Berbicara tentang makna dari buku terbarunya itu, Prilly menyebutkan kalau ada tiga fase yang diceritakan. Ketiga fase tersebut sangat personal baginya karena ia pernah berada di semua tahap kehidupan tersebut. Salah satunya di fase retak kala Prilly merasa tak ada orang-orang di sekitarnya yang mengerti dirinya.
“Nah, sebenarnya sesuai dengan judulnya ya Retak, Luruh, Kembali Utuh, jadi di buku ini tuh ada 3 fase. Fase retak, fase luruh, dan fase kembali utuh dan memang 3 fase ini jujur sangat dekat dengan hidup aku. Kalau misalnya kita mau bahas personal, tentu ada inspirasi dari kisah-kisah teman-temanku yang memang mencurahkan fase-fase mereka ke aku, tapi ada juga fase-fase hidupku,” kata artis multitalenta itu.
2. Ceritakan pernah merasa burnout dan tak cukup

Menjadi artis bukan berarti harus sempurna. Mereka semua sama-sama manusia yang bisa merasa lelah atau burnout, serta tak ada yang memihak padanya. Hal ini juga yang dialami Prilly Latuconsina. Ia mencurahkan semua perasaannya itu dalam bab Retak. Saat menulisnya dan membacanya kembali, ia menyadari betapa gelapnya tulisan ia saat itu karena sedang berada di titik yang rendah.
“Orang kan melihatnya di sosial media, karena aku kerjanya sebagai public figure, kayaknya hidupnya enak banget nggak mungkin pernah burnout, nggak mungkin pernah merasakan patah hati. Patah hati itu bisa dari apa pun ya, bukan dari pasangan doang. Patah hati karena mungkin merasa nggak didengar, nggak merasa cukup gitu. Nah, itu fase yang aku rasain banget, fase di mana aku merasa nggak bisa, nggak cukup buat orang-orang terdekatku. Ketemu sama orang yang salah yang mana orang-orang tersebut tidak melihat value yang aku punya dan akhirnya malah membuat aku semakin jatuh lagi,” ceritanya.
Ada sebuah puisi yang ia tulis berdasarkan kisah nyata yang ia alami dan sangat membekas di hatinya. Kala itu, ada orang yang pernah menyebutnya kain pel lusuh karena energinya sudah habis setelah bekerja, sehingga tak bisa menampung cerita-cerita dari orang-orang yang ia sayang. Di saat menulis fase retak ia mencurahkan pengalamannya yang mengalami toxic friendship dan toxic relationship hingga membuatnya jadi tidak percaya diri.
“Kalau misalnya dilihat puisi pertama yang ada di fase retak, ada bunyinya adalah ‘Dia bilang aku ibarat kain pel yang lusuh’ dan itu kisah nyata ada orang yang pernah bilang itu ke aku. Kenapa aku pernah dibilang kayak gitu karena orang tersebut merasa aku itu energinya selalu habis. Karena aku bekerja di banyak bidang, terus juga dari pagi ke pagi sehingga ketika aku bertemu dengan orang-orang yang aku peduli atau orang-orang yang aku sayang, energi aku tuh udah habis. ‘Gelasnya’ sudah penuh untuk menampung cerita mereka atau memberikan waktu yang maksimal untuk mereka. Aku kayak nggak ada di situlah karena energi aku sudah habis.
Nah, sebenarnya kalimat itu sangat kena di aku dan cukup lama tuh lukanya ada di hati aku. Aku merasa kenapa posisi aku sebagai public figure atau posisi aku yang mungkin dilihat orang hidupnya lebih enak daripada yang lain, jadinya kayak nggak boleh merasa capek, nggak boleh ngeluh karena kalau aku capek atau ngeluh aku akan dianggap nggak bersyukur. Padahal aku kan sebagai manusia biasa bisa dong minta ke mereka ‘aku juga butuh energi dari kamu, aku juga butuh didengar, aku juga butuh dikasih solusi, bukannya cuma sebagai orang yang kasih solusi atau mendengarkan aja. Nah, di fase-fase retak itu, toxic friendship, relationship, merasa jadinya nggak cukup percaya dirinya,” jelas sang artis.
3. Mulai menyadarkan diri di fase Luruh

Masuk ke fase dan bab yang kedua, yaitu Luruh, diakui oleh Prilly menjadi sebuah fase yang sulit, karena ia harus menyadarkan diri untuk tak boleh lama-lama di fase retak. Ia juga mengakui bahwa fase ini tidak segampang yang dibicarakan, ada banyak pertikaian dalam diri sendiri, pertanyaan-pertanyaan tentang pantas atau tidak dirinya berada di titik tersebut. Sampai akhirnya ia mencoba banyak hal baru dan bepergian yang membuatnya menemukan kembali dirinya.
“Lalu ke fase luruh, fase yang lumayan sulit karena aku berusaha menyadarkan diri bahwa aku nggak bisa terus-terusan ada di fase itu (retak) dan aku nggak bisa terus-terusan merasa nggak cukup, kehilangan value hanya karena orang-orang lain tuh nggak melihat value aku. Sampai akhirnya aku banyak lah melihat cerita-cerita orang.
Kayak aku melihat cerita ada orang yang punya jam, collector items, bawa jamnya ke toko jam biasa itu dihargai berapa dolar doang, tapi ketika dibawa ke toko barang antik itu dihargai miliaran. Jadi, sebenarnya bukan berarti kita nggak punya value, tapi kita ada di tempat yang salah aja. Nah, di fase luruh itu aku mencoba untuk memberi makan diriku sendiri kayak ‘bisa kok aku mungkin ada di tempat yang salah, aku sudah cukup’. Cukupnya orang itu beda-beda, jadi kita nggak harus memenuhi ekspektasi orang lain,” ujar Prilly.
“Di fase luruh itu aku banyak berdiskusi sama diri aku sendiri, sebenarnya apa sih yang aku mau, ekspektasi diriku tuh apa yang tidak dicampuri oleh ekspektasi orang lain. Nah, disitulah aku mencoba meluruhkan kesedihan-kesedihan atau rasa-rasa nggak cukup dan juga meninggalkan tempat-tempat yang nggak baik buat aku, pertemanan, pekerjaan maupun orang yang mungkin lagi dekat pada saat itu. Karena aku merasa ya kalau orang tersebut nggak bisa melihat value yang ada di diri aku dan tidak bisa membuat aku bertumbuh, buat apa gitu?” lanjutnya.
4. Menemukan makna baru di Kembali Utuh

Prilly menemukan dirinya berada di fase kembali utuh saat ia bepergian dan traveling. Banyak melihat hal baru dan berinteraksi dengan orang baru membuatnya menemukan dirinya kembali. Bukan menjadi seseorang yang baru, tapi bagaimana ia akhirnya menemukan makna baru untuk dirinya sendiri.
“Akhirnya transisi lah ke fase kembali utuh. Ini bukan fase di mana aku tiba-tiba menjadi diriku yang baru, tapi di mana aku akhirnya menemukan makna baru untuk diriku sendiri,” kata Prilly.
Ia juga berbagi kalau fase tersebut juga terinspirasi dari buku-buku yang ia baca, termasuk buku The Myth of Sisyphus dari Albert Camus. Dari bukunya, ia belajar kalau penderitaan atau perjuangan yang dihadapi itu bisa menemukan makna baru dan menjadi dorongan untuk terus bergerak.
“Sebenarnya fase kembali utuh tuh juga terinspirasi dari buku-buku yang aku baca pada saat itu. Waktu itu aku dikasih buku judulnya The Myth of Sisyphus dari Albert Camus. Bukunya berat banget sebenarnya karena buku filsafat, tapi pas kita baca dan buku itu bisa kita maknai sesuai dengan pemaknaan diri kita. Nah, aku melihat kayak penderitaan atau perjuangan yang aku hadapi, itu adalah proses untuk aku menemukan makna baru dan siapa tau itu adalah alasan untuk aku terus bergerak.
Jadi, kembali utuh adalah di mana aku menerima semua proses yang nggak enak, semua proses yang sulit untuk aku menemukan makna baru dan aku terus bergerak. Kembali utuh itu kita nggak harus menemukan jawaban apa sih yang kita mau karena sampai kapan pun kita nggak pernah menemukan jawaban yang absolut. Tapi, yang paling penting kita punya makna dan punya tujuan untuk kita menjalani hidup hari per hari aja dulu,” ungkapnya.
5. Puisi untuk Omara Esteghlal

Fakta menarik lainnya tentang buku terbaru Prilly tersebut adalah ada peran penting Omara Esteghlal. Ialah yang memberikan Prilly buku The Myth of Sisyphus yang akhirnya membuat Prilly menemukan makna hidupnya. Bahkan banyak puisi-puisi di dalamnya yang ditulis untuk sang kekasih.
“Kebetulan buku The Myth of Sisyphus itu dikasih sama Omara pas aku masih temenan sama dia. Jadi, aku lagi curhat sama dia tentang hidupku dan itu pertama kalinya kita ketemu setelah kita nggak ketemu-ketemu. Dia kaget melihat Perubahan fisikku karena di fase retak dan luruh itu aku drastis turun berat badannya.
Nah, dia tuh kaget melihat perubahan fisik aku dan akhirnya kayak mencoba (bertanya) aku kenapa sih? Aku tuh lagi kenapa? Akhirnya dia kasih lah tuh si buku The Myth of Sisyphus untuk aku baca. Terus akhirnya kita curah-curahkan bareng sampai akhirnya long story short dia jadi pacar aku,” cerita Prilly dengan penuh senyuman.
Tak hanya membawa inspirasi untuk menulis buku, Prilly juga mengatakan kalau Omara adalah pundak untuknya. Ia bahkan membuat visual untuk bukunya sendiri dan ada gambar bunga sebagai simbol kehadiran Omara yang memberinya sebuah keindahan untuk bangkit.
“Dan aku merasa proses kembali utuh ini ada andilnya dia lah. Pertama sebagai teman dia kasih aku buku yang membuat aku jadi punya makna baru soal hidup. Kedua dia menjadi pundakku untuk bersandar yang di mana aku merasa akulah yang selalu menjadi pundak selama ini. Kayak sekarang aku punya pundak untuk bersandar gitu. Makanya di kembali utuh ini banyak banget puisi-puisi yang memang untuk dia, sebenarnya semuanya sih.
Kembali utuh ini kayak perjalanan aku akhirnya ditemukan oleh dia, walaupun awalnya dari teman dulu, tapi habis itu dia jadi pasanganku sampai hari ini. Dan ada juga surat-surat asli yang sebenarnya aku kirimkan ke dia dan aku taruh di bab terakhir. Jadi, ya proses perjalanan hidupkulah,” tambah bintang film Budi Pekerti itu.
6. Karya tulis terakhir di usia 20-an

Buku Retak, Luruh, Kembali Utuh menjadi karya tulis yang berharga untuk Prilly. Proses pembuatannya memakan waktu sekitar 3 tahun lamanya. Bintang Ketika Berhenti Di Sini itu juga menyebut kalau bukunya tampak menjadi sebuah akhir fase usia 20-an dan mengawali tahun ke fase yang berikutnya.
“Tahun ini aku 29 tahun, tahun depan aku 30 dan aku memaknainya 29 tahun tuh kayak aku mengakhiri fase 20-an ku yang di mana fase 20-an ku itu banyak banget fase retak, banyak banget fase luruh, terus retak lagi terus luruh lagi. Baru kembali utuh di akhir 20-an. Jadi, aku merasa ini sebagai akhir dari fase 20-an ku, tapi juga aku mengawali tahun 2026 dan fase aku berikutnya,” ujarnya.
7. Puisi sebagai ungkapan hati

Dari sekian banyak jenis tulisan, Prilly memilih bentuk puisi untuk mencurahkan isi hatinya. Mulai dari pengalaman hidup, perkataan dari orang di sekitar, sampai komentar netizen, semua tertulis dengan metafora indah oleh Prilly yang bisa dimaknai sendiri oleh para pembacanya.
Ia mengaku tak bisa mengutarakan perasaannya secara bulat kepada orang lain dan lebih terbiasa menyembunyikan apa yang ia rasakan karena merasa tak percaya, takut dihakimi, hingga mendapat respons yang membandingkan kehidupan dengan materi. Untuk itulah, ia menulis sebuah puisi di mana dirinya bisa menuangkan perasaannya, tapi juga menyembunyikannya.
“Kenapa jadinya puisi? Karena aku merasa di puisi itu aku bisa mencurahkan semua perasaanku, tapi aku juga bisa menyembunyikan perasaannya. Jadi, pembaca akan merasa aku merasakan apa, tapi nggak sepenuhnya tahu ceritanya itu apa. Disembunyikannya lewat sajak-sajak puisi, tapi sebenarnya itu aku mencurahkan Isi hatiku,” ungkap Prilly.
8. Sampaikan pesan dari bukunya

Setelah menulis bukunya, Prilly Latuconsina mendapat banyak pesan, salah satunya adalah merasa kalau hidup itu nggak harus selalu dihadapi dengan berlari. Terkadang, ada banyak hal atau kesempatan berharga yang terlewat karena kamu terus berlari, mengejar sesuatu yang akhirnya pun tak bisa membuatmu bahagia atau cukup.
“Aku merasa hidup tuh nggak harus tiap hari berlari. Kayak waktu aku di fase retak, luruh, tuh aku tuh merasanya aku lari terus. Aku ingin cepat-cepat mencari makna hidup aku, aku pengen cepat-cepat merasa cukup.
Jadi, aku merasa ada baiknya kita tuh juga berjalan, melihat sekeliling, karena ketika kita berlari kan kita melihat sekeliling itu buru-buru. Mungkin kita banyak kehilangan sesuatu di saat kita buru-buru, ingin mencapai sesuatu atau berlari terus, mengejar sesuatu terus yang juga dasarnya karena ekspektasi orang lain atau omongan orang lain. Jadi, di fase kembali itu tuh aku lebih menjalani hari itu dengan berjalan. It's okay untuk menghadapi uncertainty, sekarang tuh aku sangat menikmati uncertainty yang aku punya gitu. Siapa tau ketidakpastian itu bisa memberikan kita kejutan dan membawa kita ke pintu-pintu kesempatan yang lain,” kata sang penulis.
Melalui bukunya juga, ia ingin menyampaikan kepada para pembacanya bahwa di saat mereka merasa dunia itu hancur, retak atau kehilangan identitas sendiri, kehilangan dirinya sendiri, mereka tak sendiri. Ia juga pernah ada di fase itu dan bukan berarti itu adalah akhir dari segalanya. Justru, fase retak menjadi awal untuk menjadi sosok yang lebih kuat.
“Aku tuh ingin menyampaikan ke mereka bahwa di saat mereka merasa dunia mereka tuh sudah hancur, mereka sudah retak, kehilangan identitas sendiri, kehilangan dirinya sendiri. Aku cuma mau mereka merasa bahwa mereka tuh nggak sendiri. Ada orang nih contohnya ada yang dianggap selalu baik sama semua orang, tapi pernah merasakan kehilangan dirinya sendiri.
Dan bukan berarti fase itu adalah akhir dari segalanya gitu.Itu hanya fase awal untuk kita benar-benar bisa menjadi sosok yang lebih kuat, sosok yang lebih tahan banting dan sosok yang lebih bisa berdamai sama penderitaan, perjuangan yang nggak enak gitu. Dan nanti ada momennya ketika kamu sudah bisa yakin sama diri sendiri. sudah bisa menemukan sendiri, itu semua akan luruh. Luka-luka itu akan pelan-pelan sembuh gitu. Walaupun, waktunya nggak bisa ditentukan dan bisa jadi lama,” pesan Prilly.
“Dan harapannya kedepannya pembaca, kalau misalnya belum ada di kembali utuh, akan ada di fase kembali utuhnya lagi. Atau mungkin buku ini bisa menjadi inspirasi untuk mereka kembali utuh, seperti bagaimana buku yang Omara kasih bisa membantu aku memaknai hidupku. Jadi, semoga pembaca yang membaca buku ini bisa juga kembali memaknai hidupnya. Bertanya dan berdiskusi ke diri sendiri apa yang mereka mau dan akhirnya kembali utuh. Menjadi sosok yang memang akhirnya bisa mempunyai makna yang selama ini nggak pernah mereka temukan sebelumnya gitu,” harapnya.
9. Kutipan favorit Prilly

Dari 40 puisi yang ada di bukunya, ada satu kutipan favorit Prilly yang ia bocorkan secara khusus kepada Popbela dalam sebuah wawancara pada Jumat (12-12-2025) kemarin di IDN HQ, Jakarta. Puisi tersebut berisi dua halaman tepatnya dimulai dari halaman 179.
Itulah fakta-fakta menarik buku Prilly Latuconsina yang berjudul Retak, Luruh, Kembali Utuh.


















