Idealnya, hubungan suami dan istri terjalin dengan rasa kasih sayang dan empati timbal balik. Hubungan mesra mereka seharusnya tidak tergantung dengan uang. Sebab, harga keutuhan rumah tangga tak bisa dinilai dengan uang. Kerjasama dan saling mendukung harus terjalin untuk menjaga keharmonisan antara suami istri.
Jika suami berkecukupan, seharusnya ia tidak mengambil uang istri. Begitu juga sebaliknya, istri yang berpenghasilan sementara suaminya sedang sulit dalam ekonomi, tak ada salahnya memberikan bantuan untuk menopang kehidupan keluarga dengan jiwa yang ikhlas dan rida. Memberikan uang untuk membantu keluarga seperti ini bahkan akan mendapat dua pahala sekaligus. Seperti dalam hadis nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dari Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu anhu, diriwayatkan bahwa Zainab istri Ibnu Mas’ud pernah mendatangi Rasulullah dan berkata, ‘Wahai, Nabi Allah. Hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku mempunyai perhiasan dan ingin bersedekah. Namun, Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku,’ Nabi bersabda, ‘Ibnu Mas’ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu.” (HR. Bukhari)
Dalam lafaz lain, Rasulullah menambahkan,
نَعَمْ، لَهَا أَجْرَانِ، أَجْرُ القَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ
“Ya, benar. Dia mendapat dua pahala: pahala menjaga hubungan kekerabatan dan pahala bersedekah.” (HR. Bukhari)
Nah, sekarang sudah tahu kan hukum suami meminta uang hasil kerja istri? Kesimpulannya, harta yang dimiliki istri sepenuhnya merupakan hak istri. Seorang istri tidak bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga, tapi jika ia ingin membantu suami dalam ekonomi, itu akan dicatatkan sebagai pahala sedekah untuk sang istri. Suami boleh meminta harta istri jika sang istri telah memberikan rida.