Tradisi peresean terinspirasi dari cerita rakyat legendaris di Nusa Tenggara Barat, yaitu legenda Putri Mandalika. Legenda ini mengisahkan pengorbanan Putri Mandalika yang memilih mengorbankan dirinya demi menghindari pertempuran dan penderitaan rakyat akibat belasan pangeran yang ingin meminangnya dengan cara berperang.
Berdasarkan sejarah tersebut, tradisi peresean konon diselenggarakan sebagai ajang tarung adat atau media pengujian bagi para pria yang beranjak dewasa. Mereka diberi bekal oleh tokoh agama atau orang tua dengan berbagai amalan batin yang dipadukan ilmu bela diri.
Dalam rangka menguji amalan tersebut, tarung peresean pun diadakan dengan disaksikan secara langsung oleh para tetua adat. Permainan ini baru berakhir ketika salah satu pemain mengeluarkan darah dan dianggap kalah dalam pertarungan.
Namun, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa tradisi peresean dahulunya digunakan sebagai ritual untuk meminta hujan ketika terjadi kemarau panjang. Dari situlah, tradisi ini diselenggarakan oleh masyarakat suku Sasak di tengah sawah atau tempat terbuka.
Seiring berjalannya waktu, pemahaman tentang tradisi peresean berkembang, dan fungsinya meluas sebagai sarana penyambutan tamu atau wisatawan yang mengunjungi Pulau Lombok.