laststandonzombieisland.com
Bukan hanya pelaut pribumi saja yang menentang pengurangan gaji, para pelaut dari Belanda pun tidak menyetujui kebijakan tersebut. Puncak pemberontakan dimulai pada 4 Februari 1993 pukul 22.00 WIB.
Dipimpin oleh Paridja dan Gosal dari pihak pribumi dan Maud Boshart dari pihak Belanda, kapal Tujuh Provinsi berhasil dibawa berlayar menuju Surabaya. De Zeven Provincien atau kapal Tujuh Provinsi, merupakan kapal perang terbesar milik pemerintah Hindia Belanda yang difungsikan sebagai tempat karantina para marinir.
Peristiwa pemberontakan ini tersiar luas berkat pers asing yang memberitakannya dengan tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris dan Melayu. Peristiwa ini tercatat sebagai pemberontakan anti kolonial pertama di kalangan pelaut Indonesia.
Dalam perjalanannya sebelum mencapai Selat Malaka, kapal Tujuh Provinsi sudah mengalami banyak halangan dari pemerintah Hindia Belanda. Kapal dikepung oleh berbagai pesawat tempur serta kapal selam yang sudah siap dengan persenjataannya.
Peringatan sudah diberikan, namun para pemberontak memilih untuk mengabaikannya. Akhirnya, salah satu pesawat mengeluarkan bom yang jatuh tepat ke arah kapal yang dikemudikan Kawilarang. Akibat serangan tersebut, banyak awak kapal yang meregang nyawa, termasuk pimpinan mereka Paridja.
Setelah Paridja dinyatakan meninggal, Kawilarang mengambil alih kepemimpinan. Melihat banyak korban yang bergelimpangan, Kawilarang akhirnya menyatakan menyerah dan meminta bantuan medis segera.