Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popbela lainnya di IDN App
Claresta Taufan 1.jpg
Instagram.com/clarestaufan

Intinya sih...

  • Claresta Taufan menyelami peran Sartika dalam film Pangku sebagai tantangan besar yang membutuhkan pemahaman mendalam tentang ketahanan manusia.

  • Proses persiapan menjadi pondasi terpenting bagi Claresta, termasuk turun langsung ke Pantura untuk merasakan ritme hidup perempuan di pesisir.

  • Akting Claresta tidak menuntut simpati, tetapi mengajak penonton merasakan kehidupan tanpa keluhan dan kesabaran yang tidak bersuara, serta chemistry bersama Christine Hakim menjadi inti emosional film ini.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Ada peran yang menempel di tubuh aktornya seperti bayangan, halus tapi tidak pernah benar-benar lepas. Bagi Claresta Taufan, Sartika dalam film Pangku adalah salah satunya. Ia bukan sekadar karakter untuk diperankan, melainkan sosok yang harus dihirup, dipelajari, dan dipahami dari dalam.

Dalam debut penyutradaraan Reza Rahadian, Pangku membawa kisah perempuan pesisir yang bertahan hidup dalam keterbatasan ekonomi dan sosial, tanpa waktu untuk mengeluh, apalagi patah. Dan di sanalah Claresta menemukan sesuatu yang lebih besar dari proses keaktoran: pemahaman tentang ketahanan manusia yang sunyi dan penuh martabat.

Menyelami luka dan keteguhan Sartika

Instagram.com/clarestaufan

Bagi Claresta, tantangan terbesar bukan hanya memerankan perempuan hamil besar, tetapi menjejak kehidupan yang sudah terlalu penuh beban sebelum cerita film dimulai. "Tantangan terbesar untuk menjalani karakter Sartika buat aku pribadi tidak mudah," ungkapnya.

Sartika membawa sejarah emosional yang kompleks: pengalaman kehilangan, tekanan ekonomi, dan rasa tanggung jawab sebagai ibu tunggal yang harus melindungi anaknya dari kerasnya dunia. Semua itu harus ia tampilkan tanpa dialog berat, melainkan lewat cara ia berjalan, diam, atau sekadar menatap.

"Sartika itu punya past life yang cukup berat, punya pengalaman yang banyak sekali, dan juga punya beban kehidupan yang banyak sekali," lanjut Claresta. Peran ini mengharuskan tubuh dan emosi berjalan beriringan, tanpa berlebihan. Untuk itu, proses persiapan menjadi pondasi terpenting. Ia banyak berdiskusi dengan Reza dan pemain lain, berusaha memahami bukan hanya apa yang Sartika lakukan, tetapi kenapa ia melakukannya.

"Dengan persiapan yang matang, dengan banyak diskusi dengan Kak Reza, cast, dan tim yang lain, bisa terjalani," katanya. Persiapan itu menjadi jembatan antara Claresta sebagai aktor dan Sartika sebagai manusia yang pernah ada di suatu sudut Pantura atau mungkin, ada dalam diri perempuan di manapun.

Turun langsung ke Pantura untuk melihat keadaan yang sebenarnya

Instagram.com/clarestaufan

Untuk memahami latar emosional dan budaya karakter ini, Claresta tidak hanya membaca atau membayangkan. Ia turun langsung ke Pantura. "Aku ikut recce ke Pantura sama Ibu Christine Hakim," ceritanya.

Di sana, ia tidak datang untuk mengamati sebagai orang luar. Ia datang untuk bercakap, mendengar, dan merasakan ritme hidup perempuan di pesisir, yang bekerja di warung, menyanyi untuk tamu, atau menjadi gadis pangku.

"Aku banyak ngobrol sama gadis pangku, sama yang menyanyi karaoke, sama ibu warung," katanya. Melalui percakapan-percakapan itu, Claresta menyadari satu hal yang membedakan Sartika dan perempuan-perempuan Pantura dari banyak orang: mereka berjalan dalam hidup tanpa keluhan. "Mereka itu sangat gigih, nggak mudah putus asa," ujarnya. Hidup mereka bukan tentang merancang masa depan, tetapi menjaga agar hari ini tetap bisa dijalani.

"Daripada nyalahin orang lain, mereka lebih fokus aja hari ini dan besok gimana," lanjutnya. Pelajaran itu menghantam lembut ke dalam kesadaran Claresta. Bahwa kekuatan bukan selalu keras atau gagah, tapi kadang kekuatan adalah kesabaran yang tidak bersuara.

Keteguhan tanpa air mata: akting yang tidak menuntut simpati

Instagram.com/filmpangku

Salah satu tantangan terbesar adalah menampilkan emosi yang tidak eksplosif. Sartika adalah perempuan yang tidak punya ruang untuk menangis. Air mata bukan pilihan karena hidup harus tetap berjalan meski tubuh dan hati lelah. Ketika ditanya bagaimana ia menerjemahkan rasa itu ke dalam keaktoran, Claresta tersenyum dan berkata, "tonton saja, kalau aku beritahu nanti nggak surprise lagi."

Jawaban itu sederhana, tapi justru mengandung kedalaman. Ia tidak ingin menjelaskan karena ia ingin penonton merasakan, bukan sekadar mendengar. Akting Claresta tidak dibuat untuk membuat penonton kasihan, tetapi untuk membawa penonton diam sejenak, menyadari bahwa banyak orang hidup seperti itu setiap hari. Yang paling menyentuh justru bagaimana ia menahan, bukan melepas. Kesunyian bisa lebih lantang daripada jeritan.

Pengalaman dan chemistry bersama Christine Hakim

Chemistry antara Claresta dan Christine Hakim menjadi inti emosional film ini. Bukan karena teknik akting, tetapi karena keintiman yang tumbuh alami selama proses syuting. "Bu Christine tuh lovely banget. Sayang banget sama Bu Christine," ujar Claresta, matanya berbinar saat mengingatnya.

Sejak reading, recce, hingga syuting, hubungan mereka dibangun bukan sebagai pemain senior dan junior, tetapi sebagai dua manusia yang saling menjaga. "Aku banyak belajar dari ibu, bukan cuma soal akting, tapi soal kehidupan," katanya. Ada satu momen yang ia ingat paling jelas: saat ia tertidur di pangkuan Bu Christine saat istirahat makan siang. Tidak ada dialog besar. Hanya kehangatan.

Di Pantura, kulit mereka harus menggelap karena tuntutan karakter. "Aku sama ibu suka berjemur berdua di set sambil nunggu take," kenangnya, sambil tertawa pelan. Adegan realistis di layar lahir dari kedekatan yang nyata di luar kamera.

Sartika mengubah cara Claresta melihat dunia

Instagram.com/clarestaufan

Sartika meninggalkan jejak dalam diri Claresta. Ia mengubah cara Claresta menatap perempuan, ibu, dan manusia pada umumnya. "Semakin bersyukur, semakin ngerti juga soal perjuangan ibu, perempuan, dan juga orang-orang," katanya. Kisah ini memang mengambil latar Pantura, tetapi pesan yang diusungnya universal.

"Everyone has their own battle, everyone has their own hustle. Kita nggak pernah tau," lanjutnya. Dari situlah Pangku mengajarkan satu hal: kita tidak pernah tahu apa yang sedang ditanggung orang lain, maka yang paling manusiawi adalah tetap lembut kepada siapa pun.

Ada banyak Sartika di sekitar kita. Mereka mungkin sedang lewat di sebelah kita, tersenyum, tertawa, terlihat baik-baik saja, padahal mereka sedang belajar bertahan hari demi hari. Dan tugas kita hanyalah tidak menutup mata dan tak menghakimi.

Editorial Team