Masing-masing orang memiliki definisi yang berbeda tentang cinta, memiliki pandangan yang berbeda mengenai cinta, memiliki cara yang beragam dalam memberi dan menerima cinta, serta memiliki sikap yang berbeda saat sedang jatuh cinta. Meski begitu, para peneliti yang berfokus melakukan pengamatan tentang cinta dan perilaku manusia terhadapnya menemukan berbagai fakta menarik. Salah satu di antaranya adalah adanya perubahan yang terjadi pada otak laki-laki ketika mereka jatuh cinta pada seseorang.
Apa saja yang akan terjadi pada laki-laki ketika mereka sedang jatuh cinta? Melansir dari Bustle, selain menghasilkan senyawa dopamin yang memancarkan rasa bahagia pada otak, ini yang akan laki-laki rasakan maupun pikirkan.
Beberapa penelitian menunjukkan kalau laki-laki dalam hubungan jangka panjang akan merasakan penurunan libido dari waktu ke waktu. Namun itu nggak selalu karena hubungannya. Menurut Cyndi Darnell, seorang sex and relationship therapist mengatakan, "Faktornya cukup beragam, termasuk karena pikiran, perasaan, dan pengalaman yang dirasakan pribadi itu sendiri. Hal-hal ini cenderung memengaruhi chemistry otak."
Adapun penelitian yang dilakukan oleh University of Kentucky menemukan kalau laki-laki kehilangan ketertarikan ketika merasa insecure, ketika merasa kehilangan kekuasaan dalam hubungan, atau ketika merasa ada perubahan fisik yang menimbulkan rasa malu. Karena itu, ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan.
Ketika seseorang jatuh cinta pada pasangannya, ia akan merasa ketagihan dengan perasaan itu. Menurut penelitian, hal ini berlaku pada laki-laki dan perempuan. "Memikirkan seseorang yang kamu sayangi, terutama bagi yang berada dalam hubungan baru, mendorong aktivitas pada ventral tegmental area (VTA) dalam otak, yang menghasilkan aliran neurotransmitter dopamine ke bagian tengah otak, yaitu caudate nucleus dan nucleus accumbens. Ini memberikan seorang yang sedang jatuh cinta sensasi ketagihan, namun rasanya berbeda dengan orang yang menggunakan obat terlarang," ujar para ahli.
Penelitian mengungkapkan jika laki-laki heteroseksual cenderung jatuh cinta atau yakin mereka telah jatuh cinta, lebih cepat dari perempuan. Hasil pengamatan ini berbanding terbalik dengan yang selama ini diyakini dalam pandangan sosial kalau perempuan jatuh cinta lebih dahulu ketimbang laki-laki.
Selama ini dalam norma sosial, perempuan dianggap mudah mencinta dan laki-laki menghindari hal itu. Padahal kenyataannya, cinta dan hubungan yang berharga sama-sama penting bagi kedua gender.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian, cinta dapat membuatmu stres, baik laki-laki maupun perempuan. Ini karena ketika jatuh cinta, senyawa yang terhubung dengan sirkuit otak, menghasilkan berbagai macam reaksi fisik dan emosi. Mulai dari jantung yang berdebar nggak beraturan, telapak tangan yang berkeringat, pipi yang bersemu kemerahan, merasakan gairah serta cemas.
Tingkat kortisol, hormon stres, juga meningkat selama fase awal cinta yang romantis, membuat tubuh berhadapan dengan masa 'krisis'. Seiring meningkatnya level kortisol, level serotonin jadi menurun. Ini dapat menimbulkan perilaku obsesif-kompulsif yang berkaitan dengan kasmaran pada semua orang.
Meski merasa stres ketika jatuh cinta, ada rasa aman dan nyaman saat bersama pasangan. "Senyawa lain yang bekerja selama jatuh cinta adalah oksitosin dan vasopressin, hormon yang berperan dalam kehamilan, menyusui, dan hubungan ibu-anak," ujar seorang ahli bernama Scott Edwards.
"Kedua senyawa ini dihasilkan saat bercinta dan meningkat karena adanya kontak langsung pada kulit satu sama lain. Oksitosin memperdalam perasaan keterikatan dan membuat sepasang kekasih merasa lebih dekat satu sama lain setelah bercinta. Oksitosin ynag juga dikenal sebagai hormon cinta juga memicu perasaan puas, tenang, dan aman, yang sering berkaitan dengan ikatan pasangan."
Menjalin hubungan dapat menonaktifkan saraf yang bertugas menghasilkan emosi negatif, seperti ketakutan dan penilaian sosial. saraf otak yang terhubung dengan perasaan negatif akan 'mati' seketika ketika seseorang mulai jatuh cinta, dan ini berlaku pada kedua gender. Setelah menjalani hubungan selaam satu-dua tahun, rasa cinta yang awalnya berperan sebagai penyebab stres akan berubah menjadi penyangga melawan stres itu sendiri.
Ketika seseorang mengeluarkan berbagai usaha untuk menarik perhatian sosok yang ia sukai, boleh jadi disebabkan perubahan otak yang membuatnya merasa lebih nekat atau bahkan obsesif. Ini karena prefrontal cortex (area pusat otak yang mengelola alasan, perintah, dan kendali) mengalami penurunan kerja saat sedang jatuh cinta. Sedangkan di saat yang bersamaan, amygdala (komponen kunci dalam otak yang menangani respon pada ancaman) juga menurun. Kombinasi kedua efek ini menghasilkan keinginan untuk mengambil lebih banyak risiko.
Meski belum terbukti pada semua orang, beberapa penelitian menemukan kalau dalam beberapa situasi, laki-laki cenderung fokus pada penampilan dan jatuh cinta pada fisik teman kencannya. Ada juga penelitian yang mengungkapkan kalau otak laki-laki menunjukkan aktivitas lebih besar pada area visual daripada perempuan.
Cinta dan hubungan asmara memang sangat rumit. Ditambah lagi dengan norma gender serta sosial yang berlaku, menjadikannya semakin rumit untuk dimengerti. Berbagai penelitian ilmiah mencoba menemukan berbagai fakta agar dapat dimengerti oleh banyak orang. Namun, nggak semuanya dapat dijelaskan secara ilmiah, bukan? Jalani dan rasakan, itu yang bisa kita lakukan sekarang, Bela.
