Banyak orang yang terlalu mematuhi 'standar' tertentu dalam hubungan, yang sering kali didasarkan pada model patriarki atau heteronormatif. Misalnya, seorang laki-laki kemungkinan lebih sulit untuk mengatakan atau bahkan mewujudkan keinginannya sebagai seorang submisif, karena hal tersebut dianggap "tidak maskulin".
Lola Jean menyarankan, daripada berfokus pada asumsi bahwa laki-laki seharusnya menjadi dominan dan perempuan menjadi submisif, lebih baik setiap orang bisa fokus terhadap apa yang mereka rasakan di dalam hubungan masing-masing.
"Alih-alih terkekang dalam sebuah 'label,' mengapa tidak fokus pada hal yang diinginkan oleh masing-masing pihak, yang dapat diterjemahkan baik sebagai dominan ataupun submisif,” ujar Lola.
Jika kamu punya keinginan untuk melayani pasanganmu, atau keinginan agar mereka mengontrolmu, kamu mungkin perlu menjelajahi sisi submisifmu. Seperti bersedia untuk melakukan apa yang diminta oleh pasangan, setuju untuk 'dihukum' di kamar tidur dengan spanking atau bondage, hingga 'menyerahkan diri' kepada pasangan di kehidupan sehari-hari.
Namun, jika kamu memiliki keinginan untuk mengontrol pasanganmu secara fisik maupun mental, kemungkinan kamu perlu menjelajahi sisi dominanmu. Termasuk keinginan untuk dipanggil dengan sebutan tertentu, misalnya nyonya ataupun mommy.
Lebih lanjut, dalam komunitas kink sendiri diketahui terdapat sebuah standar yang diberlakukan untuk dinamika dom/sub. Beberapa di antaranya adalah SSC (Safe, Sane, Consensual), RACK (Risk Aware Consensual Kink), PRICK (Personal Responsibility, Informed, Consensual Kink), hingga TICK (Trauma-Informed Consensual Kink).
Standar tersebut tentu saja untuk menjamin persetujuan dan keselamatan di dalam hubungan, termasuk dengan memberikan ruang untuk personalisasi dan eksplorasi.