Penggunaan janur kuning pernikahan sebagai hiasan ternyata bermula dari sejarah di Kerajaan Cirebon.
Alkisah Raden Angga Wacana atau Naga Wacana, seorang tokoh penyebar agama Islam di wilayah Sukapura, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran, mendapat kabar bahwa Kerajaan Cirebon mengadakan sayembara untuk para jawara se-Nusa Jawa.
Pemenang dari sayembara tersebut nantinya akan diuji untuk meratakan Gunung Hata oleh Raja Cirebon, yang dimaksudkan untuk mendirikan sebuah mesjid agar penyebaran agama Islam di Kerajaan Cirebon semakin meluas.
Raden Angga Wacana pun kemudian berpamitan dengan sang istri untuk mengikuti sayembara tersebut. Ia lalu sampai di tempat sayembara dan mulai membuat fondasi masjid hanya dalam hitungan jam, serta berhasil meratakan Gunung Hata berkat ilmu yang ia miliki.
Raja Cirebon pun terkejut dengan kemampuan yang dimiliki oleh Raden Angga Wacana. Namun, karena seluruh laki-laki yang mengikuti sayembara merasa unggul dan berhak mendapatkan sang putri raja, Raja Cirebon berinisiatif untuk membuat burung dari janur kuning, yang nantinya siapapun yang dihinggapi, ialah pemenangnya.
Burung pun hinggap pada Raden Angga Wacana, yang berarti ia memenangkan sayembara tersebut.
Akan tetapi, karena Raden Angga Wacana telah memiliki istri, ia bersikeras tidak mau dinikahkan dengan putri raja.
Singkat cerita, Raden Angga Wacana pada akhirnya mau menikahi putri raja asalkan dengan satu syarat, yakni pernikahannya mesti dihias janur kuning dan menjadi cikal bakal janur kuning pernikahan yang menjadi salah satu dekorasi wajib dalam setiap hajatan pernikahan.