Lalu tibalah "Winter" atau "musim dingin", bab terakhir dari kehidupan Ae Sun, dan mungkin yang paling kejam dari semuanya. Dari beberapa potongan adegan yang ada menunjukkan bahwa pilar terbesar Ae Sun, Gwan Sik, mungkin akan menjadi yang berikutnya. Ae Sun kembali kesepian dan dipaksa menanggung rasa sakit melihat orang-orang yang dicintainya pergi, satu demi satu, seiring pergantian musim.
Gwan Sik sendiri orang yang tumbuh bersama Ae Sun, yang menanggung setiap kesulitan hidup bersamanya. Pada usia 10 tahun, Gwan Sik diam-diam membawakan Ae Sun ikan kerapu kuning dan daging, membantunya membajak dan mengolah tanah tandus milik ibunya, membantunya memberi makan empat mulut, dan mendukung impiannya menjadi seorang penyair.
Ketika ibu Ae Sun meninggal, Gwan Sik adalah satu-satunya yang duduk di sampingnya dan menangis. Bahkan ketika dia kehilangan gigi susu pertamanya, Gwan Sik ada di sana. Hanya setahun lebih tua dari Ae Sun, Gwan Sik seperti kakak laki-laki, sosok ayah, dan kemudian, seorang suami yang mencintainya seumur hidup.
Setiap tonggak kehidupan Ae Sun memiliki "pilar baja" ini untuk memikul beban dan berjalan bersamanya. Berkat pemuda ini, yang kini menjadi suami itu, lautan kemiskinan dan takdir yang bergejolak di hadapannya menjadi terasa lebih lembut dari kelihatannya.
Berada bersama Gwan Sik menjadi kebiasaan sekaligus kegembiraan yang membantu Ae Sun bertahan dalam kesulitan seumur hidup. Dan itulah sebabnya dia takut jika harus melihat Gwan Sik pergi mendahuluinya.
“Aku berharap kau dan aku mati bersama,” kata Ae Sun. Namun, harapan hanyalah harapan. Adegan dari episode 1, di mana Ae Sun duduk sendirian di tengah lautan orang di panti jompo, merupakan akhir yang sebenarnya bagi musim dinginnya.
Kalau dalam hidupmu sendiri, kira-kira apa 'tangerines' itu?