Film Sampai Jumpa, Selamat Tinggal (Popbela.com/NatashaCecil)
Jika di drama Korea biasanya kita disajikan dengan kehidupan yang indah, mewah, perkotaan, bersinar, atau setidaknya hangat, film ini justru mengambil angle yang berbeda. Kisahnya menceritakan kehidupan underground dan ingin mengangkat lokasi-lokasi yang belum pernah atau jarang diambil.
“Memang awalnya rencananya kita mau buat film di luar gitu dari segi company Relate Films gitu. Memang awalnya kita mencoba Jepang. Tapi setelah melakukan riset, ternyata fenomena Johatsu ini juga kuat di Korea gitu. Setelah kita riset juga pekerja-pekerja Indonesia di Korea itu lumayan banyak dan lucunya itu pada nge-upload semua di YouTube gitu cerita keseharian mereka.
Jadi setelah kita pelajari, menarik untuk di Korea dan saya punya notion gitu kayak Korea kita kenal lewat visual layar itu kebanyakan indah, ya, turistik location gitu. Tapi, kita di sini karena karakter-karakternya itu hidup di istilah underground, jadi kita ter-challenge sendiri juga. Kita bisa nggak ya ciptain film di Korea, cuman fokus di karakternya dan mengangkat lokasi-lokasi yang istilahnya belum pernah dipakai lah,” kata sang sutradara, Adriyanto Dewo.
Saat syuting pun banyak hal mendebarkan terjadi, seperti hampir terserang angin topan hingga panas yang menyengat. Tak hanya itu, mereka juga syuting di daerah yang kuat dengan gangster dan mafianya. Saat syuting, Adri dan Lutesha mengungkap mereka diancam untuk menghentikan prosesnya atau jika tidak akan diporak-porandakan.
“Jadi, kita itu hitung tuh ada banyak-banyak 47 location yang kita harus ambil dalam waktu kurang lebih tiga minggu syuting. Jadi setiap hari pasti ada mungkin kita pindah tiga, dua lokasi. Dan itu juga jadi challenge buat aktor ya, karena emosi yang tadi di lokasi ini kita harus bawa ke lokasi yang lain dan itu lumayan pindah-pindah lah,” ujar Adri.
“Terus kita syuting pas bulan Agustus, jadi summer, lagi heat wave. Panasnya panas banget. Kita syuting di Dangjin, kota kecil di dekat pelabuhan. Jadi, lumayan anginnya kayak angin laut, kayak panas, hawa panas gitu,” timpal Lutesha.
“Dan lucunya kita hampir kena typhoon. Jadi di sana kita syuting tiga hari sudah ada warning tuh di SMS. Setiap 15 menit sekali lah bunyi. Karena kan kita dekat sama pantai sudah bikin barikade-barikade untuk menangani si typhoon itu. Tapi ternyata typhoon-nya nggak terlalu lewat di kota kita. Cuman yang tadinya kita desain scene itu terang akhirnya hujan seharian. Jadi kita harus merespons akhirnya, yaudah kita bawa sekalian aja deh scene ini jadi hujan-hujanan. Dan itu pas kita lihat di editing, kok jadi lebih powerful ya,” kenang Adri sambil kagum.
“Jadi kita tiga kota ya, Seoul, Danjin, sama Seosan. Paling jauh Seosan lah dari Seoul. Seosan tuh lumayan wilayah yang mafianya kuat sebenarnya. Dan ada satu scene, kita di kayak ruko, di satu pasar. Kita harus syuting sampai jam 11 rencananya. Jam 9 itu udah kedengeran kayak orang marah-marah gitu. Saya bicara sama si orang lokasinya gitu. Saya tanya ‘itu kenapa?’ ‘Kita sudah diancam, mau diusir. Dan kalau misalnya kita nggak keluar dalam berapa menit, kita mau di apalah gitu, mau diapain’,” cerita sang sutradara lagi.
“Chaos sih. Itu adegannya tuh aku lagi emosi banget, jadi kayak masih teriak-teriak. Jadi di samping aku tuh bener-bener ada, ibu-ibu tuh bawa bapaknya. Ibu-ibu orang Korea marah-marah. Tapi aku harus stand-by. Jadi ketika dia stop marah-marahnya, aku langsung action gitu. Aku action, ngomong pake bahasa Korea, terus marah-marah, terus disuruh improvisasi. Ada tambahan kayak, mungkin mau meledak,” kata Lutesha menambahkan dengan semangat.