Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popbela lainnya di IDN App
Bom atom Jepang (wikipedia.org)
Awan jamur di atas Hiroshima (kiri) dan Nagasaki (kanan). (Situs wikipedia.org)

Intinya sih...

  • Pengeboman atom di Hiroshima dan Nagasaki bukan keputusan tiba-tiba, melainkan puncak dari konflik berkepanjangan antara Jepang dan Sekutu.

  • Penggunaan bom atom oleh AS didukung oleh perjanjian Quebec antara AS dan Britania Raya, serta penolakan Jepang terhadap ultimatum Sekutu.

  • Pengeboman atom menewaskan ratusan ribu orang dan meninggalkan dampak jangka panjang berupa kerusakan infrastruktur, radiasi, trauma psikologis, dan stigma sosial bagi penyintas (hibakusha).

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dunia kembali dibayangi kekhawatiran akan pecahnya Perang Dunia III akibat memanasnya situasi politik global. Ketegangan meningkat tajam setelah Amerika Serikat melakukan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir utama milik Iran, sebagai upaya memperlambat adanya dugaan perkembangan program nuklir negara tersebut.

Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa serangan itu adalah bentuk ancaman, dan ia akan melancarkan aksi lanjutan jika Teheran tak menunjukkan itikad damai. Akan tetapi, langkah ini menuai kecaman internasional.

Banyak pihak menilai tindakan tersebut bisa memperburuk konflik, memicu pencemaran radioaktif, dan bahkan membuka peluang terjadinya perlombaan senjata nuklir yang mengancam stabilitas kawasan.

Asap dari bom atom Little Boy yang dijatuhkan ke atas Hiroshima. (Situs nytimes.com)

Sebelum menilai lebih jauh dampak dan potensi bencana dari ketegangan ini, dunia pernah menyaksikan dahsyatnya kehancuran yang ditimbulkan oleh senjata nuklir, yakni saat bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa ini menjadi pengingat kelam akan bahaya laten senjata pemusnah massal, yang bukan hanya menghancurkan kota, tetapi juga meninggalkan luka berkepanjangan bagi umat manusia.

Lantas, bagaimana sejarah di balik pengeboman tersebut? Lalu, seperti apa efek mengerikan yang ditimbulkannya?

Mengapa AS menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki?

Kapal USS Arizona terbakar akibat serangan dari Jepang di Pearl Harbor, Hawaii (Situs en.wikipedia.org)

Penjatuhan bom atom oleh Amerika Serikat ke Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945) bukanlah keputusan yang diambil secara tiba-tiba. Tindakan ini menjadi puncak dari konflik berkepanjangan di kawasan Pasifik, yang dipicu ambisi kekuasaan dan ketegangan geopolitik.

Sebagai bagian dari Perang Dunia II, Perang Pasifik mempertemukan Jepang dan Sekutu, terutama Amerika Serikat. Konflik memanas setelah Jepang melancarkan serangan mendadak ke pangkalan militer AS di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941, meski saat itu kedua negara tengah menjalin upaya diplomatik.

Sekelompok perwira AS menyaksikan pengujian bom atom. (nonprofitquarterly.org)

Kekecewaan Jepang terhadap perlakuan tak setara dari negara-negara Barat setelah Perang Dunia I, termasuk penolakan Proposal Kesetaraan Ras dalam Perjanjian Versailles, memicu ambisi mereka membangun kawasan Asia Timur Raya demi menguasai sumber daya alam penting.

AS mengklaim penggunaan bom atom "terpaksa" sebagai upaya terakhir untuk mengakhiri perang secepat mungkin dan menghindari invasi darat yang diperkirakan menelan korban hingga jutaan jiwa. Namun, banyak sejarawan masih memperdebatkan motif di balik keputusan ini.

Faktor lainnya yang turut memengaruhi keputusan pengeboman antara lain:

  • Jepang sudah lumpuh akibat blokade dan pengeboman udara besar-besaran.

  • Uni Soviet menyatakan perang terhadap Jepang pada 8 Agustus 1945, yang menambah tekanan.

  • AS ingin menunjukkan kekuatan kepada Soviet sebagai sinyal awal Perang Dingin.

Perjanjian Quebec menjadi dasar legal AS menggunakan bom atom

Sejumlah perwakilan dari Sekutu di Konferensi Quebec. (Situs britannica.com)

Penggunaan bom atom oleh AS juga didukung oleh Perjanjian Quebec yang ditandatangani oleh Presiden AS Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill pada 1943. Perjanjian ini menjadi landasan kerja sama pengembangan senjata nuklir selama Perang Dunia II.

Isi perjanjiannya mencakup:

  • Koordinasi penuh dalam proyek pengembangan nuklir, termasuk Proyek Manhattan.

  • Persetujuan bersama atas penggunaan senjata nuklir.

  • Dukungan penggunaan sumber daya terbaik Sekutu jika situasi perang menuntut.

Melalui perjanjian inilah, AS mendapatkan dasar legal dan diplomatik untuk menjatuhkan bom atom ke Jepang, dengan restu Britania Raya.

Penjatuhan bom atom imbas dari penolakan Jepang atas ultimatum Sekutu

Potret udara bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945. (Situs penntoday.upenn.edu)

Menjelang akhir perang, Sekutu berencana melakukan invasi darat ke Jepang yang diperkirakan akan memakan banyak korban. Saat itu, sebagian kota besar di Jepang sudah hancur akibat kampanye pengeboman udara.

Pada 26 Juli 1945, AS, Britania Raya, dan Tiongkok mengeluarkan Deklarasi Potsdam, yang berisi ultimatum agar Jepang menyerah tanpa syarat atau menghadapi "kehancuran cepat dan besar". Namun ultimatum tersebut diabaikan oleh Jepang.

Penolakan inilah yang menjadi pemicu langsung dijatuhkannya bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki.

Efek ledakan nuklir yang menewaskan hingga ratusan ribu orang

ilustrasi bom atom (nawacita.co)

Pada 6 Agustus 1945, AS mulai menjatuhkan bom uranium jenis bedil yang dijuluki Little Boy di Hiroshima. Presiden AS Harry S. Truman meminta Jepang menyerah 16 jam kemudian dan memberi peringatan seperti, "akan adanya hujan reruntuhan dari udara yang belum pernah terjadi sebelumnya di muka bumi."

Namun, tiga hari kemudian, pada tanggal 9 Agustus, AS menjatuhkan bom plutonium jenis implosi bernama Fat Man di Nagasaki. Dalam kurun waktu dua hingga empat bulan setelah pengeboman atom di Jepang, diperkirakan antara 90.000 hingga 166.000 orang kehilangan nyawa di Hiroshima, dan 60.000 hingga 80.000 jiwa di Nagasaki, dengan sekitar setengah dari total korban meninggal pada hari pertama ledakan.

Kehancuran kota Hiroshima setelah ledakan bom atom (abc-7.com)

Selain menewaskan puluhan ribu jiwa seketika, ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki juga memicu kehancuran masif pada infrastruktur dan meninggalkan dampak jangka panjang. Meskipun hanya sebagian gedung dan bangunan yang langsung runtuh, terutama di lembah Urakami dan pusat kota Nagasaki, kerusakan terbesar justru disebabkan oleh kebakaran hebat pasca-ledakan.

Api yang muncul hanya 30 detik setelah bom meledak membentuk badai api dahsyat, dengan cepat melahap bangunan-bangunan berbahan kayu dan membakar habis kota. Penduduk yang berada dalam radius 100 meter dari titik ledakan tewas seketika akibat suhu ekstrem dan luka bakar parah.

kehancuran akibat bom atom di Nagasaki (pixabay.com/Wikilmages)

Tidak berhenti di situ saja, radiasi yang ditinggalkan bom menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi para penyintas. Banyak yang mengalami luka melepuh, kerusakan jaringan kulit, kebotakan permanen, bahkan kanker dan kerusakan organ dalam. Leukimia menjadi penyakit paling umum saat itu, terutama menyerang anak-anak.

Radiasi juga menyebabkan cacat genetika yang diwariskan ke generasi berikutnya, serta menimbulkan stigma sosial terhadap para penyintas, yang dikenal sebagai hibakusha. Mereka tak hanya menanggung dampak fisik, tetapi juga trauma psikologis dan diskriminasi yang bertahan hingga puluhan tahun setelah perang usai.

Jepang menyerah atas Amerika (Situs commons.wikimedia.org)

Pada 15 Agustus, enam hari setelah bom atom dijatuhkan di Nagasaki dan deklarasi perang dari Uni Soviet, Jepang akhirnya menyatakan menyerah kepada Sekutu. Penandatanganan resmi atas instrumen penyerahan diri dilakukan pada 2 September, yang sekaligus menandai berakhirnya Perang Dunia II.

Akan tetapi, dunia tidak benar-benar damai begitu saja. Sebagai gantinya, muncullah Perang Dingin sebagai periode ketegangan politik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang berlangsung dari 1947 hingga 1991.

Tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menjadi pengingat nyata akan dahsyatnya kehancuran yang bisa ditimbulkan oleh senjata nuklir. Situasi geopolitik yang kini terus memanas bisa saja mengarah ke skenario serupa, atau bahkan lebih buruk.

Bagaimana menurutmu, Bela?

Editorial Team

EditorAyu Utami