Istilah ianfu digunakan berdasarkan kesepakatan yang ada dalam "Internasional Solidarity Conference Demanding Settlement of Japan’s Past" Korea Selatan tahun 2004. Di sisi lain jugun ianfu, yang memiliki arti “perempuan penghibur yang ikut militer”, dianggap tidak relevan. Namun, di balik istilah ini, tersembunyi praktik perbudakan seksual yang sistematis.
Para ianfu dibawa jauh dari rumah ke lokasi yang jauh dari hiruk pikuk medan pertempuran. Awalnya, mereka dijanjikan akan mendapat pendidikan atau diberi pekerjaan yang layak.
Namun, kenyataannya jauh lebih kelam. Para perempuan muda ini justru dipaksa menjadi budak seksual bagi tentara Jepang. Mereka ditempatkan di ianjo atau rumah bordil yang sengaja didirikan di berbagai wilayah kekuasaan Jepang, tanpa pilihan untuk melarikan diri atau mengatakan tidak.
Melansir dari historia.id, kisah ianfu ini bermula pada tahun 1931, saat tentara Jepang menyerbu daratan China, hingga menduduki Shanghai dan Nanjing. Bertahun-tahun perang membuat mereka kekurangan makanan, hingga menjarah rumah penduduk, membunuh rakyat sipil, dan memperkosa perempuan. Dalam buku The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II (1997), Iris Chang mengisahkan secara rinci pemerkosaan perempuan-perempuan China tersebut.
Dampak buruknya, banyak tentara Jepang terserang penyakit kelamin, sehingga Markas Besar Militer Jepang mengutus Dr Aso Tetsuo untuk melakukan penyelidikan. Tetsuo merekomendasikan agar menyediakan rumah bordil (ianjo) yang berisi perempuan-perempuan “bersih”. Alasannya, selain mencegah penyebaran penyakit kelamin, akanmeningkatkan moral, efektivitas dan disiplin tentara Jepang. Perempuan-perempuan “bersih” itulah yang dinamakan ianfu.