Saat martial law diberlakukan, komandan militer di suatu wilayah atau negara mendapatkan kekuasaan penuh untuk membuat sekaligus menegakkan hukum. Langkah ini biasanya hanya diambil jika otoritas sipil sudah tidak berfungsi atau dianggap tidak efektif, seperti saat terjadi perang saudara.
Dalam kondisi ini, semua hukum lain, otoritas sipil, dan administrasi keadilan otomatis ditangguhkan. Di Amerika Serikat, misalnya, deklarasi darurat militer bisa dilakukan oleh presiden atau gubernur negara bagian.
Meskipun terlihat seperti kekuasaan absolut, sebenarnya ada batasan dari pemerintah federal. Misalnya, warga sipil tidak bisa diadili oleh pengadilan militer selama pengadilan sipil masih berfungsi. Tapi tetap saja, di bawah darurat militer, seorang komandan militer memiliki wewenang yang nyaris tanpa batas.
Keputusan untuk mendeklarasikan darurat militer adalah langkah besar dan sangat jarang dilakukan. Dalam situasi ini, otoritas sipil yang biasa memimpin pemerintahan akan digantikan oleh otoritas militer. Artinya, segala operasional pemerintahan akan berada di bawah kendali militer.
Pada intinya, ketika darurat militer diberlakukan, otoritas sipil yang terpilih lewat pemilu sudah tidak punya kekuasaan lagi. Bahkan ada kemungkinan bahwa kontrol penuh tidak akan segera kembali ke lembaga domestik seperti penegakan hukum atau Mahkamah Agung.
Darurat militer juga bisa diterapkan dalam situasi bencana alam, meskipun ini jauh lebih jarang terjadi. Biasanya, untuk kasus seperti badai, tornado, atau gempa bumi, pemerintah negara bagian hanya menyatakan keadaan darurat. Langkah ini memberi kekuasaan tambahan kepada pemerintah tanpa menyerahkan kontrol kepada pihak militer.
Meski kini deklarasi tersebut sudah dicabut, tetap saja situasi tegang di Korea Selatan masih terjadi sampai saat ini. Kita doakan saja semoga masalah di Korea Selatan bisa segera teratasi.